Satu kata yang tepat untuk melukiskan perasaan saya saat membaca berita di Kompas, edisi 4 November 2009. Di saat seluruh penjuru negeri terjebak dalam kegaduhan dan hiruk pikuk KPK Vs Polri, anak-anak SD kita menjadi juara umum pada 3rd Wizards at Mathematics International Competition 2009 di Lucknow, India. Dalam kompetisi yang diikuti oleh 9 negara dengan 34 tim (5 tim di antaranya berasal dari Indonesia), anak-anak kita membawa pulang 10 medali emas, 9 perak dan 5 medali perunggu. Anak-anak kita juga meraih nilai tertinggi untuk kategori individual competition dan juga team competition. Salut...!!!Beberapa kali anak-anak kita menjuarai Olimpiade Matematika dan kejuaraan sejenis. Tapi apakah ini menjadi acuan bahwa pendidikan Matematika kita sudah bisa dikatakan unggul dibandingkan negara-negara lain ?
Berlawanan dengan fakta di atas, Kompas edisi 23 Desember 2004 pernah menulis sebuah laporan dari Trends in International Mathematics and Sciences Study (TIMSS) 2003 yang diselenggarakan oleh International Association for Evaluation of Educational Achievement (IEA). Menurut hasil tes TIMSS 2003 tersebut, kemampuan siswa kelas II SMP di Indonesia masih di bawah rata-rata internasional. Kemampuan rata-rata siswa Indonesia berada pada peringkat ke-34 dari 46 negara untuk matematika dan peringkat ke-36 untuk sains. Sayang, saya belum mendapatkan data terbaru mengenai peringkat indikator Indonesia tersebut.
Membaca dan membandingkan kedua fakta di atas, tampaknya pengajaran matematika belumlah merata di seluruh Indonesia. Ada yang sampai menjadi juara olimpiade internasional, tapi masih banyak juga yang berada di bawah negara-negara lain. Jadi masih banyak pekerjaan rumah yang harus kita kerjakan untuk mengejar ketertinggalan anak-anak kita di bidang matematika dan sains.
Mengaca kepada pengalaman masa kecil saya. Ayah saya adalah seorang guru SD di desa, hasil pendidikan tempo dulu. Kebetulan ayah saya adalah guru SD, dan karena itulah beliau mewajibkan 4 orang anaknya untuk menjadi jagoan matematika, paling tidak di tingkat sekolah. Saya masih ingat bagaimana ayah saya setiap sore mengajari matematika dengan segala tip dan triknya. Ketika saya sudah SMP, adik-adik saya juga mendapatkan bagian yang sama. Saya bersyukur memiliki ayah yang memaksa saya untuk menguasai matematika.
Ada kemajuan yang menggembirakan dalam bidang pengajaran matematika sejak era reformasi bergulir. Saya menyebutnya sebagai Demokratisasi Matematika. Ada kesadaran baru yang muncul bahwa keunggulan di bidang matematika menjadi pintu pembuka untuk unggul di bidang-bidang yang lain. Dalam beberapa kasus (untuk tidak menggeneralisir masalah), anak yang percaya diri biasanya anak yang menguasai atau paling tidak senang dengan pelajaran matematika. Demikian pula sebaliknya, beberapa anak yang tidak atau kurang percaya diri dalam pelajaran yang lain biasanya juga mempunyai masalah untuk tidak menyenangi matematika.
Kenapa matematika? Matematika sangat berkaitan dengan mental logika. Matematika melatih otak dan segala komponennya untuk memiliki mental logika yang akan dipakai untuk semua bidang kehidupan. Mental logika juga sangat erat kaitannya dengan berpikir rasional, satu konsep berpikir yang bersifat terbuka, toleran dan bergerak. Memang, setelah mempelajari matematika dalam pendidikan formal tidak semua dari kita akan menjadi ahli matematika. Walaupun rumus-rumus dan proses perhitungan dalam matematika bisa menguap seiring bertambahnya usia kita, paling tidak yang akan terus kita pakai adalah mental logika dan konsep berpikir rasionalnya.
Beberapa pihak sudah mengenali bahwa paling tidak ada 3 hal yang membuat anak bisa menguasai matematika yaitu lingkungan, pendekatan belajar dan metode pengajaran. Logikanya cukup sederhana. Kalau Anda dilahirkan dalam keluarga yang sehari-harinya menggunakan Bahasa Jawa, pastilah Anda juga akan berbahasa Jawa. Nah, kenapa kita tidak menciptakan kondisi keluarga yang sehari-harinya menggunakan bahasa matematika, sehingga membiasakan anak-anak kita untuk mengenal matematika sejak dini?
Syukurlah demokratisasi matematika juga memunculkan beraneka ragamnya metode dan pendekatan pengajaran matematika. Matematika bukanlah tujuan akhir, dia hanyalah alat untuk mencapai tujuan dan mendapatkan hasil. Dengan logika seperti ini, untuk mendapatkan hasil yang sama tidaklah harus dibatasi dengan 1 cara saja. Banyak cara, metode dan pendekatan matematika yang bisa dilakukan untuk mencapai suatu hasil.
Tidak seperti masa orde baru yang memaksakan 1 metode saja dalam pelajaran matematika, sekarang beragam cara dan metode diperkenalkan dalam pengajaran matematika, di luar metode baku yang diajarkan di sekolah. Ini yang menggembirakan, dan membuat anak-anak lebih asyik lagi belajar matematika.
Dalam Kompas edisi 8 Oktober 2009 diceritakan bagaimana Yohanes Surya memperkenalkan pengajaran matematika dengan metode gasing (gampang, asyik dan menyenangkan) ke beberapa anak kelas 3 SD di pedalaman Papua. Hasilnya, ketika anak-anak pedalaman Papua itu diujikan ujian matematika standar ujian akhir nasional, mereka mendapatkan nilai rata-rata di atas 6.
Kalau dulu saya diajarkan metode penjumlahan dan pengurangan hanya dengan melakukan perhitungan dari angka satuan dulu (dari kiri, nilai angka terkecil), sekarang saya memperkenalkan kepada anak-anak metode lain dimana perhitungan dimulai dari nilai angka terbesar (dari kanan). Mungkin agak berbeda dengan yang diajarkan oleh gurunya di sekolah, tapi saya mengajarkan bahwa pakai dulu cara gurunya kemudian tes kebenarannya dengan cara ayahnya. Nanti suatu waktu seiring dengan perkembangan dirinya, dia akan memilih metode mana yang tercepat untuk mendapatkan hasil yang benar. Hal yang serupa juga saya lakukan saat mengajarkan tentang perkalian.
Semoga kelak anak cucu kita menjadi yang terbaik dalam bidang matematika sehingga mereka bisa mengalahkan anak-anak dari negara lain dan kemudian menguatkan kepercayaan dan harga dirinya.
Oleh: Osa Kurniawan Ilham; Balikpapan, 18 Nov 2009
Sumber: edukasi.kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar