Selasa, 10 Mei 2011

Masa SMA, Masa Sulit bagi AnakSM

Masa duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), merupakan masa sulit dalam perkembangan anak. Sebab, pada usia tersebut anak sedang kuat-kuatnya mencari jatidiri.

Demikian dikatakan Paula Santi Rudati salah seorang pembicara dari Politeknik Negeri Bandung dalam seminar tentang perkembangan anak. Seminar itu digelar dalam rangkaian acara Reuni Intan (60 Tahun) SMA Pangudi Luhur St Yosef Solo, di aula setempat Selasa (10/5).

“Karena itu perlu adanya kemandirian agar mereka mendapatkan apa yang mereka cita-citakan,” ujar Paula dalam seminar yang diikuti siswa dan orangtua siswa itu.

Paula menuturkan, sekarang sungguh berbeda dengan zaman dulu di mana anak dituntut mandiri. Tetapi sekarang anak cenderung suka dilayani. “Karena itu kita sebagai orangtua cukup menyiapkan kebutuhannya saja dan membiarkan anak menyadari apa yang sesungguhnya mereka butuhkan,” papar dia.

Anak juga sepantasnya tidak diberikan beban untuk selalu harus memiliki peringkat bagus di sekolah. “Cukup ditumbuhkan kesadarannya dan bukan beban. Dengan demikian diharapkan anak dapat menganalisa sendiri,” imbaunya.

Salah seorang pembicara yang merupakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Aria Bima mengatakan, saat ini anak berada dalam atmosfer yang materialistis, pragmatis dan individual.

Ini merupakan tantangan bagi orangtua dan guru mengingat akibat dari itu semua adalah anak akan mencari kesenangan singkat dan dengan cara yang singkat pula. Penanganannya antara lain dengan komunikasi keluarga. Selain itu perlu adanya sinergi antara pendidikan dan kultur.

Sumber: Joglosemar



Sistem pendidikan alami disorientasi

Sistem pendidikan di Indonesia saat ini dinilai telah mengalami disorientasi. Banyak lembaga pendidikan yang hanya berusaha mencukupi kebutuhan pasar.

Penilaian itu disampaikan anggota DPR, Aria Bima, di sela-sela seminar bertema Pendampingan Anak Usia SMA Menuju Insan Dewasa Berkarakter yang diselenggarakan oleh SMA Pangudi Luhur Santo Yosef, Solo, di aula sekolah setempat, Selasa (10/5). Kegiatan itu diikuti siswa dan orangtua siswa.
“Anak seharusnya dibiasakan berpikir analitis. Apa yang mereka kerjakan seharusnya didasarkan pada hasil riset mereka sendiri.”
Bima mengungkapkan proses pendidikan seharusnya diarahkan pada model yang mengedepankan sisi intelektualitas dan berorientasi pada kematangan atau kecerdasan emosi anak. Terlebih saat ini banyak anak yang berpikir pragmatis, individual dan materialistis. Hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan. “Seharusnya, pendidikan dikembalikan kepada komunitas keluarga dengan mengedepankan aspek budi pekerti dan agama,” ujarnya.

Pembicara lainnya, Paula Santi Rudati, mengungkapkan untuk mengoptimalkan kecerdasan anak, sejak kecil seorang anak harus dilatih untuk mengerti kebutuhannya sendiri. Dalam hal kebutuhan makan misalnya, orangtua seharusnya menyediakan semua makanan yang dibutuhkan anak. Lalu anak dibiasakan makan ketika merasa lapar. “Anak seharusnya dibiasakan berpikir analitis. Apa yang mereka kerjakan seharusnya didasarkan pada hasil riset mereka sendiri.”

Pembicara lainnya, Erlangga Tri Putranto, menekankan pentingnya kemandirian untuk meraih sukses. Menurutnya, ada kesalahan dalam dunia pendidikan di Indonesia saat ini. Yaitu kebiasaan orangtua dan guru untuk memanjakan anak.

Sumber: Solopos

1 komentar: