Jumat, 13 November 2009

Sertifikasi Guru Tidak Tepat Sasaran, Benarkah?


Membaca Kompak Cetak pagi ini, Jum’at 12 Nomber 2009 membuat saya harus jujur berkata bahwa sertifikasi guru belum tepat sasaran. Sebab, adanya sertifikasi guru bukan dijadikan sarana untuk benar-benar menjadi guru profesional dan bermartabat, tetapi sertifikasi guru hanya dijadikan ajang mencari tambahan penghasilan semata.
Saya baca pelan-pelan kompas cetak yang ada dihadapan saya,

Sertifikasi guru yang bertujuan meningkatkan kompetensi sekaligus kesejahteraan guru ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan. Guru yang telah lolos sertifikasi ternyata tidak menunjukkan peningkatan kompetensi yang signifikan.

”Dari kajian yang dilakukan, ternyata motivasi para guru mengikuti sertifikasi umumnya terkait aspek finansial, yaitu segera mendapat tunjangan profesi,” kata Prof Dr Baedhowi, MSi dalam pidato pengukuhan guru besar Manajemen Sumber Daya Manusia pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Jawa Tengah, Kamis (12/11).

Buat saya, apa yang disampaikan oleh pak Baedhowi ada benarnya, dan juga ada salahnya. Ada benarnya adalah kenyataan di lapangan guru yang mengikuti sertifikasi guru memang berharap banyak untuk lulus dan mendapatkan tunjangan sertifikasi yang besarnya satu bulan gaji. Hal ini jelas sangat menggiurkan. Bukan hanya profesi guru, Profesi apapun pasti akan berusaha untuk lulus karena iming-iming tambahan penghasilan satu bulan gaji.

Kalau tadi kita bicara benarnya, kini kita bicara salahnya.

Kesalahan utama dari pemerintah, dalam hal ini pejabat depdiknas adalah setelah sertifikasi guru, seharusnya para guru yang lulus dirangkul kembali dan diberikan pembekalan, sehingga ketika mereka menerima tunjangan ada beban moral yang harus dipikul bahwa mereka mendapatkan tunjangan dari uang rakyat. Pembekalan itu sendiri diberikan pada saat pengucuran dana sertifikasi guru dan disaksikan oleh para pejabat setempat. Bukan hanya sekedar transfer rekening.

Mohon Maaf bila ada yang tersinggung. Pengucuran dana sertifikasi guru inipun menimbulkan kecurigaan karena lama sekali prosesnya, sehingga banyak orang yang berprasangka buruk, bahwa uangnya diendapkan di bank dan mendapatkan bunga, yang katanya, Ssst… bunga itu untuk membiayai operasional para pejabat dan petugas sertifikasi guru di daerah. (jangan bilang-bilang ya!)

Untunglah dirjen PMPTK bekerja cepat, mengantisipasi permasalahan sertifikasi guru. Namun, kerja cepat itu masih terasa hanya di kota besar, dan belum menyentuh sampai ke kota-kota kecil. Apalagi bila berkas portofolio sampai hilang atau tercecer, maka guru dari daerah akan sangat sulit melacaknya. Jangankan guru dari daerah, guru dari Jakarta saja, masih banyak berkasnya tercecer atau hilang sehingga perlu mencari ke sana kemari mencari tahu. Termasuk saya sendiri yang pernah mengalaminya dan terpaksa ikut PLPG di Fakultas Teknik UNJ.

Kemampuan petugas yang menangani sertikasi guru masih lemah dan terlihat belum profesional dalam menangani data sertifikasi guru sehingga banyak data yang diinput lambat. Seharusnya bila data itu sudah ada di depan mata, maka proses penginputannya cepat. Tetapi kenapa lambat ya?

Suatu ketika saya pergi ke PMPTK Senayan dan Pemda JakTim, Saya pernah bertanya kepada petugas yang menangani ini, dan nampaknya meraka saling tuding. Petugas di pusat menyalahkan daerah, dan petugas daerah menyalahkan petugas pusat. Tidak jelas sistem kerjanya sehingga kami para guru merasa menjadi korban dari ketidakprofesionalan para petugas itu. (Ini kritik mohon dicatat!)

Adanya pengumpulan berkas potofolio yang jutaan jumlahnya tentu harus dikelola secara baik, sehingga tidak ada data yang tercecer atau hilang. Perlu pula dibuat tanda terima berkas sehingga dapat dilacak bila data itu hilang. Apakah hilangnya di daerah ataukah di pusat?. Semua berkas bisa terlacak dengan baik.

Nampaknya sistem portofolio kurang pas dengan kondisi guru di Indonesia. Banyak guru yang akhirnya menjadi pendusta. Banyak guru yang berubah menjadi pemburu. Pemburu sertifikat seminar dan workshop dengan harapan bisa lulus sertifikasi guru. Mereka mengejar target agar bisa mencapai angka 85o point. Inilah kesalahan dari pemerintah yang hanya menilai kinerja guru dari sistem portofolio. Padahal ada cara lain yang bisa dinilai selain sistem portofolio untuk menilai kinerja guru. Silahkan bapak-ibu pejabat memikirkannya!. Saya bagian yang mengkritisinya saja, hehehehehe. (la iya la, kan para pejabat itu sudah digaji untuk mikir, hehehehehhe)

Saya Baca kembali koran kompas cetak hari ini,

Sertifikasi guru yang merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu sekaligus kesejahteraan guru sasarannya bisa menjangkau 2,7 juta guru. Namun, hingga saat ini baru sekitar 500.000 guru yang lolos sertifikasi dan mendapat tunjangan profesi sebesar satu kali gaji.

Sebuah kajian untuk mengetahui kompetensi guru pascasertifikasi, yang dilakukan Baedhowi dan Hartoyo (tahun 2009), menunjukkan motivasi guru untuk segera ikut kompetensi bukanlah semata-mata untuk mengetahui tingkat kompetensi mereka, tetapi yang lebih menonjol adalah motivasi finansial.

Alasan para guru mengikuti sertifikasi, antara lain, agar mendapat tunjangan profesi, segera mendapat uang untuk memenuhi kebutuhan hidup, tunjangan untuk biaya kuliah, biaya pendidikan anak, merenovasi rumah, dan membayar utang.

Kenyataan menunjukkan bahwa sertifikasi saja tidaklah cukup sebagai upaya mewujudkan dan meningkatkan kompetensi guru. Meski telah dinyatakan lulus sertifikasi dan telah menerima tunjangan profesi, bukan berarti guru telah memiliki kompetensi yang dipersyaratkan undang-undang.

Untuk mewujudkan guru yang benar-benar profesional, pascasertifikasi perlu ada upaya sistematis, sinergis, dan berkesinambungan yang menjamin guru tetap profesional.

Memang harus diakui alasan finansial lebih dominan daripada mewujudkan kompetensi guru dan menjadi guru profesional. Di sinilah peran pemerintah untuk membimbing para guru agar mampu menjadi guru yang sesuai dengan harapan undang-undang. Ini merupakan tantangan bagi para pejabat yang berkepentingan dengan sertifikasi guru agar mengevaluasi secara seksama apa yang telah dilakukan. Sertifikasi jelas belum memenuhi sasaran yang diharapkan. Sertifikasi baru memperbaiki kondisi finasial para guru dan belum mewujudkan kompetensi yang diharapkan.

Semoga saja, ditemukan formula baru dalam sertifikasi guru sehingga semua guru merasa terpuaskan dan terlayani dengan baik. sebab banyak guru yang tidak sabar dan geram melihat mereka yang lulus tidak lebih baik dari dirinya, dan yang lebih parah lagi ada yang lulus sertifikasi guru sementara jam mengajarnya hanya sedikit. Di sinilah terlihat bahwa sistem dengan portofolio belum melihat wajah asli dari kinerja guru.

Saya siap berdiskusi dengan para pejabat PMPTK (Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan) mengenai sertifikasi guru, dan saya harapkan ada masukan dari teman-teman kompasiana yang baik hatinya dari tulisan saya ini.

Maju terus guru Indonesia, dan jadikan dirimu sebagai guru profesional dan bermartabat. Jangan lupa, sebentar lagi kita akan merayakan hari guru, 25 November 2009.

Salam blogger persahabatan


Oleh: Omjay; email: http://mail.wijayalabs.com
Sumber: edukasi.kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar