Minggu, 29 November 2009

Cita-cita Besar di Jembatan Ujian Nasional

Mari perbaiki format yang ada ini, dengan tetap fokus terhadap siapa yang hendak kita saring dalam ujian. Dan bukan dalam format sekedar memenuhi unsur kenaikan statistik saja


“Doakan saya ya Bu.” Ucap Dania, seorang siswi pada Ibu Yeni guru bimbingan konseling. Setelah minta doa, sang siswi bersama teman-temannya yang sempat ‘salim’ bergegas ke ruang kelas. Hari ini hari kedua Ujian Nasional (UN) di SMU 20, di beberapa sudut ruang sekolah sebelum bel ujian dilaksanakan, tampak anak-anak sibuk membaca kembali buku paket soal-soal ujian, sementara kebanyakan di antara mereka lebih senang, mengobrol, melepas canda, seolah-olah tak ada yang penting pada beberapa menit kemudian. “Aku ingin jadi dokter di Unpad,” ungkap Vira Pertiwi, yakin. “Ngga, malah kelihatan kayak pasiennya” ucap Feby teman belajarnya, dengan canda. Semuanya tertawa.

Feby, Vira, kemudian Eri, pada beberapa bulan ini begitu serius mempersiapkan diri menghadapi ujian nasional. Entah melalui les di rumah kos Eri, di rumah Vira. Yang jelas bagi mereka ada cita-cita yang tak boleh kandas hanya karena UN. Cita-cita macam apa, ya tentu saja ke perguruan tinggi. “Karena sejatinya, SMU dipersiapkan untuk meneruskan ke perguruan tinggi.” Ungkap Tony Sutisna kepala sekolah SMU 20. Namun sementara ini jauh panggang dari api. “Kenyataannya di lapangan tidak seperti itu, ada faktor intelektualitas, ekonomi yang harus dihadapi para lulusan yang ingin melanjutkan.” Dengan demikian esensi UN kembali mendapat ujian.

Setiap tahunnya selalu hampir seperti ini UN diperlakukan. Oleh media massa, oleh masyarakat, oleh para LSM, bahkan oleh para pelaku yang terkait, dari guru, siswa, orang tua murid, sampai Menteri. UN nasional selalu dicekal oleh sebagian pihak, dan didukung oleh pihak yang lain, hanya demi menegaskan integritas mereka. Ini memang suatu dinamika dalam perkembangan pendidikan Indonesia.

Seperti yang telah dijelaskan dalam PP no 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, semuanya berkendala pada saling singgung antara pasal-perpasal, misalkan pasal 1 ayat 4 yang berbunyi “Standar kompetensi lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan” Dan pada pasal 6 ayat 5 disebutkan. “Semua kelompok mata pelajaran sama pentingnya dalam menentukan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah.” Sebagaimana dikuatkan pula pada pasal 25 dan 26 dengan tambahan pada pasal 26 ditekankan lebih kepada ‘ahlak mulia’.

Namun hal-hal yang menentukan wilayah kelulusan –semuanya dikembalikan kepada Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP) sebagaimana yang tertulis pada pasal 27. Yang artinya, BNSP tentu mengetahui cara yang pasti dan tepat, untuk mengukur kemampuan siswa, dari tingkatan pengetahuan umum, praktis bahkan sampai kepada tingkatan ahlak mulia.

Apakah benar BNSP mampu melakukannya? Kembali kepada persoalan siapa yang hendak di saring. Tony mengibaratkan, anak-anak bersekolah pun tidak semata mengejar prestasi akademik. Pendidikan itu memberikan landasan berpolah tingkah, dan spiritual sang anak. Sehingga “Amat disayangkan, ketika anak sudah tidak lulus menurut standar ujian nasional. Tidak lulus. Walau keseharian anak itu bagus (ahlaknya).” Ucap Tony. “Padahal hanya satu mata ujian, matematik, kan tidak lulus.” Tambahnya.

Setiap anak diberikan bakat berbeda. Lebih prinsip lagi, yang mengetahui perkembangan si anak adalah sekolah. Sehingga sekolah pun merasa terpukul menghadapi kenyataan yang demikian. Namun standar kelulusan sudah baku (Baca dibakukan BNSP). Proyek UN ini memang jauh dari sempurna. Di media massa, yang sering mencuat adalah jumlah pelanggaran, dalam pelbagai jenisnya. Pelanggaran adalah sesuatu yang mencederai maksud ujian. Lebih-lebih bila diparipurnakan dengan kata ‘ahlak mulia’. Ini merupakan alarm, bagi dunia pendidikan yang sedang menanjak pamornya.

Adapun di tempat ini hanya satu alarm yang berbunyi. Menandakan waktu bagi anak-anak untuk kembali ke ruang kelas, dan mengerjakan soal-soal UN tahun 2009 ini. Bunyinya seperti bel sekolah biasa. Tapi bagi mereka yang memahaminya. Bunyi bel itu berisi rasa sakit, bingung, senang, bahagia, euforia, kesedihan, kegembiraan, dari anak-anak kita, yang diwajibkan ke sekolah.***


Oleh: Ferren Bianca
Sumber: edukasi.kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar