Minggu, 08 November 2009

Sistim Pendidikan Pada Masa Keemasan Islam dan Kritik Terhadap Pelaksanaan Ujian Nasional: Studi Komparasi Historis

A. Sekilas Tentang Kontroversi Ujian Nasional

Pelaksanaan Ujian Nasional di Indonesia telah dimulai sejak tahun 2004 silam, sebagai bagian dari rencana jangka panjang pemerintah meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Pada awal pelaksanaannya mata pelajaran yang diujikan bersifat umum meliputi bahasa Indonesia, matematika dan bahasa Inggris. Namun pada tahun 2009 jumlah mata pelajaran yang diujikan meningkat menjadi enam mata pelajaran yang disesuaikan dengan penjurusan siswa (kelas Bahasa, IPA dan IPS). Begitu pun standar nilai rata-rata ditingkatkan secara bertahap dari tahun ke tahun, mulai dari 4.1 hingga sekarang rata-rata 5.5. Jika pada awalnya UN hanya diperuntukkan pada tingkat menengah atas (SMA) sekarang meliputi juga SMP dan bahkan SD.

Berdasarkan definisi awalnya UN merupakan ujian tertulis yang menjadi salahsatu faktor penentu kelulusan siswa. Sampai di sini tidak ada masalah dan telah menjadi suatu keharusan dalam sistim pendidikan modern. Permasalahan muncul ketika UN diberlakukan secara nasional dan menjadi satu-satunya faktor yang menentukan kelulusan siswa bersangkutan. Dalam argumennya pemerintah menekankan bahwa UN perlu terus dijalankan untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia agar tidak semakin tertinggal dari negara-negara lainnya, dan untuk kepentingan pemetaan pendidikan. Dalam catatan pemerintah juga disebutkan bahwa dari tahun ke tahun telah terjadi peningkatan jumlah kelulusan siswa, dan betapa ternyata UN juga terbukti telah meningkatkan semangat belajar siswa dan kualifikasi guru bersangkutan.

Sementara di sisi lain, sebagian budayawan dan pakar pendidikan nasional kerap mengkritisi kebijakan standarisasi UN. Megawati misalnya, dalam kapasitasnya sebagai budayawan, menilai UN sebagai anti kebhinekaan karena mengabaikan perbedaan-perbedaan kultur lokal dan geografi; sementara Winarno Surakhmad menilai UN sebagai salahsatu bentuk reduksionisme pendidikan di Indonesia. Dalam pandangannya Indonesia tidak bisa diseragamkan, harus ada pembedaan dan penekanan yang khas daerah masing-masing. Kritik lainnya menyangkut efek domino negative dari diberlakukannya standarisasi UN secara nasional, seperti: ditekannya kreativitas guru dan sekolah, terpinggirkannya ilmu akhlaq dan budaya, tersitanya waktu luang siswa untuk kegiatan mandiri sebagai akibat dari fokus siswa dan pihak sekolah terhadap UN semata.

Tujuan makalah ini pada awalnya hanyalah sekadar menjabarkan sistim pendidikan Islam di masa keemasannya (Daulah Abbasiah). Namun demikian dalam hemat penulis, deskripsi histories semata tidak memiliki arti apa-apa. Karena itu penulis coba mengkaitkannya dengan permasalahan pendidikan nasional kontemporer, dalam hal ini kontroversi seputar UN. Studi komparasi histories seperti ini sendiri penting dalam rangka, dengan meminjam istilah Mulyadhi Kartanegara, reaktualisasi tradisi ilmiah Islam. Bagaimana pun penulis sadar bahwa studi ini hanya bersifat pengantar semata, dan memerlukan lebih banyak penelitian lanjutan.

B. Pendidikan Islam di Masa Keemasan

Secara umum yang dimaksud dengan masa keemasan Islam adalah masa kekuasaan Daulah Abbasiah pada sekitar abad 8 M hingga 13 M yang diakhiri dengan hancurnya Baghdad akibat serangan bangsa Mongol. Pada masa inilah peradaban Islam mencapai masa keemasannya dengan menjadi pemimpin bagi peradaban dunia saat itu. Pada masa ini pula lahir dan berkembang sains dan filsafat dalam Islam. Di antara tokoh-tokohnya adalah: dalam bidang kedokteran seperti, Ar Razi (932 M), Ibn Sina (1037 M) dan Az Zahrawi (1009 M); dalam bidang matematika dan sains seperti, Al Khawarizmi (penemu aljabar, 846 M), Ibn Haitam (1039 M), Al Biruni (1048 M), Jabir ibn Hayyan (dalam kimia, 815 M); dalam bidang politik dan etika seperti, Al Farabi, Ibn Khaldun, Al Gozali dan Ibn Taimiyyah.

Tentunya ketika kita membahas masalah kemajuan sebuah peradaban maka tidak bisa dilepaskan dari sistim pendidikan yang berlaku pada saat itu. Mulyadhi Kartanegara dan Azyumardi Azra dalam bukunya menekankan berkali-kali bahwa pendidikan adalah factor kunci kemajuan sebuah peradaban. Secara umum sistim pendidikan yang berlaku pada masa itu dapat dibagi menjadi dua, pendidikan formal dan informal. Pendidikan formal berupa madrasah (termasuk juga jami’ah). Sedang informal meliputi perpustakaan, rumah sakit, observatorium, akademi dan halaqah.

Charles M. Stanton menganggap madrasah sebagai the higher institution of learning setaraf dengan universitas. Namun berbeda dengan universitas Eropa dan modern, madrasah lebih menekankan pada aspek pendidikan agama (fiqih dan teologi). Madrasah pertama yang didirikan secara khusus oleh Negara dan islam sunni adalah Nizhamiyyah (11 M) dan dilanjutkan dengan Muntansiriyyah (13 M) di Bagdad. Cabang-cabang dari madrasah Nizhamiyyah meliputi kota-kota besar Islam lainnya seperti Thus, Syiraz dan Nishapur. Madrasah-madrasah ini mendapat dukungan besar dari negara, bukan saja untuk biaya pendirian dan pemeliharaan, tetapi juga program beasiswa. Suasana madrasah telah menciptakan suatu atmosfer pendidikan yang khas dengan memadukan kehidupan akademik dengan kehidupan social dari orang-orang yang tinggal di dalam lingkungannya, sebuah asimilasi mahasiswa ke dalam kehidupan akademis dan dunia intelektual. Masyarakat Islam sendiri sangat menghormati kegiatan menuntut ilmu dan tidak menuntut siswa agar segera menyelesaikan satu paket kurikulum, lalu mencari pekerjaan.

Walau pun kurikulum madrasah lebih cenderung pada masalah ushuluddin, namun bukan berarti bidang lainnya tidak mendapat tempat. Berdasarkan catatan Ikhwan al Shafa pada abad 10 mengenai kurikulum madrasah, dapat diketahui bahwa selain ilmu agama juga dipelajari disiplin-disiplin ilmu lainnya seperti ilmu umum (tulis baca, jual beli, pertanian dan ilmu praktis lainnya) dan ilmu filosofis (matematika, logika dan lainnya). Metode yang umum digunakan adalah ta’liyah, atau debat tertulis dengan mengemukakan satu permasalahan yang lalu diikuti dengan jawaban (negative dan positif) serta penyelesaian yang tepat dengan sedikit rasionalisasi untuk mencapai kesimpulan (mirip dengan metode skolastik dialektika di universitas klasik Eropa). Metode lainnya adalah debat lisan (jadal) yang bersifat formal, tergantung pada aturan-aturan logika dan retorika di mana seseorang mempertahankan tesisnya menghadapi penantang yang coba membatalkan argumentasinya. Metode jadal sendiri dimulai dengan menyalin, menghafal dan lalu berdebat.

Tidak kalah pentingnya adalah peranan lembaga-lembaga pendidikan informal seperti akademi (tempat diselenggarakan kegiatan-kegiatan ilmiah) dan perpustakaan, di antaranya Baitul Hikmah di Baghdad dan Darul Hikmah di Mesir. Belum termasuk perpustakaan-perpustakaan pribadi dan toko-toko buku yang tersebar luas di kota-kota Islam. Koleksi perpustakaan Baitul Hikmah sendiri diperkirakan mencapai 600.000 jilid buku; observatorium dan rumah sakit. Observatorium sebagai sarana penelitian ilmiah informal dalam astronomi mencapai puncaknya pada abad 13 M dengan didirikannya observatorium Maraghah yang melahirkan para astronom seperti Nashirudin Thusi, Qutb al din Syirazi dan Najm al Din Qazwini. Sementara rumah sakit seperti al Abudi di Baghdad, dan al Nuri di Damaskus telah menjadi sedemikian besar dan maju hingga terdapat ruang-ruang khusus (spesialis) untuk penyakit berbeda termasuk penyakit jiwa; serta juga halaqah-halaqah sebagai pusat pengajaran esoterisme Islam yang berkembang pesat terutama paska invasi Mongol.

Satu catatan penting di sini adalah, banyak di antara pemikir Islam terkemuka saat itu yang justru mendapat pendidikan dari jalur non formal seperti ini. Dalam kasus Ibn Sina misalnya, pihak keluarga mengundang beberapa guru privat yang menjadi inspirasi bagi Ibn Sina untuk belajar lebih lanjut secara autodidak.

C. Beberapa Kritik-Historis Ujian Nasional

Penulis sadar bahwa terdapat perbedaan secara mendasar situasi dan kondisi bangsa Indonesia kontemporer dengan daulah Abbasiah masa klasik. Namun demikian bukan berarti studi komparasi histories seperti ini menjadi mustahil, mengingat salahsatu fungsi utama ilmu sejarah adalah untuk dijadikan pelajaran dalam memandang masa depan. Peranan sejarah yang seperti ini oleh Louis Gootschalk diibaratkan seperti batu permata yang diselimuti oleh lumpur kotor—bukankah batu permata justru menjadi semakin berharga karena adanya lumpur-lumpur kotor tak berharga di tempat kita mengambilnya? Lewat analogi seperti ini kiranya bisa dipahami bahwa sekali pun peradaban modern telah sedemikian majunya dalam berbagai aspek, namun bukan berarti tidak ada pelajaran-pelajaran berharga yang bisa dipetik dari sejarah Islam masa klasik.

Berdasarkan deskripsi histories pada bab dua, penulis mengambil kesimpulan bahwa setidaknya terdapat empat factor yang cukup penting untuk diangkat di sini kaitannya dengan pelaksanaan UN: pertama masalah kreativitas guru; kedua, masalah besarnya peranan lembaga non formal; ketiga, masalah metode ta’liqah dan jadal; dan terakhir, tujuan pendidikan itu sendiri. Sebagaimana telah dijelaskan pada bab pendahuluan bahwa UN, tanpa mengabaikan efek positifnya, telah menimbulkan efek domino negative berupa dipersempitnya ruang gerak guru bersangkutan, semakin menjamurnya lembaga-lembaga non formal yang mendukung persiapan UN dan penekanan pendidikan pada aspek kognitif anak semata.

Standarisasi UN dan meningkatnya nilai minimal kelulusan siswa tidak bisa dipungkiri telah meningkatkan motivasi belajar dan focus para siswa. Namun sayangnya hanya pada mata pelajaran yang diujikan. Hal ini berarti terpinggirkannya mata pelajaran non UN seperti pendidikan akhlaq dan budaya. Begitu pun metode ajar guru terpaku pada kurikulum nasional dengan hanya memberi sedikit ruang gerak bagi kreativitas guru bersangkutan. Fakta ini jelas memprihatinkan mengingat pada masa keemasan islam, kreativitas guru telah menjadi factor yang amat penting.guru bukan sekadar berperan sebagai pengajar di depan kelas, namun terutama sebagai inspirator bagi siswa untuk belajar secara mandiri. Ibn Sina ketika membicarakan masalah pendidikan menitikberatkan pada konsep self-education seperti ini.

UN juga telah menjadikan lembaga non formal menjamur dan semakin diburu para siswa. Namun sayangnya lembaga yang marak tesebut hanya lembaga yang sekadar mengajarkan tips dan trik UN, atau lembaga pendukung lembaga formal. Hal ini menjadikan waktu luang siswa bersangkutan untuk belajar secara mandiri sesuai dengan minat dasarnya menjadi amat terkurangi. Di masa keemasan islam kita melihat bahwa lembaga pendidikan non formal yang berkembang justru tidak memiliki keterikatan dengan kurikulum lembaga pendidikan formal, dan memiliki peran sama pentingnya dengan lembaga pendidikan formal; sementara lembaga formal focus pada ilmu keagamaan, lembaga non formal justru menjadi sarana pendidikan ilmu filosofis dan praktis. UN pada akhirnya juga amat menekankan pada aspek hapalan siswa, sementara kita melihat pada masa keemasan islam metode hapalan tersebut mesti diiringi dengan debat (argumentasi) baik secara tertulis (ta’liqah) maupun lisan (jadal).

Akan halnya tujuan pendidikan pada masa keemasan islam bukanlah untuk sekadar memenuhi standar nilai semata (aspek kognitif), namun terutama dalam pembentukan karakter siswa. Tujuan pendidikan dalam islam secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, tujuan akhir dan antara. Tujuan antara meliputi tujuan individual (kaitan dengan pendidikan pribadi dan karakter siswa), tujuan social (hubungan siswa dengan masyarakat dan lingkungan) dan tujuan professional (kaitan dengan aktivitas dalam masyarakat dan tuntutan profesi). Sementara tujuan akhir nya adalah menciptakan pribadi-pribadi hamba tuhan yang bertaqwa. Sistim pendidikan ala Barat seperti standarisasi UN secara nasional dengan mengabaikan aspirasi dan keunikan budaya local, justru akan menciptakan split personalities dan marginal men yang terasing dan terkucil dari lingkungan dan masyarakat tempatnya bernaung dan mengabdi di kemudian hari.


Referensi:

- Azra, Azyumardi, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1998).
- Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah, (UI-Press: Jakarta, 1986).
- Kartanegara, Mulyadhi, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, (Jakarta: Baitul Ihsan, 2006).
- Stanton, Charles M., Pendidikan Tinggi Dalam Islam, (Jakarta: Logos, 1994)
- Watt, W. Montgomery Kejayaan Islam: Kajian Kritis Dari Tokoh Orientalis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990),
- ST Sularto, “Winarno Surakhmad, Belajar Mendengarkan” dalam harian, Kompas, (selasa, 23 Juni 2009), h. 16.
- http://www.suaramerdeka.com/harian/0511/09/nas21.htm


Oleh: Yasser Muhammad
Sumber: edukasi.kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar