Senin, 22 Juni 2009

Biarkan Anak Memilih Sekolah


Musim penerimaan siswa baru (PSB) tahun ajaran 2009/2010 segera dibuka. Seperti tahun-tahun sebelumnya, anak-anak dan orang tua dipusingkan oleh urusan perburuan sekolah. Penyebabnya, biaya pendidikan yang semakin mahal. Isu pendidikan gratis yang biasa dikampanyekan oleh para calon legislatif (caleg) dan calon presiden (capres) menjelang pemilu ternyata sekadar lips service atau janji palsu belaka.

Sebagai gambaran, pada tahun ajaran 2008/2009, untuk mendaftarkan anak ke SD negeri saja, orang tua harus menyediakan uang ratusan ribu rupiah. Uang tersebut dipergunakan untuk keperluan dana sumbangan pendidikan (DSP), uang pakaian seragam, tas, sepatu, dan buku-buku.

Untuk keluarga mampu, besarnya biaya pendidikan tentu tak jadi soal. Untuk keluarga miskin, apalagi yang memiliki lebih dari satu calon siswa baru, tentu dana yang harus disiapkan pun menjadi berlipat ganda. Itu belum sekolah swasta atau sekolah favorit, yang biaya pendidikannya bisa mencapai puluhan juta rupiah.

Tak mengherankan kalau setiap memasuki bulan Juni-Juli seperti sekarang ini, omzet Perum Pegadaian selalu naik, bahkan sampai 30-40 persen. Rupanya, banyak orang tua yang menggadaikan barang untuk menyekolahkan anak. Toko emas juga kebanjiran orang jual perhiasan.

Siksaan Psikologis

Problem yang dihadapi anak lebih rumit lagi. Tidak jarang keinginan anak berbenturan dengan ego dan cita-cita orang tuanya. Sebab, sebagian orang tua telah memiliki rencana-rencana ideal yang harus dipatuhi anak. Akibatnya, anak tidak memiliki kebebasan untuk memilih sekolah dan menentukan masa depannya sendiri.

Dalam memilih sekolah, misalnya, ada anak yang sebenarnya berbakat di bidang IPS. Namun, lantaran orang tuanya berkeinginan anaknya menjadi dokter, sang anak dipaksa masuk jurusan IPA dan sebaliknya.

Para orang tua selalu berharap agar anak mereka menjadi "be special" ketimbang orang kebanyakan (be average). Harapan ini sejatinya tidak salah. Hanya, orang tua harus menyadari bahwa buah hati mereka dilahirkan dengan sifat dan ciri khas tersendiri. Pendek kata, setiap anak terlahir dengan keunikan, kelemahan, dan kelebihan yang membedakan satu dengan yang lain.

Sayang, sedikit orang tua yang memahami kejiwaan dan potensi anaknya. Orang tua lebih sering menjadi penindas atau monster mengerikan. Mereka merebut dan mencabik-cabik imajinasi, ruang batin, dan cita-cita anak. Akibatnya, anak akan merasakan trauma psikologis yang akan terus membayangi hingga mereka dewasa kelak.

Siksaan psikologis itu belum berakhir. Pasalnya, begitu masuk bangku sekolah, anak masih harus mengalami berbagai tindakan kekerasan, baik dari rekan maupun gurunya. Misalnya, kekerasan fisik berupa pemukulan, kekerasan emosi berupa pengabaian, kekerasan verbal berupa kata-kata yang menyakitkan, kekerasan seksual, dan sebagainya.

Karena dipaksa menuruti ego orang tua dan masih mengalami berbagai bentuk kekerasan setelah masuk sekolah, anak akan menderita trauma psikologis yang disebut Didik Darsono (2007) sebagai "fobia sekolah". Kata "fobia" menurut Baker Encyclopedia of Psychology and Counseling adalah gangguan ketakutan yang tidak rasional atau irrational fear dari objek-objek atau situasi-situasi yang tidak berbahaya. Secara singkat, Ivan Ward (1989) mendefinisikan fobia sebagai ketakutan yang tidak masuk akal, tanggapan terkondisi terhadap pengalaman yang sifatnya traumatis.

Fobia sekolah adalah bentuk ketakutan yang tidak masuk akal terhadap sekolah. Gejala fobia sekolah biasanya muncul ketika anak akan berangkat sekolah. Fobia itu segera hilang setelah pulang dari sekolah atau hari libur. Selain itu, fobia sekolah ditandai dengan perilaku menolak masuk sekolah, sakit perut, sakit kepala, dan berbagai gangguan fisik lainnya.

Umumnya, para ahli membagi fobia sekolah dalam skala ringan sampai dengan berat. Pertama, fobia sekolah tahap awal atau disebut initial school refusal behavior. Fobia ini ditandai dengan perilaku anak yang menolak masuk sekolah secara tiba-tiba dan berlangsung kurang dari satu minggu.

Kedua, fobia substantial school refusal behavior atau perilaku menolak sekolah yang telah berlangsung lebih dari satu minggu. Fobia ini memerlukan penanganan yang serius dari orang tua dan harus melibatkan guru kelas, konselor anak, atau guru BP di sekolah.

Orang Tua Bijak

Sudah saatnya orang tua tidak memaksakan egonya dan mulai memahami psikologi anak. Orang tua harus memperlakukan anak dengan hati-hati, menempatkannya sesuai dengan potensi dan kelemahannya. Orang tua harus menjadi tipe orang tua ideal atau dalam bahasa Elkind disebut milk and cookies parents. Yaitu, orang tua yang mengiringi tumbuh kembang anak-anak dengan penuh dukungan dan menyayanginya secara tulus.

Orang tua model itu sangat cocok dengan karakteristik dan sifat khas anak. Sebab, mereka beranggapan bahwa setiap anak hebat dengan kekhasan dan kekuatan potensi yang juga berbeda. Pada akhirnya, anak memang milik orang tua. Tetapi, untuk persoalan masa depan, biarlah mereka memilih sendiri sesuai dengan bakat, potensi, dan keinginan. Kewajiban orang tua adalah membimbing tumbuh kembang segenap potensi itu agar tidak melenceng dan tepat sasaran. Semoga.


Oleh: Agus Wibowo, mahasiswa pascasarjana UNY Jogjakarta
Sumber: http://indopos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=75768

Belasan Ribu Guru Dinilai tak Kompeten


SURABAYA. Kualitas guru di Kota Surabaya ternyata sampai sekarang belum maksimal. Hal ini terbukti dengan adanya belasan ribu guru yang dinilai belum mempunyai atau tidak kompeten di bidangnya.

Jumlah persisnya, sebanyak 11.057 guru dinyatakan tidak berkompeten di bidangnya. Data ini disinyalir Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya terkait dengan kompetensi guru yang ada di Surabaya.

''Dari 39.342 guru di Kota Surabaya, ternyata tercatat sebanyak 11.057 guru dinyatakan tidak kompeten,'' kata Kepala Bappeko Surabaya, Tri Rismaharini di Surabaya, kemarin (22/6).

Dengan masih banyaknya guru yang belum mempunyai kompetensi yang layak, papar pejabat yang karib disapa Risma itu, maka perlu dilakukan langkah serius untuk meningkatkan kualitas para guru, sehingga semua guru bisa memenuhi standard kompetensi.

Yang jelas, terang Risma, upaya yang akan dilakukan adalah melakukan pengembangan bagi para guru itu, utamanya sehubungan dengan kualitas pendidikan di Kota Surabaya secara keseluruhan. Dan, upaya tersebut, jelas Risma, perlu konsep dan program yang fokus dan tepat. ''Jangan sampai kualitas pendidikan di Surabaya terus menurun, bahkan kalah dengan daerah kabupaten/kota lainnya,'' tandas Risma.

Risma memberikan gambaran kontret tentang hasil Ujian Nasional (Unas) tahun 2009 ini yang dinilai menurun. Tahun ini, jelas Risma, hasil Unas di Surabaya menurun dan kalah dengan kota atau kabupaten lain. ''Ya, kalau dilihat dari dana anggaran pendidikan, Kota Surabaya tergolong cukup besar,'' ujarnya memberikan perbandingan.

Secara terpisah, Kepala Seksi (Kasi) Ketenagaan Dinas Pendidikan (Dispendik) Kota Surabaya, Yusuf Masruh mengatakan dari hasil tes kepala sekolah (Kasek) beberapa waktu lalu, menunjukkan kalau kualitas guru SD memang jauh lebih buruk dibanding guru SMP dan SMA, misalnya.

Ini, sambung Yusuf, bisa dilihat dari hasil tes kasek, para guru SMP dan SMA mendapatkan nilai rata-rata 60-an, sedangkan para guru SD maksimal mendapatkan nilai hanya 40-an. (afa/ahi)


By: Republika Newsroom

Selasa, 16 Juni 2009

UN jeblok, saatnya introspeksi diri

Pada Sabtu (13/6) lalu, hasil Ujian Nasional (UN) diumumkan. Yang mengejutkan, angka ketidaklulusan di Kota Solo mengalami peningkatan dibandingkan tahun lalu.

Angka ketidaklulusan tahun ini mencapai angka 12,49%, naik dari tahun kemarin yang hanya 7,46%. Angka ketidaklulusan pelajar SMA di Kota Solo ini juga tertinggi se-wilayah Soloraya. Bandingkan dengan angka ketidaklulusan Kabupaten Sukoharjo yang hanya 0,1% (SOLOPOS, 14/6).

Beragam reaksi pun dilontarkan. Sebagian kalangan menilai penyebab tingginya angka ketidaklulusan pelajar SMA ini adalah kenaikan standar kelulusan UN dari 5 menjadi 5,5 dan adanya ketakutan para pelajar dalam menghadapi UN kali ini. Ada pula sebagian kalangan yang menganggap bahwa tingginya angka ketidaklulusan di Kota Solo justru merupakan pertanda keberhasilan pengawasan UN di Kota Solo. “Itu artinya, pengawasan UN di Solo berhasil. Pengawasan UN di Kota Solo memang terhitung lebih ketat dibandingkan daerah lain,” ucap seorang sumber yang enggan disebutkan namanya.

Ya, kita sah-sah saja melontarkan beragam reaksi atas hasil UN kali ini. Namun, alangkah baiknya bila kita melakukan introspeksi diri. Mari bertanya kepada diri sendiri: mengapa angka ketidaklulusan pelajar SMA di Kota Solo terhitung tinggi bila dibandingkan daerah lain, tanpa perlu menuding pihak lain. Marilah kita terima hasil UN ini secara legawa karena bagaimana pun juga hasil UN merupakan kerja sama sebuah tim yang terdiri dari sekolah, guru, masyarakat dan siswa itu sendiri.

Sejak kali pertama diterapkan pada era 1980-an, UN selalu mengalami perubahan baik dalam sistem pelaksanaan hingga ke istilah. Namun, perlu dicatat pula, bahwa sejak kali pertama diterapkan, angka ketidaklulusan juga selalu ada. Di era 1980-an, pemeriksaan lembar jawaban UN masih pakai sistem manual dan standar kelulusannya 6 dengan waktu pelaksanaan tiga hari.

Namun, pada 2000-an, UN sudah mempergunakan sistem komputerisasi dan standar kelulusan sudah berubah menjadi 5,5 dengan waktu pelaksanaan selama lima hari. Bila melihat waktu pelaksanaan UN yang kian panjang dan standar kelulusan yang lebih rendah dibandingkan era 1980-an, seharusnya UN kali ini terasa lebih mudah bagi siswa dan seharusnya angka kelulusan lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya.

Tapi, fakta bicara lain. Ketika standar kelulusan sudah turun dari 6 menjadi 5,5 dan waktu pelaksanaan lebih panjang, kenyataannya jumlah siswa tidak lulus malah meningkat. Dari fakta ini, seharusnya kita mampu bertanya di mana letak kesalahan itu? Bisa jadi, kesalahan ada di kurikulum, cara pengajaran/penyampaian materi ajar kepada siswa, teknologi atau pada diri siswa yang kurang mampu menangkap materi ajar.

Dengan adanya evaluasi secara komprehensif, mudah-mudahan angka kelulusan UN tahun depan bisa lebih baik dibandingkan UN tahun ini. Semoga.


Sumber: http://www.solopos.co.id/zindex_menu.asp?kodehalaman=h26&id=275896

1.837 Siswa Tidak Lulus UAN Tingkat SMA/SMK/MA


Jawapos-Solo. Hasil UAN Tingkat SMA Kota Solo tahun 2009 ini memprihatinkan. Angka ketidaklulusan dalam ujian akhir nasional (unas) SMA, MA maupun SMK tahun ajaran 2008/2009 mencapai 1.387 orang dari total 13.986 siswa peserta.

Angka kelulusan SMA hanya mencapai 87,51 persen. Madrasah aliyah (MA) lebih parah yakni hanya 76,85 persen. Yang sedikit membanggakan justru hasil di sekolah menengah kejuruan (SMK). Untuk SMK tingkat kelulusan unas mencapai 94,52 persen.

Angka Kelulusan SMA Turun, Salah Standar?

Prosentase ketidak lulusan siswa SMA/MA Kota Solo tahun 2009 mencapai 12,49 persen. Ini artinya terjadi penurunan kualitas hasil UAN dibandingkan tahun 2008 lalu yang hanya berkisar 7, 46 persen.Sangat naif kalau beralasan bahwa penyebabnya adalah standar nilai kelulusan yang dinaikan.


Sumber: kotasolo.info

Hasil UN bermasalah akan diperiksa ulang


Semarang (Espos). Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah akan melakukan pemeriksaan ulang terhadap para siswa yang merasa ketidaklulusannya dalam ujian nasional (UN) tahun ini bermasalah.

Ketua Panitia Ujian Nasional Dinas Pendidikan Jawa Tengah Nur Hadi menyatakan, bagi para siswa yang merasa ada masalah dengan ketidaklulusannya dipersilakan untuk melaporkan ke Dinas Pendidikan Jawa Tengah. ”Karena kelulusan menyangkut masa depan maka kita akan periksa ulang bagi siswa yang merasa ketidaklulusannya ada masalah,” kata Nur Hadi seperti dilansir dari Tempointeraktif.com, Senin (15/6).

Nur Hadi mencontohkan, Senin (15/6), ada beberapa guru dari Jepara yang datang ke Kantor Dinas Pendidikan Jawa Tengah untuk mempertanyakan ketidaklulusan para siswanya. Puluhan siswa di Jepara dinyatakan tidak lulus akibat masih adanya kolom nilai yang masih kosong. Para siswa yang tidak lulus itu sebagian besar adalah siswa yang mengulang ujian karena tidak lulus ujian pada tahun 2007/2008 lalu.

Nur Hadi menyatakan, persoalan di SMK Muhammadiyah Keling, Jepara, itu karena para siswa tidak memasukan nomor ujian baik nomor ujian tahun ini maupun nomor ujian tahun lalu. Akibatnya, ada kolom nilai yang tidak muncul. Padahal, sebenarnya jika para siswa itu mematuhi perintah memasukan data diri sesuai aturan maka dalam setiap kolom akan muncul nilai hasil ujiannya. ”Yang dipakai adalah hasil nilai yang tertinggi,” kata Nur Hadi.

Karena sejak awal sudah tidak mematuhi mekanisme maka saat ini Dinas Pendidikan Jawa Tengah akan memeriksa ulang satu per satu siswa SMK yang dinyatakan tidak lulus itu.
Dari pengecekan itulah akan diketahui berapa nilai ujian nasional para siswa baik nilai tahun lalu maupun nilai tahun ini. Setelah itu akan diketahui apakah siswa tersebut benar-benar tidak lulus karena memang nilainya jelek ataukah ketidaklulusannya karena kesalahan memasukan data. Nur Hadi menegaskan, Dinas Pendidikan tidak akan gegabah untuk meluluskan seseorang. ”Makanya kita akan cek ulang satu per satu,” katanya.


Sumber: www.solopos.co.id

Mitos tentang Belajar


Bertahun-tahun lamanya sejak sekolah lahir, hakikat belajar lambat laun terselubungi mitos-mitos yang mendukung keberadaan institusi tersebut. Apakah itu? Jeanette Vos dalam bukunya yang padat berisi, berjudul The Learning Revolution menuliskan 4 hal, yaitu:

1. Sekolah adalah tempat terbaik untuk belajar
2. Kecerdasan bersifat tetap
3. Pengajaran yang menghasilkan pembelajaran
4. Kita semua belajar dengan gaya yang sama.

Kini, bahkan di sekolah sekalipun, sedikit demi sedikit konsep tentang belajar seperti 4 mitos di atas semakin ditinggalkan. Meski masih "terbata-bata" menerjemahkan paradigma belajar yang lebih menyenangkan, banyak sekolah, khususnya sekolah swasta memberlakukan cara belajar mengajar yang lebih dinamis: Buku pelajaran full color, tempat belajar ditata penuh warna, guru yang bersahabat, metode mengajar berbasis konsep multiple intelligence, dan hal-hal menyenangkan lainnya.

Akan tetapi, ternyata tak semua orang bisa memasuki wilayah belajar senyaman itu, karena kenyamanan yang diperoleh tak bisa dibayar hanya dengan senyuman, melainkan harus dengan merogoh uang jutaan. Sanggupkah?

Terlepas dari sanggup ataupun tidaknya kita mengeluarkan dana jutaan untuk sekolah yang nyaman, saya justru menemukan esensi penting dari semakin gugurnya mitos belajar seperti dikatakan Vos. Menurut saya, sejak jaman dulu, saat sekolah belum se-eksis sekarang, belajar bukanlah pekerjaan, sehingga seseorang yang ingin belajar harus tunduk pada sebuah birokrasi kerja. Belajar adalah kebutuhan hidup yang dengannya manusia bisa menjadi manusia mandiri. Karena itulah, orang seharusnya bisa belajar di manapun mereka menemukan sesuatu yang pantas, yang menarik, atau yang berguna untuk dipelajari.

Bukankah kisah-kisah para pencari ilmu di masa lalu memang lebih seru. Saking menariknya, sampai-sampai bisa dibuat serial cerita pengembaraan berpuluh atau bahkan beratus-ratus episode. Para pencari ilmu mengembara dari satu tempat ke tempat lain, mencari guru-guru yang faqih di bidangnya masing-masing, lalu kembali pulang sembari mengamalkannya di sepanjang perjalanan.

Saya rasa, kini pun hal semacam itu masih relevan dan akan terus relevan sepanjang waktu. Modal pentingnya hanyalah satu, yaitu Semangat untuk Belajar. Tanpa semangat belajar, anak lulusan sekolahan pun acapkali tergagap-gagap melihat realitas hidup, karena sesungguhnya mereka tak boleh berhenti belajar jika berniat mengarungi dunia nyata. Selama anak-anak tak kehabisan semangat belajar, mereka akan terus menjadi pembelajar mandiri di manapun mereka berada, dan mereka Insya Allah akan sanggup menghadapi tantangan hidup.

Masih percaya mitos?


Sumber: pendidikan-rumah.blogspot.com

Rabu, 10 Juni 2009

Naik Kelas, Naik Tensi, Naik Beban


Saat pendidikan menjadi ketidakpastian, yang menjadi korban dari ketidakpastian itu adalah pihak sekolah, orangtua dan murid. Ketidakpastian yang setiap tahun datang menyapa tidak pernah berubah menjadi sebuah kepastian agar ketiga pihak tadi memasuki tahun ajaran baru dengan tenang dan pasti.

Mengapa hal itu terjadi? Jawabannya sangat sederhana yaitu mengelola pendidikan dengan kedangkalan makna. Pendidikan adalah sebuah proses menyeluruh, jadi melihat pendidikan harus dengan seluruh aspek. Ketidakpastian yang selalu menghantui dunia pendidikan jangan diharapkan membuat dunia pendidikan Indonesia maju dan sejajar dengan negara lain.

Selalu Berubah

Memasuki tahun ajaran baru, guru selalu diliputi dan dihinggapi tanda tanya besar. Ada apa dengan tahun ajaran nanti? Apakah ada hal yang berubah dan berbeda dengan tahun ajaran kemarin? Kalau ada lantas perangkat pembelajaran apa lagi yang harus saya siapkan? Pertanyaan ini selalu menghantui sebab guru adalah korban pertama atas kebijakan yang tidak berkesinambungan.

Setiap hal baru selalu membawa konsekuensi. Kebijakan kependidikan baru juga demikian. Yang merepotkan adalah kebijakan baru dalam dunia pendidikan tidak mudah diimplementasikan sebagaimana pada bidang yang lain. Saya ambil contoh dalam perubahan kurikulum yang diambil tanpa ada sosialisasi memadai kepada guru. Sosialisasi (jika ada) tidak pernah menyentuh hal mendasar mengapa kebijakan itu diambil.

Maka, ketika hal itu diterapkan, para guru tergagap-gagap bukan pada ketidaksiapan mengajar dengan berbekal kurikulum baru, melainkan kesiapan administrasi pengajaran baik dalam bentuk penyiapan rancangan pembelajaran, program semester, pemilihan buku penunjang baik untuk anak didik maupun untuk guru. Karena semua berubah, parameter yang digunakan juga harus berubah mengikuti arah perubahan itu.

Kelihatannya sangat sederhana, namun implementasinya sangat kompleks. Materi pelajaran tidak banyak berubah, jadi guru tidak tergagap, yang berubah adalah dasar pijakan yang akan diterapkan kepada anak didik dan disosialisasikan kepada orangtua dan dipertanggungjawabkan secara etik profesi. Membuat anak pintar, cerdas adalah perkara mudah. Yang terasa sulit adalah perangkat untuk menjadikan anak menjadi cerdas.

Ketika kurikulum berubah maka alokasi waktu, bentuk evaluasi, penyiapan perangkat praktikum, aspek penilaian anak juga berubah. Ini hanyalah sebagian kecil dari sejumlah kerikil yang ada di hadapan guru.

Pungutan

Setiap tahun ajaran baru, orangtua dihadapkan pada rasa cemas. Mereka harus mencari sekolah baru untuk anaknya hingga mengawal anak yang naik kelas. Kecemasan itu menyangkut uang yang harus disiapkan. Dalam hal pungutan, tidak ada perbedaan antara sekolah negeri dengan swasta. Sekolah negeri yang semestinya steril dari aneka pungutan, praktiknya tetap ada dengan dibungkus berbagai nama. Orangtua juga menghadapi anak yang setiap tahun ajaran baru berarti buku baru, sepatu baru dan seragam baru.

Apa lagi untuk di Kota Solo, ada dasar hukum sebagai acuan untuk memindahkan uang dari kantong orangtua ke kantong sekolah yaitu Surat Edaran Walikota No.422.1/875 tanggal 29 April 2009 yang merupakan revisi atas Surat Edaran Walikota No.422.1/1.749 tanggal 20 Juni 2008. SE No.422.1/875 dengan jelas memberi batasan kepada pihak sekolah tentang pengecualian kepada keluarga miskin.

Spirit SE ini bagus karena mendasarkan rasa keadilan. Menyamakan orang miskin dengan orang kaya sangat tidak adil. Biarkan orang yang kaya dan mampu mengeluarkan uang untuk sekolah. Masyarakat tinggal mengawal pelaksanaan SE itu tepat sasaran atau meleset.

Biaya pendidikan sebenarnya murah dan sudah dibebaskan di sekolah negeri dengan adanya BOS dari pemerintah namun tetap ada pungutan di tengah jalan seperti untuk seragam dari sepatu sampai baju, buku paket, study tour, kenang-kenangan dan lain-lain. Komposisi pungutan di tengah jalan tidak sebanding dan jauh lebih besar dengan biaya resmi yang ditanggung oleh BOS yang hanya menanggung biaya sekolah minus biaya fasilitas sekolah.

Ada sekolah yang mewajibkan anak membeli peralatan seragam berlogo sekolah dari koperasi seperti sabuk, kaus kaki, yang ujung-ujungnya dijual dengan harga mencekik leher. Mengapa tidak memberi kesempatan dan membebaskan orangtua membeli di luar sekolah, kecuali seragam olahraga dan baju batik yang memiliki ciri khusus identitas sekolah?

Objek Pendidikan

Buku paket sekolah juga memberatkan. Banyak guru yang menjadi agen penerbit. Banyak penerbit yang setiap tahun berganti materi, halaman buku sehingga buku bekas kakak tidak dapat dipakai oleh sang adik. Mereka juga memakai segala macam cara pendekatan kepada pihak sekolah agar memakai buku terbitan mereka. Padahal sekolah sudah membebaskan orangtua untuk mencari di luar. Mata rantai inilah yang harus diputus dan dihilangkan. Kalau semua bisa dihilangkan, niscaya denyut jantung orangtua tidak berdetak kencang.

Murid ibarat kelinci percobaan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Kebijakan yang diambil secara tidak transparan dan kerangka tujuan yang jelas menjadikan anak didik menjadi korban. Inilah yang menjadi pokok permasalahan mengapa banyak pihak antara lain di parlemen, pengamat pendidikan dan praktisi pendidikan senantiasa menyerang setiap kebijakan yang diambil oleh Menteri Pendidikan Nasional meskipun kebijakan itu bagus. Pengambilan keputusan bukan atas pertimbangan yang menempatkan anak sebagai subjek pendidikan tetapi lebih pada pertimbangan politis semata.

Lihatlah bagaimana kebingungan 315 siswa SMA Negeri 2 Ngawi dan 140 siswa SMA Negeri Wungu Kabupaten Madiun menyeruak manakala mereka diminta mengulang UN tanpa mengetahui apa kesalahan mereka (Kompas, 5/6). Aduh! Tak cukupkah satu korban dari murid atas kebijakan UN ini?

Beban itu harus tetap dipikul oleh sekolah, orangtua dan anak didik. Jangan harap akan lahir rasa empati melihat beban itu dari jajaran Menteri Pendidikan Nasional karena mereka tidak peduli dan tidak mau tahu sebab hanya mengejar target seperti robot.

Yang kita inginkan sekarang adalah tampilnya pihak yang betul-betul punya hati, mau mendengar, concern dan memandang pendidikan secara menyeluruh bukanya parsial. Siapa mereka? Mereka adalah pribadi-pribadi yang tidak gemar menghembuskan angin surga dan bersemangat asal bapak senang (ABS), tetapi pribadi-pribadi mau menampilkan kepahitan dunia pendidikan meskipun menyakitkan agar kelak membawa manisnya pendidikan.


Oleh: Rumongso, Guru SD Djama’atul Ichwan Solo
Sumber: www.solopos.co.id

Anak Balita Inggris punya IQ setara Bill Gates


Seoul-(Espos). Usia bocah perempuan Balita ini memang baru 2 tahun. Tapi jangan tanya soal IQ-nya. Dia punya skor IQ 160 atau setara dengan IQ sang juragan Microsoft, Bill Gates, dan ilmuwan fisika Stephen Hawking!

Karina Oakley kalau dilihat memang seperti layaknya bocah perempuan lain seusianya yang suka bermain boneka dan berdandan. Tapi bocah yang tinggal bersama orangtuanya di Guildford, Surrey, Inggris ini berdasarkan penelitian pakar psikologi anak punya kemampuan daya ingat, verbal dan penalaran yang jauh melebihi usianya.

Charlotte Fraser, ibunya, mengakui dia jadi tertarik untuk membawa anaknya ke Profesor Joan Freeman, seorang pakar psikologi anak setelah menonton acara TV yang membahas soal anak-anak jenius. ”Tadinya saya tak terlalu memperhatikan, tapi banyak sekali orang yang bilang Karina sangat cerdas, mampu mengungkapkan pikirannya dalam bahasa yang jelas dan cepat sekali mempelajari sesuatu,” tuturnya seperti dikutip dailymail.co.uk, Selasa (9/6).

”Karina adalah anak yang menyenangkan, responsif dan mudah berteman,” kata Profesor Joan Freeman. ”Dia tak cuma sangat cemerlang dan berkemampuan tinggi. Dia ini masuk kategori tertinggi yaitu berbakat,” tegasnya. ”Dia juga sangat menikmati aneka tes kecerdasan yang harus dijalaninya. Kesenangan yang ditunjukkannya saat mengerjakan semua itu juga menurut saya adalah tanda kecerdasan. Joan mencontohkan bagaimana Karina menjawab pertanyaan seperti ”Apa guna mata?” ”Dia tak menjawab ‘untuk melihat’ tapi dia bilang ‘kita memejamkan mata saat tidur’ dan lantas menambahkan ‘Anda memakai lensa kontak di mata,” papar Joan.


Sumber: http://www.solopos.co.id/zindex_menu.asp?kodehalaman=h09&id=274890

Selasa, 09 Juni 2009

Mengembangkan Kreativitas Anak Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah


Kreativitas merupakan suatu bidang yang sangat menarik untuk dikaji namun cukup rumit sehingga menimbulkan berbagai perbedaan pandangan. Menurut Supriadi (2001) kreativitas didefinisikan secara berbeda-beda tergantung pada bagaimana orang mendefinisikannya. Tidak ada satu definisipun yang dianggap dapat mewakili pemahaman yang beragam tentang kreativitas atau tidak ada satu definisipun yang dapat diterima secara universal.

Hal ini disebabkan oleh dua alasan. Pertama, kreativitas merupakan ranah psikologis yang kompleks dan multidimensional yang mengundang berbagai tafsiran yang beragam. Kedua, definisi-definisi kreativitas memberikan tekanan yang berbeda-beda, tergantung pada dasar teori yang menjadi acuan pembuatan definisi kreativitas tersebut. Walaupun demikian akan dipaparkan beberapa definisi kreativitas yang dikemukakan oleh para ahli.

Supriadi (2001) memaparkan bahwa kreativitas merupakan kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata, yang relatif berbeda dengan apa yang telah ada sebelumnya. Sementara itu, Munandar (1999) mengemukakan bahwa kreativitas adalah kemampuan untuk membuat kombinasi baru, berdasarkan data, informasi, atau unsur-unsur yang sudah ada atau sudah dikenal sebelumnya, yaitu semua pengalaman dan pengetahuan yang telah diperoleh seseorang selama hidupnya baik itu di lingkungan sekolah, keluarga, maupun dari lingkungan masyarakat.

Selain itu, menurut pandangan ahli psikologis Horrace et al (Sumarno, 2003) dikatakan bahwa kreativitas adalah kemampuan seseorang untuk
menemukan cara-cara baru bagi pemecahan problema-problema, baik yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan, seni sastra atau seni lainnya, yang mengandung suatu hasil atau pendekatan yang sama sekali baru bagi yang bersangkutan, meskipun bagi orang lain merupakan suatu hal yang tidak asing lagi.

Dari beberapa pendapat yang telah dipaparkan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada intinya kreativitas merupakan kemampuan seseorang untuk menciptakan sesuatu yang baru dan merupakan hasil kombinasi dari beberapa data atau informasi yang diperoleh sebelumnya, terwujud dalam suatu gagasan atau karya nyata.

Ciri-ciri kreativitas dapat dibedakan menjadi dua yaitu ciri kognitif (aptitude) dan ciri non-kognitif (nonaptitude). Ciri kognitif dari kreativitas terdiri dari orisinalitas, fleksibilitas, kelancaran dan elaboratif. Sedangkan ciri non-kognitif dari kreativitas meliputi motivasi, kepribadian, dan sikap kreatif. Kreativitas baik itu yang meliputi ciri kognitif maupun ciri non kognitif merupakan salah satu potensi yang penting untuk dipupuk dan dikembangkan.

Pentingnya pengembangan kreativitas ini memiliki empat alasan, yaitu:
1. Dengan berkreasi, orang dapat mewujudkan dirinya, perwujudan diri tersebut termasuk salah satu kebutuhan pokok dalam hidup manusia. Menurut Maslow (Munandar, 1999) kreativitas juga merupakan manifestasi dari seseorang yang berfungsi sepenuhnya dalam perwujudan dirinya.

2. Kreativitas sebagai kemampuan untuk melihat kemungkinan-kemungkinan untuk menyelesaikan suatu masalah, merupakan bentuk pemikiran yang sampai saat ini masih kurang mendapat perhatian dalam 2 pendidikan formal. Siswa lebih dituntut untuk berpikir linier, logis, penalaran, ingatan atau pengetahuan yang menuntut jawaban paling tepat terhadap permasalahan yang diberikan. Kreativitas yang menuntut sikap kreatif dari individu itu sendiri perlu dipupuk untuk melatih anak berpikir luwes (flexibility), lancar (fluency), asli (originality), menguraikan (elaboration) dan dirumuskan kembali (redefinition) yang merupakan ciri berpikir kreatif yang dikemukakan oleh Guilford (Supriadi, 2001).

3. Bersibuk diri secara kreatif tidak hanya bermanfaat, tetapi juga memberikan kepuasan kepada individu.

4. Kreativitaslah yang memungkinkan manusia meningkatkan kualitas hidupnya.

Mengingat pentingnya kreativitas siswa tersebut, maka di sekolah perlu disusun suatu strategi pembelajaran yang dapat mengembangkan kreativitas. Strategi tersebut diantaranya meliputi pemilihan pendekatan, metode atau model pembelajaran. Salah satu pembelajaran yang saat ini sedang berkembang ialah pembelajaran berbasis masalah. Pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu pembelajaran yang menuntut aktivitas mental siswa untuk memahami suatu konsep pembelajaran melalui situasi dan masalah yang disajikan pada awal pembelajaran (Ratnaningsih, 2003). Masalah yang disajikan pada siswa merupakan masalah kehidupan sehari-hari (kontekstual).

Pembelajaran berbasis masalah ini dirancang dengan tujuan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir dan mengembangkan kemampuan dalam memecahkan masalah, belajar berbagai peran orang dewasa melalui keterlibatan mereka dalam pengalaman-pengalaman nyata (Ratnaningsih, 2003). Pada pembelajaran berbasis masalah siswa dituntut untuk melakukan pemecahan masalah-masalah yang disajikan dengan cara menggali informasi sebanyak-banyaknya, kemudian dianalisis
dan dicari solusi dari permasalahan yang ada. Solusi dari permasalahan tersebut tidak mutlak mempunyai satu jawaban yang benar, artinya siswa dituntut pula untuk belajar secara kreatif. Siswa diharapkan menjadi individu yang berwawasan luas serta mampu melihat hubungan pembelajaran dengan aspek-aspek yang ada dilingkungannya.

Dalam ruang lingkup pembelajaran berbasis masalah, siswa berperan sebagai seorang profesional dalam menghadapi permasalahan yang muncul, meskipun dengan sudut pandang yang tidak jelas dan informasi yang minimal, siswa tetap dituntut untuk menentukan solusi terbaik yang mungkin ada. Pembelajaran berbasis masalah membuat perubahan dalam proses pembelajaran khususnya dalam segi peranan guru. Guru tidak hanya berdiri di depan kelas dan berperan sebagai pemandu siswa dalam menyelesaikan permasalahan dengan memberikan langkah-langkah penyelesaian yang sudah jadi melainkan guru berkeliling kelas memfasilitasi diskusi, memberikan pertanyaan, dan membantu siswa untuk menjadi lebih sadar akan proses pembelajaran.

Menurut Departemen Pendidikan Nasional (2003), ciri utama pembelajaran berbasis masalah meliputi mengorientasikan siswa kepada masalah atau pertanyaan yang autentik. multidisiplin, menuntut kerjasama dalam penyelidikan, dan menghasilkan karya. Dalam pembelajaran berbasis masalah situasi atau masalah menjadi titik tolak pembelajaran untuk memahami konsep, prinsip dan mengembangkan keterampilan memecahkan masalah.

Pierce dan Jones (Ratnaningsih, 2003) mengemukakan bahwa kejadian-kejadian yang harus muncul pada waktu pelaksanaan pembelajaran berbasis masalah adalah sebagai berikut:

a. Keterlibatan (engagement) meliputi mempersiapkan siswa untuk berperan sebagai pemecah masalah yang bisa bekerja sama dengan pihak lain, menghadapkan siswa pada situasi yang mendorong untuk mempu menemukan masalah dan meneliti permasalahan sambil mengajukkan dugaan dan rencana penyelesaian.

b. Inkuiri dan investigasi (inquiry dan investigation) yang mencakup kegiatan mengeksplorasi dan mendistribuskan informasi.

c. Performansi (performnace) yaitu menyajikan temuan.

d. Tanya jawab (debriefing) yaitu menguji keakuratan dari solusi dan melakukan refleksi terhadap proses pemecahan masalah.

Pembelajaran berbasis masalah membuat siswa menjadi pembelajar yang mandiri, artinya ketika siswa belajar, maka siswa dapat memilih strategi belajar yang sesuai, terampil menggunakan strategi tersebut untuk belajar dan mampu mengontrol proses belajarnya, serta termotivasi untuk menyelesaikan belajarnya itu (Depdiknas, 2003).

Dalam pembelajaran berbasis masalah siswa memahami konsep suatu materi dimulai dari
belajar dan bekerja pada situasi masalah (tidak terdefinisi dengan baik) atau open ended yang disajikan pada awal pembelajaran, sehingga siswa diberi kebebasan berpikir dalam mencari solusi dari situasi masalah yang diberikan.

Menurut Ismail (Ratnaningsih 2003) pembelajaran berbasis masalah biasanya terdiri dari lima tahapan utama, yaitu:

a. Orientasi siswa pada masalah dengan cara guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah.

b. Mengorganisasikan siswa untuk belajar dengan cara guru membantu siswa dalam mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.

c. Membimbing penyelidikan individual dan kelompok dengan cara guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.

d. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya dengan cara guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan.

e. Manganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah dengan cara guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan siswa dan proses yang digunakan.

Pada intinya pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata disajikan di awal pembelajaran. Kemudian masalah tersebut diselidiki untuk diketahui solusi dari pemecahan masalah tersebut. Menurut Torrance (1976) model pembelajaran yang berorientasi pada
pemecahan masalah seperti pada pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu pembelajaran yang efektif untuk meningkatkan potensi yang dimiliki oleh siswa, salah satunya adalah kreativitas siswa. Situasi masalah yang disajikan dalam pembelajaran tersebut merupakan suatu stimulus yang dapat mendorong potensi kreativitas dari siswa terutama dalam hal pemecahan masalah yang dimunculkan.

Kreativitas yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran berbasis masalah ini bukan hanya aspek kognitifnya saja (kemampuan berfikir kreatif) tetapi juga diharapkan melalui pembelajaran berbasis masalah tersebut dapat mengembangkan aspek non-kognitif dari kreatifitas yakni kepribadian kreatif dan sikap kreatif siswa.


Oleh: Trihadiyanti, S.Pd
Sumber: http://www.sd-binatalenta.com/images/artikel_tri.pdf