Kamis, 18 Maret 2010

Mempertahankan Kota Putih UN

Bukan menjadi rahasia umum bila pelaksanaan ujian nasional sekolah menengah pertama (UN SMP), sekolah menengah atas (SMA) dan yang sederajat rawan kecurangan. Tindakan antikejujuran terjadi, dilakukan oleh siswa secara personal (individu) maupun dilakukan oleh guru sebagai bagian dari institusi (kelompok) sekolah. Bahkan secara sistematis ada kecurangan yang sudah diorganisasi oleh dinas pendidikan atau pemerintah daerah setempat guna mengangkat prestise.

Meskipun demikian, kita tidak bisa memvonis bahwa setiap sekolah maupun daerah melakukan aksi kecurangan. Demikian juga dengan Kota Solo yang sudah dikenal sebagai Kota Putih pelaksanaan UN. Pernyataan tersebut diungkapkan Kepala Disdikpora Kota Surakarta Rakhmat Sutomo dalam acara nota Kesepakatan Pakta Kejujuran. Harapannya, Solo dapat mempertahankan predikat Kota Putih UN (Joglosemar, 15/3/10).

Hakikatnya, bila kita melongok hasil dari pelaksanaan UN tahun sebelumnya, tingkat kegagalan lebih besar dibanding dengan daerah lain di eks Karesidenan Surakarta. Sebenarnya memang patut ditanyakan, kesalahan terletak di mana? Apakah kualitas memang menurun atau memang pelaksanaan UN di Solo berjalan sesuai dengan aturan main dan bersih dari kecurangan?

Dinas Pendidikan Berjualan HP

Sudah lama masyarakat mengkhawatirkan gejala makin tumbuh suburnya komersialisasi di bidang pendidikan. Gejala ini bisa dilihat dari makin banyaknya pihak yang menggunakan lembaga pendidikan sebagai alat untuk mengeruk keuntungan finansial. Di mana-mana, dapat ditemukan fenomena yang nyaris serupa, dengan maksud untuk memperbesar margin keuntungan ekonomi bagi lembaga penyelenggara pendidikan maupun para pembuat kebijakan.

Seperti diketahui, Dinas Pendidikan Kabupaten Sragen mengeluarkan Surat Edaran (SE) yang berisi penawaran handphone (HP) mirip Blackberry ke sekolah-sekolah, di mana para guru dan siswa diimbau membeli HP produk tertentu yang bisa dipesan melalui dinas pendidikan setempat (Joglosemar, 6/3). Bahkan, telah dilakukan kerja sama memorandum of understanding (MoU) dengan salah satu operator telekomunikasi untuk pengadaan kebijakan program early learning, dengan menggunakan HP sebagai medianya.

Kebijakan sistem pembelajaran lewat HP itu dipandang akan memudahkan siswa, sehingga tidak perlu membeli buku dan bisa mengakses semua jaringan pendidikan. Pada dasarnya, kebijakan ini bukan paksaan, namun bersifat sukarela. Namun dengan membeli HP yang dimaksud, justru dikhawatirkan membebani orangtua siswa, mengingat selama ini sudah terbebani dengan mahalnya biaya pendidikan. Terlebih dalam tata tertib sekolah, sebenarnya siswa memang dilarang membawa HP ke sekolah.

Televisi sedang Menonton Anda

“Anda adalah layar dan televisi sedang menonton Anda.” (Jean Baudrillard)

Televisi benar-benar telah menonton kita. Saat ini bukan hanya tayangan sinetron, infotainment atau reality show yang menjadi tontonan kita. Tetapi tayangan berita menjadi santapan wajib bagi beberapa pemirsa. Yang paling aktual tentu berita tentang penyergapan teroris di Pamulang, Tangerang Selatan beberapa hari kemarin.

Sebelumnya televisi juga memberitakan tentang penyergapan pusat pelatihan teroris di pedalaman hutan Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Masyarakat pun semakin betah duduk di depan televisi karena mendapat tontonan baru, setelah selama hampir tiga bulan kemarin hanya disuguhi berita kasus Bank Century dan berbagai proses hukum yang carut-marut.

Berita penyergapan teroris ini mengingatkan kita ketika Densus 88 Polri mengepung persembunyian teroris di Mojosongo, Solo dan Temanggung beberapa waktu silam. Bagi televisi, peristiwa penyergapan teroris memang menjadi salah satu andalan dalam program berita. Sebab, peristiwa seperti itu jarang terjadi dan memiliki efek dramatik yang dalam.

40% siswa SMA/MA di Solo tak lulus try out bersama

Solo (Espos). Sekitar 40% siswa SMA dan MA dinyatakan tidak lulus pada try out atau latihan ujian bersama yang diselenggarakan beberapa waktu lalu, faktor ketidaklulusan ditunjang karena sejumlah siswa salah dalam mengisian lembar jawab.

Menurut Sekretaris Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) Solo, Edy Pudiyanto, sedikitnya dalam mempersiapkan UN masing-masing sekolah memberikan pelatihan soal kepada siswa sedikitnya sembilan kali.

Dia mengatakan, secara kemampuan akademik sejumlah siswa tersebut telah menguasai materi pelajaran yang diujikan, namun ada beberapa faktor seperti ketelitian dalam pengisian lembar jawab komputer yang menjadi kendala utama.

"Mitos-mitos" Ujian Nasional?

Gugatan 58 warga negara terkait kebijakan ujian nasional kembali mendapat dukungan dengan ditolaknya kasasi pemerintah oleh Mahkamah Agung.

Tidak berlebihan untuk memandang putusan itu sebagai tonggak penting dalam mendorong evaluasi berbagai kebijakan pendidikan selama ini. Sayang, pemerintah tampaknya berkeras menggunakan hasil ujian nasional (UN) sebagai salah satu penentu kelulusan melalui rencana peninjauan kembali. Beberapa argumen yang dilontarkan untuk mendukung UN sebenarnya masih terbantahkan.

Penilaian guru tidak konsisten?

Bagaimana menentukan kelulusan siswa dari suatu jenjang pendidikan bila tidak ada UN? Bukankah penilaian guru amat bervariasi dari satu sekolah ke sekolah lain, bahkan dari satu kelas ke kelas lain? Berbagai pertanyaan semacam itu muncul karena kekhawatiran yang bersumber dari ketidakpercayaan terhadap penilaian yang diberikan guru.

UN, Ujian yang tidak Mengevaluasi

Saya menduga bila tidak ada kasus kriminalisasi KPK atau Pansus Bank Century dan sekarang disusul oleh penembakan kelompok teroris, boleh jadi pelaksanaan Ujian Nasional (UN) akan menjadi berita utama di media massa, sebagaimana tahun-tahun lalu. Lebih-lebih tahun ini pelaksanaannya terkesan dipaksakan bila dikaitkan dengan keputusan Mahkamah Agung tentang hal itu.

Apa mau dikata, UN akan kembali hadir dalam beberapa hari lagi di tengah masyarakat yang masih menuai kontroversi di kalangan para pemangku kepentingan pendidikan. Sementara itu, ketegangan yang senantiasa memengaruhi kondisi kejiwaan mulai dirasakan oleh para siswa, orang tua, dan pendidik. Biarlah pakar-pakar hukum membahas lebih jauh bagaimana keputusan lembaga hukum tertinggi dapat begitu saja diabaikan. Faktanya, pemerintah masih menganggap bahwa UN masih merupakan metode terbaik sebagai standardisasi kelulusan tingkat sekolah. Mendiknas menyatakan, UN masih dinilai paling banyak memiliki sisi positif dibandingkan dengan metode lainnya yang pernah kita gunakan mulai dari 1965 sampai sekarang, yaitu ujian negara pada 1965-1971 ataupun ujian sekolah pada 1972-1979. Ujian Nasional merupakan ubah wujud dari Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas), yang dimulai 2001.