Minggu, 1 Mei 2011, sekitar pukul 21.00 an, di stasiun tv pemerintah, saya tidak sengaja melihat Bapak M Nuh, Mendiknas, menyampaikan pidato. Tidak semua saya dengar, namun ada satu statmen yang menarik berkenaan dengan pendidikan. Istilah itu adalah ‘kepenasaranan intelektual’. Dimana disebutkan bahwa kepenasaranan intelektual tersebut akan melahirkan kreativitas. Saya menebak, bahwa istilah Pak Mendiknas itu bersinonim dengan apa yang sya pahami selama ini dengan istilah inkuiri. Dan jika benar itu yang dimaksudkan, maka pertanyaan saya berikutnya adalah; Apakah kompetensi ini diujikan di Ujian Nasional kita?
Pertanyaan itu penting agar semua yang memegang otoritas pendidikan di negeri ini jangan menuntut sesuatu yang memang tidak diukur dalam Ujian Nasional. Karena jika itu yang disampaikan, saya yakin bahwa tuntutan itu akan tetap menjadi pepesan kosong. Karena pendidikan sekolah kita hanya berujung kepada satu asessmen yang bernama Ujian Nasional. Dan khusus untuk siswa di sekolah menengah atas atau SMA, ia akan menjalani dua (2) kali ujian. Yaitu Ujian Nasional yang diselenggarakan sebagai akhir dari jenjang pendidikan SMA. Dan Ujian untuk masuk perguruan tinggi (negeri), yaitu SMNPTN atau seleksi masuk nasional perguruan tinggi negeri. Dua ujian yang berbeda kepentingannya. Hasil pendidikan kita dengan ending seperti itu, masih terfokus kepada hasil akademik. Oleh karena itulah maka out put dari sekolah kita adalah pintar akademik.
Pintar Akademik
Mari kita tinggalkan apa yang sedang terjadi pada kancah pendidikan kita itu untuk sementara. Karena saya akan mengajak Anda mengenang apa yang dulu kita lalui di sekolah berkenaan dengan pintar akademik yang dituntut sekolah. Dimana tolok ukur utamanya adalah hasil evaluasi guru atau sekolah dengan tes obyektif, atau sering kita menyebutnya dengan ulangan.
Masih ingatkah kita ketika ulangan akan berlangsung? Ada beberapa guru yang memberitahukan akan ulangan dengan materi apa. Guru tersebut pasti mengharapkan agar kita semua sebagai siap sebelum ulangan berlangsung. Dan tentunya supaya nilai kita bagus. Namun ada juga guru yang selalu atau sering melakukan ulangan mendadak, karena mungkin guru tersebut bermaksud agar kita selalu belajar atau mengulang pelajaran sebelumnya atau membaca catatan.
Dan tahukah apa yang dulu saya lakukan? Karena bosan tidak ulangan-ulangan, akhirnya saya hanya membuka catatan pelajaran manakala ada guru yang memberitahukan kapan akan ulangan. Alhamdulillah, nilai saya tidak jelek-jelek sekali. Mungkin Anda lebih parah dari saya? Lebih parah baiknya atau lebih parah jeleknya?
Berkenaan dengan Ujian Nasional. Kita sudah banting tulang mempelajari apa sja yang penah dipelajari bersama guru di sekolah. Bahkan beberapa catatan atau buku tambahan juga kita pelajari. Namun ada kalanya apa yang kita pelajari itu ternyata tidak keluar dalam soal-soal ujian. Mengapa? Karena guru, saat itu, tidak memberikan kepada SKL atau kisi-kisi ujian. Sehingga sulit bagi kita, juga bagi guru atau sekolah, dalam mempersiapkan apa yang akan diujikan di Ujian Nasional.
Bagaimana sekarang? Dalam setiap ulangan yang diselenggarakan sekolah, kadang sekolah memplot adanya pekan yang setiap ata pelajarannya akan ulangan. Dan selain jadwal ulangan, guru atau sekolah juga memberikan batasan materi yang akan diulangkan. Itu jika berkenaan dengan sekolah dan guru. Bagaimana dengan Ujian Nasional? Pemerintah membeikan juklak dan juknis UN tersebut dalam bentuk Permendiknas. Disana diuaraikan antaralain tentang SKL atau kisi-kisi, yang akan diterima sekolah sekitar awal Januari.
Jadi, bukankah sekarang semakin mudah dan jelas bagaimana siswa kita menjadi pintar akademik? Bukankah syarat untuk dapat nilai baik kita telah diberikan juklaknya? Di sana ada SKL atau kisi-kisi tentang soal apa saja yang akan keluar atau akan dijikan?
Lalu apa yang menyebabkan kita semua menjadi seperti tidak yakin jika UN akan berlangsung? Atau mungkinkan SKL atau kisi-kisi Ujian asional itu tidak kita jadikan sebagai ‘peta’ untuk menjadi pintar akademik?
Kepenasaranan Intelektual
Nah, sekarang kembali kepada apa yang disampaikan oleh Mendiknas bertepatan dengan menjelang peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun 2011. Saya hanya mengingatkan kepda Pak Mendiknas bahwa kita hanya menguji kompetensi siswa kita melalui Ujian Nasional. Oleh karenanya, bagaimana kita akan menuntut siswa untuk lebih apabila yang kita ujikan (uji nasionalkan) hanya kompetensi akademik pada aspek mengingat, memahami, dan aplikasi saja? Dimanakah saya akan tahu bahwa kompetensi inkuiri siswa bila itu tidak ada atau belum ada alat pengukurnya?
Tapi tanpa mengurangi hasil kerja keras kita semua selama ini di sekolah kita masing-masing dalam rangka menunaikan amanah luhur bangsa, saya mengucapkan Selamat Hardiknas!
Jakarta, 2 Mei 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar