Waktu tahun delapan puluhan ketika kios itu pertama kali dibuka, belum banyak usaha sejenis di dekat kios tersebut. Jadi, kios “Sumber Harapan” itu memang menjadi satu-satunya kios harapan bagi mereka yang membutuhkan jasanya. Lebih-lebih untuk mereka yang berasal dari kalangan Kampus di seberang jalan itu.
Berbagai keperluan barang cetakan untuk segala aktivitas kampus mampu dipenuhi oleh kios “Sumber Harapan.” O ya, ngomong-ngomong siapa sih pemilik kios tersebut. Pemilik artinya yang menyewa lho. Siapa ya penyewanya?
Kalangan Kampus di seberang jalan itu biasa memanggil pemilik atau tepatnya penyewa kios “Sumber Harapan” dengan sebutan, “Bang Djun”. Sampai sekarang sebutan itu masih cukup beken bahkan menjadi ‘trademark’ tersendiri.
Tidak banyak yang tahu siapa Bang Djun itu. Apa nama panjangnya? Barangkali tidak ada yang tahu. Apa Djunaidi? Djuned? Atau pun Djun saja. Atau jangan-jangan Bang Djunnya sendiri tidak tahu nama kepanjangannya. Ah, sudahlah, yang penting orang cukup mudah mengenalnya dengan panggilan itu. Bang Djun.
Belakangan malah para aktivis kampus, tidak hanya kampus di seberang jalan itu, pokoknya hampir sebagian besar aktivis kampus di Ibukota, menamakan kios itu dengan sebutan “Bengkel Bang Djun”. Mungkin ada yang bertanya, “Apa sekarang Bang Djun alih profesi, sampai-sampai buka bengkel segala?” O ternyata Bang Djun tetap dengan bisnis jasanya semula, jasa pengetikan dan pencetakan. Lha, dari mana dan dengan alasan apa para aktivis kampus Ibukota itu menjulukinya “Bengkel”?
***
Siang itu cuaca cukup cerah bahkan suhu udara cenderung panas. Bang Djun dengan dua orang anak buahnya sedang asyik melayani konsumen. Mas Slamet sedang nyablon tanda pengenal. Mas Agus asyik di depan komputer. Dia sedang suntuk mendesain sesuatu. Bang Djun sendiri lagi berkutat di depan komputer yang satunya lagi, sambil ditemani seorang mahasiswa. Kayaknya sih, Bang Djun lagi ngetikin makalah anak mahasiswa itu.
“Gus, tolong kipas angin yang di depan sana dinyalakan. Panas banget nih.!” Bang Djun yang cuma berkaos oblong itu mengangkat bagian bawah kaosnya dan dikipas-kipaskan ke tubuhnya. Perutnya yang buncit, dan bulat jelas tersembul. Untung saja yang di sampingnya mahasiswa. Nah, kalau mahasiswi? Apa nggak runyam tuh.
“Gus, tolongin dong. Panas nih!”
“Sebentar, Bang. Lagi tanggung!” Jawab Agus kalem.
“Met, kipasnya, Met!”
“Oke, Bos!” Mas Slamet yang asal Slawi itu langsung berdiri dan menyalakan kipas angin yang sudah butut.
Lumayanlah, biar butut tapi tarikannya masih yahud. Tak berapa lama kemudian kesejukan menjalar ke seluruh ruangan lima kali lima meter itu. Bau menyengat minyak sablon agak sedikit berkurang. Dan Bang Djun pun terus asyik dengan ketikannya.
“Mas Gito, nggak salah nih judul makalahnya?” Kebiasaan Bang Djun mengomentari order ketikannya muncul lagi.
“Memangnya kenapa, Bang?” Jawab mahasiswa yang dipanggil Gito itu.
“Nggak. Cuma menurut saya kayaknya mirip-mirip judul sebuah buku. Sebentar saya ingat-ingat. O ya itu judul bukunya Ibu Conny Semiawan, yang mantan Rektor IKIP Jakarta. Kalau nggak salah judul bukunya, ‘Perspektif Pendidikan Anak Berbakat’. Trus makalah Mas Gito judulnya, ‘Sekolah dan Anak Berbakat’. Jadi, mirip kan?” Ucapan Bang Djun ini membuat sang mahasiswa terbengong-bengong.
“Lha, Bang Djun kok tahu? Pernah kuliah ya?”
“Ah nggak. Cuma pernah baca aja. Dulu ada anak mahasiswa yang pinjamin Abang. Dan Abang baca sampai ludes itu buku!” Jawab Bang Djun seenaknya. Tangannya masih asyik menari di atas keyboard.
“Tapi, Bang Djun setuju kan?”
“Setuju apaan?”
“Setuju kalau anak berbakat di sekolah harus mendapatkan pelayanan khusus!”
Mendengar ucapan Gito, Bang Djun hanya mengangkat bahu sambil me-nyisihkan lembaran kertas yang sudah selesai diketik. Gito si mahasiswa itu meneruskan ucapannya.
“Sebab kalau tidak, anak yang berbakat itu cenderung cepat bosan lho. Jadi, kalau tidak ada perlakuan dan pelayanan khusus, dia bakal jadi biang keributan di kelas!”
“O ya?” Celetuk Bang Djun.
“Lho kok o ya, Bang?” Mas Gito sedikit gusar. Jelek-jelek dia kan mahasiswa, sedang Bang Djun apalah? Cuma tukang ketik.
“Hah, Mas Gito ini gimana sih? Saya ngomong begitu karena memang saya bertanya balik,” jawab Bang Djun.
“Alaah. Mana ada anak yang tidak berbakat!” Mas Slamet dengan logat Slawinya nyeletuk.
“Nah, itu tuh,” kata Bang Djun.
“Semua anak pasti punya bakat. Bakat apa aja. Ada yang berbakat jadi orang baik. Jadi orang jahat. Ada juga yang berbakat bodoh…,” Mas Slamet nyerocos seenaknya.
“Ngawur kamu, Mas!” kata Mas Gito.
Yang dibilang ngawur cuma cerangas-ceringis. Mas Slamet asyik lagi dengan sablonan kartu pengenalnya.
Sepintas memang ngawur celotehan Mas Slamet. Tapi kalau mau disimak serius, banyak benarnya. Lha, memang semua orang punya bakatnya masing-masing. Maling kalau mau canggih harus belajar. Koruptor kelas teri kalau mau naik pangkat jadi kelas kakap, juga harus magang. Jadi, soal pendidikan memang tidak melulu bicara yang baik-baik. Para etikawan saja yang sibuk mikirin soal pendidikan beretika.
Gilanya lagi, mungkin kita-kita nggak percaya. Ada lho etika antar koruptor. Nah, lho.
Okey. Kita kembali ke soal anak berbakat. Anak berbakat dalam arti khusus. Banyak pakar banting otak mikirin pendidikan untuk mereka. Kelihatannya sih canggih. Tapi nanti dulu, anak berbakat yang dimaksud di sini padahal sederhana. Anak yang memiliki kemampuan lebih di atas rata-rata orang kebanyakan. Paling-paling soal IQ dan EQnya.
“Bang Djun kok sinis begitu sama anak berbakat?” Mas Gito gerah juga dikuliahi si tukang ketik.
“Bukan gitu, Mas. Kelihatannya pakar-pakar kita ngurusin anak sekolah kayak ngurus dunia mode!”
“Maksudnya, Bang?” Mas Gito malah banyak tanya, kayak murid aja.
“Bang, gimana nih benerin foto hasil scan ini?" Tiba-tiba Mas Agus nyeletuk. Biasalah. Ilmunya sudah mentok.
Sambil terus mengetik makalah Mas Gito, mulut Bang Djun nyerocos kasih kursus kilat Photoshop lisan buat Mas Agus. Begitulah proses “pendidikan” yang berlangsung di padepokan “Sumber Harapan.”
“Bang Djun, Abang belum jawab pertanyaan saya!” ujar Mas Gito.
‘Yang mana lagi… O, ya soal ngurus anak sekolah, ya? Sebentar, ketikan ini tinggal 3 halaman lagi,” Bang Djun berkata sambil membenahi naskah asli yang sudah selesai diketik.
Mas Gito menyalakan kreteknya. Yang runyam Mas Slamet. Dia suka uring-uringan bila lihat ada yang merokok. Makruh katanya.
“Dunia mode itu ‘kan bergantung trend,” kata Bang Djun. “Nah, sekolah juga kayak begitu ngurusinnya. Waktu satu dua orang pakar ngebahas anak berbakat. Semua orang latah bicarain anak berbakat. Masak ngurusin anak sekolah caranya trendyan begitu!”
“Lho itu namanya isu-isu pendidikan yang paling gress, Bang!” Mas Gito menjelaskan.
“Nah, benar kan. Mas Gito bilang isu paling gress. Soal penting pendidikan dari dulu juga itu-itu aja. Nggak ada trendy-trendyan, nggak ada gress-gressan,” ujar Bang Djun.
“Habis gimana ya, kalau nggak ikut trend nanti nggak masuk koran. Payah deh!”
Mas Gito terus memperhatikan ketikannya Bang Djun. Sesekali ia mengingatkan beberapa huruf yang salah ketik. Bang Djun terus membetulkannya.
“Buat saya,” kata Bang Djun, “…mikirin pendidikan buat anak rata-rata atau di bawah rata-rata justru jauh lebih penting!”
Benar juga sih, pikir Mas Gito diam-diam. Bukankah anak yang berkemampuan rata-rata bahkan di bawah rata adalah mayoritas dan begitu dominan. Justru kepada merekalah para pakar, atau yang mengaku pakar harus mencurahkan kepintarannya. Istilahnya supaya sekolah jangan jadi elitis.
Sekarang ini kayaknya semua serba terbalik. Contohnya: anak dimasukkan ke sekolah supaya pintar dan kreatif. Justu hasilnya sekolah juga yang justru menumpulkan kreatifitas anak. Kalau pun ada hasilnya paling-paling cuma side-effect-nya. Misalnya, kreatif nyontek, pintar berbohong dan seterusnya.“Bang Djun jangan kasuistis dong dalam memberikan contoh,” Mas Gito keberatan.
Bang Djun hanya tersenyum. Jari-jarinya begitu lincah menari di atas tuts-tuts keyboard. Justru senyum itulah yang membuat Mas Gito merasa dilecehkan.
“Bang Djun kok diam saja. Tersenyum malah,” ujar Mas Gito.
“Saya sebenarnya prihatin, Mas Gito. Masak fenomena penyakit nyontek dianggap kasuistis. Bagaimana pun menyontek itu sudah menjadi gejala umum,” kata Bang Djun. “Lha makalah kamu ini aja guntingan dari fotokopian makalah orang. Bahkan bulat-bulat diambil dari buku. Gunting sana, gunting sini. Ambil lem, lalu tempel. Terus diketik ulang. Jadi makalah tambal sulam,” imbuh Bang Djun dalam hati.
Bang Djun memperhatikan dengan sudut matanya. Mas Gito sedikit tersinggung. Habis mau bilang apa? Memang kenyataannya demikian.
“Nyontek itu haramlah,” demikian Mas Slawi kita angkat bicara. Yang lain hanya senyum dikulum. “Lha, sampeyan tidak percaya?”
Oleh: Emhade Margani
Sumber: edukasi.kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar