Selasa, 23 Februari 2010

Pilih Pintar atau berkarakter?

Hal yang menjadi perbincangan hangat hari-hari ini adalah Pendidikan karakter untuk menunjang siswa menjadi sosok yang sopan dan bermoral. mengapa hangat dibicarakan saat terjadi tragedi moral yang menerpa sejumlah siswa dengan kelakuan siswa tidak ber”moral”. Pada jejaring sosial Facebook sejumlah siswa memaki gurunya dengan perkataan menyakitkan dan membuat sang guru meradang, Pihak sekolah akhirnya membuat keputusan mengeluarkan siswa dari sekolah tersebut. Perkara moral memang membuat merinding, apalagi akhir-akhir ini kelakuan brutal praktis muncul dari kalangan terpelajar. Perkelahian pelajar, perusakan fasilitas publik oleh demonstran-demonstran yang kurang menggunakan nalar budinya untuk menjalani hidup dalam suasana demokrasi yang sopan dan penuh unggah-ungguh. Rasanya semakin banyak anak muda yang kehilangan identitas, ikut arus, terbawa emosi dalam suasana penuh aroma permusuhan. Apapun bisa menjadi senjata untuk merusak fasilitas yang seharusnya dipelihara dan diperindah.

Mungkin suasana di sekolahan akhir-akhir ini bukan seperti tempat yang melahirkan kaum terpelajar yang mampu mengukur diri dan merumuskan identitas membangun masa depan, Rasanya setiap sekolah terlalu trobsesi untuk menaikkan peringkat sekolah, membangun sekolah bertaraf internasional, mendorong siswa aktif hanya pada ranah kognitif. Beban siswa setiap hari terus bertambah saat guru-guru memasang target tinggi nilai kelulusan. Padahal sebenarnya sekolah adalah tempat siswa berproses merumuskan jati dirinya menjadi manusia yang berwatak sosial dan toleran. Pengetahuan yang diserap adalah pengetahuan riil yang bisa menjadi pemecah masalah masyarakat sekitarnya. Setelah siswa keluar dari lingkungan sekolah dia menjadi dirinya sendiri yang harus mampu menjadi bagian dari masyarakat seutuhnya, bukan ekslusif dan identik dengan gambaran pelajar yang hanya berkutat pada buku dan tugas.

Belajar Menjadi Guru yang Baik

Kuasailah materi pembelajaran. Jangan sampai anak didik menjadi bingung akan ulah kita di kelas. Coba bayangkan apabila kita salah me moles, maka dampaknya akan sangat berbahaya. Berbahaya untuk penanaman konsep awal untuk siswa. Peserta didik menjadi pusing, dan akhirnya menyebabkan kebingungan yang tidak terperikan.

“pak saya bingung, pak saya tidak mengerti…” Itulah salah satu celoteh anak yang memang menunjukan kepolosannya. Kepolosan tentang materi yang memang dia kurang mengerti. Ini sepenuhnya salah guru. Bukan salah siswa untuk tidak mengerti akan sebuah materi baru, kita harus kembali introspeksi diri, apakah memang kita sudah memahami betul apa yang sedang kita ajarkan. Apalagi ini menyangkut pemahaman awal untuk perkembangan otak anak. Sangat tidak elegan apabila kita menimpakan kesalahan kasus :ketidak mengertian ini” kepada anak, sungguh.. ini adalah salah guru yang memang, hanya sebatas menggugurkan kewajibannya untuk menyampaikan dan mencekoki anak dengan gulungan materi yang terus general menuju ke arah kerumitan dan ke abstrakkan yang sulit ditangkap oleh siswa.

Siswa itu jangan dinilai sama, kita tidak bisa menyama ratakan siswa dengan apa yang kita anggap dan persepsikan bahwa dia sudah mengerti akan sebuah plajaran. Tidak adil apabila kita hanya berpatokan kepada satu atau 3 orang yang sudah memahami pelajaran kemudian menyamakan untuk semua anak, bahwa mereka semua sudah mampu mencerna isi materi dengan baik. Otak anak itu ditakdirkan berbeda beda. Ada yang pandai, superb, dan ada juga yang kurang begitu menangkap isi materi. Sejak anak dalam kandungan otak anak sudah mulai terbentuk akan tingkat kecerdasannya, berbeda beda. Lantas dengan kondisi siswa yang memiliki kecerdasan yang berbeda beda ini, apakah kita sebagai calon pendidik harus menyamaratakan daya tangkap dan pemahaman anak..? Tentu tidak bukan..??

Dilema Ujian Nasional

Momok yang paling menakutkan bagi siswa kelas 3, ujian akhir nasional (UAN) sudah di depan mata. Tahun 2010 ini, UAN akan dilaksanakan pada 22 – 26 Maret 2010 untuk SMA/SMK/SMALB, 29 Maret - 1 April 2010 untuk SMP/MTs/SMPLB, dan 4-6 Mei 2010 untuk SD/MI/SDLB. Berbagai persiapan telah dilakukan oleh pihak sekolah maupun para siswa. Mulai dari persiapan akademis, psikologi maupun taktis.

Bekal akademis diberikan melalui penambahan jam belajar untuk mata pelajaran yang diujikan. Bekal psikologis diinput melalui pendekatan training motivasi baik lewat ceramah, kunjungan studi maupun lewat pendekatan agama. Nah, persiapan ketiga adalah bekal taktis. Persiapan ini agak unik karena penuh dengan akal busuk dan permainan kotor yang melibatkan guru.

Siapa yang tak sedih jika melihat siswa binaannya tak lulus UAN? Sekolah mana yang tak malu jika banyak siswanya tak lulus ujian? Maka dilakukan strategi-strategi penyelamatan secara sistematis. Suatu kali saya pernah menanyakan kepada seorang kepala sekolah terkait tingkat kelulusan siswanya tahun kemarin. Dengan agak diplomatis beliau menjawab, “semuanya diluluskan”. Ada sedikit kejanggalan. Bukankah kelulusan tergantung pencapaian nilai minimal? Bahasa yang digunakan sang Kepala Sekolah, “diluluskan” bukan “lulus”. Artinya terdapat unsur pihak ketiga. Setelah dikejar, ternyata beliau mau mengaku bahwa semuanya diluluskan dengan pertolongan guru-guru yang memberikan jawaban soal saat ujian. Wah…

Mendidik dengan Cerita

Denias, Senandung di Atas Awan. Judul yang indah, seelok filmnya. Anda sudah menonton film yang mewakili Indonesia di ajang Academy Award 2007 ini? Film ini menawarkan perspektif menarik sehubungan dengan pendidikan anak.

Kisahnya tentang Denias, anak salah satu suku di pedalaman Papua. Ia baru saja memasuki masa akil balik, ditandai dengan upacara pemasangan koteka dan pemisahan honai. Bersama kawan sebayanya, ia suka berburu kuskus, bermain bola, berebut permen, dan berkelahi. Namun, ia juga paling menonjol dalam pelajaran di sekolah, yang diadakan di sebuah pondok kayu di atas gunung.

Ibunyalah yang pertama menanamkan pentingnya bersekolah. “Gunung takut sama anak sekolah,” kata sang ibu. Gurunya sendiri yakin, kelak ia bisa menjadi ahli matematika. Maleo, seorang tentara, yang mengajarkan bahwa asal ada kemauan kita bisa belajar di mana saja, bercerita tentang sekolah fasilitas di balik gunung.

Ketika orang-orang yang dicintainya itu satu per satu meninggalkannya, Denias bertekad untuk tetap sekolah. Ia meninggalkan rumah, dan berjalan berhari-hari melintasi gunung, hutan, dan sungai, mencari sekolah fasilitas yang diceritakan Maleo. Ternyata sekolah itu dikhususkan bagi anak kepala suku atau suku terdekat saja.

Proses Pembelajaran

“He who asks is a fool for five minutes, but he who does not ask remains a fool forever.” (Chinese Proverb), pendidikan adalah sebuah dasar dari proses pembelajaran untuk generasi penerus bangsa ini. Sudah seharusnya kita bangga dengan negara Indonesia yang sangat besar ini, banyak negara lain yang menggangap negara kita ini sebagai negara yang kaya dan makmur. Oleh sebab itu sebagai negara yang kaya dan makmur maka kita memerlukan generasi penerus yang mampu membawa kemajuan mengikuti perkembangan jaman di saat ini.

Perkembangan jaman yang sangat pesat dewasa ini memunculkan persaingan baik antar individu maupun kelompok, sebagai seorang warganegara Indonesia kita harus mau dan mampu bersaing dengan negara-negara lain. Semua dimulai dari proses pendidikan kita, pembelajaran usia dini sangat penting diterapkan untuk anak-anak didik kita. Dengan proses pembelajaran yang tepat serta kurikulum yang baik seorang anak didik dapat menjadi seorang penerus bangsa yang mampu bersaing dan maju menghadapai tantangan global.

Sekolah dan Bimbel: Jagoan Mana?

Ia seorang laki-laki. Badannya kecil dan pendek, mungkin hanya 125 cm. Namun ia sudah SMU kelas dua. Setiap hari ia berangkat dari rumah dengan memanggul sebuah tas ransel besar di belakangnya. Pertama kali melihatnya saya tidak tahu apa isi tas tersebut. Pasti buku. Tapi buku apa? kenapa begitu banyak? kan bisa saja ia membawa buku yang akan digunakan di sekolah pada hari itu. Kenapa harus membawa buku sebanyak itu? Saya belum tahu jawabannya sampai satu kesempatan saya bisa berbincang-bincang dengannya.

Saat yang berharga itu adalah ketika ia datang untuk silaturahim ke rumah pada satu hari kami membuat sebuah acara syukuran. Sambil duduk mencicipi makanan saya menanyai masalah sekolahnya, dan tentang isi tasnya. Katanya, ia sekrang sudah duduk di kelas dua dan mulai sibuk dengan pelajaran-pelajarannya. Ia menyukai pelajaran eksat dan Bahasa Inggris. Apalagi ke depan ia sangat ingin kuliah di luar negeri. Oleh sebab itu, katanya, ia harus serisu belajar dari sekarang. Selain belajar di sekolah sejak jam 07.45 sampai 14.00, ia juga mengikuti les yang dibuat di sekolah mulai jam 15.00 sampai 16.30. Pada jam 17.00 ia mengambil les lagi di lembaga Bimbingan Belajar yang tidak jauh dari sekolahnya. Maknya tasnya diisi dengan semu buku yang akan dipelajari sepanjang hari itu, buku sekolah, les di sekolah dan les di Bimbel.

Sinergi Soft Skill dan Hard Skill

"Sesungguhnya Allah suka kepada hamba yang berkarya dan terampil (professional atau ahli). Barangsiapa bersusah-payah mencari nafkah untuk keluarganya maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah Azza wajalla..." (HR. Ahmad)

Bukan hanya di lingkungan akademisi kita di tuntut untuk mengembangkan sofkill kita, sebelum nantinya kita siap untuk memasuki dunia nyata (real word) tapi pengasahahan sofkill juga di dalam agama kita di suruh untuk mengasahnya keterampilan menjadi seorang yang profesional dan ahli di bidang yang digeluti.

Hadist di atas menegaskan kita untuk membangun sebuah kemapuan baik itu Hardskill maupun Sofkill. Sukses meraih cita-cita dan karir di masa depan tidak hanya ditentukan oleh hardskill, seperti tingginya nilai indeks prestasi (IP), penguasaan teori serta terampil dalam mengoperasikan peralatan laboratorium dan perangkat berteknologi tinggi. Ada banyak cerita dari orang-orang yang tidak memiliki IP yang tinggi meraih sukses dalam kehidupannya, karena mereka mengandalkan pertumbuhan softskill.

Istilah softskill memang tergolong baru terdengar, tetapi softskill merupakan kemampuan-kemampuan dasar yang perlu ditumbuhkan dalam diri Anda, agar Anda dapat memotivasi diri dan orang lain, bertanggung jawab, membangun relasi, berkomunikasi, negosiasi, beradaptasi dengan lingkungan, berkreasi, berinovasi dan berwirausaha, memimpin, membangun kerjasama, mengelola sumber daya dan lain sebagainya.

Rabu, 10 Februari 2010

Biaya Pendidikan Naik 100 Juta Dolar

SOLO. Minimnya dana pendidikan yang dialokasikan oleh Pemerintah Indonesia membuat dunia pendidikan di Indonesia kurang berkembang dan tidak bisa bersaing dengan negara-negara lain di dunia. Sementara saat ini efek globalisasi telah menggejala di berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan.

“Saat ini, pendidikan tengah bersinergi dan mengikuti perkembangan zaman dalam alur globalisasi. Berbicara masalah dana pendidikan, saat ini Indonesia hanya menyediakan anggaran yang sangat minim, yakni Rp 4,18 miliar saja. Sementara, Amerika telah menganggarkan dana sebesar 69,4 miliar dolar Amerika. Padahal, jumlah populasi pelajar dan mahasiswa sama. Ini jelas akan berpengaruh pada mutu pendidikan dan kualitas lulusan,” papar Staf Pengajar Universiti Utara Malaysia, Prof Dr Mohammed Mustafa, kepada wartawan, Selasa (9/2).

Sektor Ekonomi

Lebih lanjut Mohammed Mustafa ketika ditemui disela-sela seminar Internasional Globalization Social Cost And Benefits For The Third World yang diadakan oleh FISIP UNS, mengungkapkan, negara-negara di ASEAN yang kebanyakan masih merupakan negara berkembang, saat ini membutuhkan adanya kerja sama dan bantuan dari dunia internasional untuk bisa memenuhi biaya pendidikan yang semakin mahal.

Senin, 08 Februari 2010

Belajar Pada Akar

Beberapa hari yang lalu, pada saya sedang tidak ada jam. Tiba-tiba ada salah satu siswa meminta saya mengisi jam kosong. Saya berpikir sambil berjalan. Apa yang bisa kubagi dengan siswa, tiba-tiba muncul ide untuk mengajak anak-anak belajar pada akar. Merenungkan tentang filosofi akar. Kemudian kami diskusikan, demikian hasil perenungan dan diskusi kami.

Akar memang tidak seindah daun atau bunga, juga tidak berwarna-warni indah, namun memiliki fungsi yang sangat besar.

Tidak terlihat, akan tetapi akar memiliki peran yang sangat penting. Ia bisa menunjang batang pohon dengan sangat kuat. Ia selalu berusaha mencari air dan mineral yang nantinya akan menjadi asupan bagi tanaman.

Akar memiliki dorongan mencari air yang sangat kuat. Akar juga mampu menyesuaikan dirinya untuk masuk ke celah-celah kecil (mencari air di dalam relung-relung tanah) atau menghadapi kondisi iklim yang berbeda. Tapi yang sungguh mengagumkan adalah ia bekerja dalam hening dan tidak terlihat dari luar. Akar sangat memahami apa yang ia inginkan dan bagaimana merealisasikan keinginan tersebut.

Mampukah kita meneladani akar? Serta belajar banyak padanya.

Guru Tidak Bisa Mengajar

Di jaman informasi dan teknologi ini, untuk menjadi pintar dan expert akan satu hal, guru hanyalah menjadi salah satu ‘medium’ bagi murid-murid untuk mencapai tujuan murid. Pertanyaan yang seharusnya mulai ada di dalam benak para guru adalah, “Apakah murid-murid perlu dirinya (guru)?” "Kepintaran atau pencapaian prestasi akademik yang diperoleh itu sebenarnya untuk kepentingan murid atau guru itu sendiri?"

Kita mengetahui bahwa ada 10 macam kecerdasan (multiple intelligences) yang dimiliki manusia. Setiap manusia memiliki kecerdasannya sendiri-sendiri. Ada manusia yang memiliki 3, 4 bahkan lebih dari 5 macam kecerdasan sekaligus. Namun ada pula yang hanya memiliki 1 atau 2 macam kecerdasan saja. Tapi yang pasti setiap manusia (bahkan yang autis /ADHD sekalipun) memiliki 1 macam kecerdasan yang lebih dari manusia lainnya.

Sekedar me-review sedikit, 10 macam kecerdasan (delapan macam yg dikenal banyak orang)tersebut adalah:
1. Kecerdasan Logik -matematik; misalnya Einstein
2. Kecerdasan Linguistik (bahasa); misalnya Shakespear
3. Kecerdasan Spasial (visual); biasanya designer, pelukis, arsitek, dll.
4. Kecerdasan natural; misalnya Darwin, Wallace
5. Kecerdasan Musikal
6. Kecerdasan Kinestetik; atlit
7. Kecerdasan interpersonal; misalnya PR, publik speaker, sales, dan politisi
8. kecerdasan intrapersonal / self smart; misalnya psikolog, pengacara, penulis, dsb.
Dua macam kecerdasan tambahan saya adalah:
1. Kecerdasan emosi; seorang pemimpin yang baik harus sangat pandai mengontrol emosinya
2. Kecerdasan spiritual; pernah liat orang yang rajiiiin bgt ngaji dan sembahyang? yah.. itulah dia.

Sementara itu ada 3 tipe cara belajar dalam diri setiap manusia, yaitu:
1. Auditory
2. Visual
3. Kinestetik.

Upaya Menambah Variasi Belajar Siswa

Tampak dari kejauhan iringan siswa-siswi yang naik 25 andong layaknya orang demonstrasi. Bagaimana tidak, dengan membawa sejumlah spanduk dan potongan kertas karton bertuliskan kata-kata. Mereka membentangkan dan mengacung-acungkan ke setiap pengendara motor yang melintas. Rute iringan andong tersebut ternyata singgah di Museum Radya Pustaka Solo, satu persatu mereka turun lengkap dengan seragam sekolah dan lembar kerja siswa yang dibawa setiap siswa sebagai laporan hasil pengamatan, Sabtu (6/2).

Iring-iringan andong ternyata acara rutin Wisata Budaya Surakarta yang digelar SMP Kalam Kudus Surakarta dengan tajuk Outing Class. Dalam kesempatan ini, sebanyak 153 siswa kelas VII beserta kelas khusus Check Point 1 menyambangi tiga tempat yakni Museum Radya Pustaka Surakarta, Keraton Kasunanan Surakarta dan tempat kerajinan palu gongso di daerah Wirun, Mojolaban, Sukoharjo.

Outing Class yang digelar SMP Kalam Kudus bertujuan sebagai media pembelajaran di luar kelas serta menambah variasi belajar siswa melalui keanekaragaman budaya. Pengalaman sejarah budaya bangsa tampaknya mulai ditanamkan sejak dini oleh segenap tenaga pendidik di Kota Solo.

Awal Maret, Kartu Peserta UN Dibagikan

SOLO. Kartu peserta ujian nasional (UN) telah siap untuk dibagikan, awal bulan Maret, mendatang. Distribusi kartu peserta UN setelah diterbitkannya daftar nominasi tetap (DNT) oleh Dinas Pendidikan Provinsi Jateng.

Sekretaris Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMA, Edi Pudiyanto menyatakan DNT yang sebelumnya telah diverifikasi, sudah dikirimkan ke Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kota Surakarta. Selanjutnya, daftar tersebut akan dikembalikan lagi kepada sekolah untuk proses verifikasi akhir.

“Diharapkan pihak sekolah benar-benar teliti dalam penulisan nama dan identitas siswa. Hal ini, sangat penting mengingat kaitannya dengan penulisan surat keterangan hasil ujian nasional (SKHUN) yang diterbitkan oleh dinas provinsi,” katanya, Jumat (5/2).

Ditambahkan Edi, terkait masalah verifikasi kartu ujian dan penetapan DNT. Hal itu masih dimungkinkan untuk diperbaiki terjadinya kesalahan teknis komputer. Setelah dikumpulkan kembali, kemudian akan menjadi DNT akhir dan akan dikirim ke dinas provinsi lagi.

Minggu, 07 Februari 2010

*** JIKA ANAK ... ***


Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki


Jika anak dibesarkan dengan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi


Jika anak dibesarkan dengan ketakutan, ia belajar gelisah


Jika anak dibesarkan dengan rasa iba, ia belajar menyesali diri


Jika anak dibesarkan dengan olok-olok, ia belajar rendah diri


Jika anak dibesarkan dengan iri hati, ia belajar kedengkian


Jika anak dibesarkan dengan dipermalukan, ia belajar merasa bersalah


Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri

Melatih Anak Berpikir Mandiri

Sekolah di Jepang sekarang begitu menyenangkan sehingga orang tua sempat mengkhawatirkan kalau sekolah menjadi terlalu santai. “Tidakkah seharusnya mereka berlatih matematika atau belajar sesuatu yang serius?” tanya seorang ibu saat membicarakan kegiatan anaknya mencelup kain kimono dan studi-banding ke tempat pembuatan permen tradisional Jepang.

Banyak orang tua yang tidak mengerti apa yang dimaksud sogo teki na gakushu no jikan (integrated learning time) atau pembelajaran terpadu. Disingkat menjadi sogo gakushu. Memang ini merupakan subyek yang relatif baru di sekolah-sekolah Jepang.

Mari sedikit kita simak latar belakangnya...

Sekitar satu dekade yang lalu, banyak dosen universitas mengeluh bahwa mahasiswa baru tidak mampu berpikir kreatif atau memecahkan masalah. “Banyak anak muda yang sudah hafal buku pelajaran tetapi mereka tidak tahu bagaimana menerapkan pengetahuan mereka,” kata para profesor. Ini persis seperti apa yang terjadi di Indonesia sekarang.