Kamis, 12 November 2009

Rumah, Bukan Sekedar Tempat Bernaung!


Bukan perkara mudah membentengi anak dari berbagai perilaku buruk dan negative yang ia peroleh dari kawan-kawan pergaulannya. Dalam bergaul dan bersosialisasi tidak bisa dihindari adanya hukum mewarnai atau diwarnai. Realitas tersebut tentu masih lebih baik daripada membiarkan anak kita berdiam diri di dalam rumah, bermain dan berekspesi sendiri karena khawatir perilakunya terwarnai oleh kawan-kawannya di luar rumah. Saya menganggap bahwa semua itu adalah konsekwensi yang harus kita hadapi apalagi bila menetap di tengah masyarakat padat dan heterogen dengan latar pendidikan dan profesi yang beragam.
Terkadang ada saja hal ‘aneh’ pada diri anak kita yang ia dapatkan seusai bermain dengan kawan-kawannya di luar rumah. Apakah itu dalam bentuk perilaku atau kata-kata tidak sopan yang mangandung ‘kebun binatang’, dan sebagainya. Tugas kita selanjutnya adalah menetralisir perilaku buruk tersebut agar tidak menulari adiknya yang mungkin sedang dalam proses belajar meniru dan mencontoh setiap kata dan perilaku yang ia dengar dan saksikan.

Lingkungan sebagai ruang sosialisasi dan interaksi masyarakat adalah tempat ideal menanamkan nilai-nilai kebaikan sekaligus keburukan pada setiap individu yang hidup di dalamnya. Tergantung nilai apa yang dimiliki dan dibawa oleh individu tersebut. Pada lingkungan dimana rumah warga yang satu dengan lainnya terkadang hanya dipisahkan tembok pembatas atau halaman, kita bisa menemukan jalinan keakraban, bantu membantu, gotong royong dan kebersamaan itu tumbuh dengan baik. Kita masih dapat menyaksikan seorang tetangga mengirim makanan ke tetangga sebelah rumahnya, berombongan menjenguk tetangga yang sakit dan kebikan lain yang dilakukan secara bersama-saman. Nilai kebersamaan seperti ini terkadang hanya kita temukan di desa atau kampung yang jauh dari kota dan belum terkontaminasi budaya individualistik atau nafsi-nafsi.

Walau pada saat yang sama kehidupan masyarakat padat dan heterogen seperti itu juga rentan bermasalah dan berbenturan hanya karena masalah sepele; anak-anak berkelahi, suara radio atau televisi tetangga masuk ke dalam rumah, gosip dan sebagainya. Tapi bila kerukunan hidup lebih dikedepankan, ada tokoh penengah, rasionalitas melampaui egoisme, maka benturan-benturan tersebut bisa dihindari.

Demikian pula dengan perilaku buruk hingga kriminalitas dapat menyebar secara cepat bagai virus. Mungkin pada awalnya hanya menghinggapi satu rumah, namun dalam waktu singkat segera menjangkiti rumah dan keluarga yang ada di sekitarnya. Sama seperti peredaran narkoba dari satu keluarga kepada keluarga lain; sangat tersembunyi, suara nyaris tak terdengar sebagaimana jejaknya yang kadang tak nampak. Kedua orang tua baru tersadar ketika sang anak kecanduan, sakit parah atau meregang nyawa. Ini pernah terjadi dan menimpa sejumlah keluarga di lingkungan mana saya berada. Karena itu patut disyukuri adanya program “Kampung Bebas Narkoba” yang mulai digalakkan oleh Pemda setempat. Termasuk Wilayah Jakarta Timur yang dapat dibaca disini.

Karena itulah, hidup di tengah masyarakat padat dan majemuk dengan berbagai persoalan, budaya dan nilai-nilai yang tumbuh didalamnya dibutuhkan tameng yang kuat bagi setiap individu, dan tameng itu adalah rumah. Rumah tempat setiap anggota keluarga berkumpul, berkomunikasi secara terbuka, curhat, berbagi dan saling bertukar pikiran. Disinilah ayah dan ibu berperan sebagai orang tua yang baik, menciptakan ruang dan suasana yang nyaman bagi anak-anak mereka, sehingga setiap anggota keluarga yang ada di dalamnya dapat merasakan dan menikmati rumahnya sebagai syurga dunianya. “Baitii jannatii”, rumahku syurgaku. Kata Rasulullah saw.

Anak-anak yang lahir dan tumbuh berkembang di tengah rumah yang bak syurga, mendapatkan pendidikan agama yang baik dari ke dua orang tuanya, secara umum memiliki filter yang baik pula saat berhadapan dengan pengaruh-pengaruh buruk yang mengitarinya dimana pun ia berada. Dengan demikian, fungsi rumah pada intinya bukan sekedar tempat bernaung. Tapi jauh lebih dari itu; tempat membina generasi baru, melahirkan anak-anak sholeh yang tidak hanya cerdas secara intelektual tapi juga kuat mental dan spiritual. Itulah generasi baru yang kita idam-idamkan.

Utan Kayu, 12.11.2009


Oleh: Syarif Ridwan
Sumber: edukasi.kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar