Minggu, 29 November 2009

Sekolah Gratis vs Pendidikan Mutu

“Selawe kok njaluk slamet – 25 kok minta murah.”

Itu kira-kira yang dikatakan tukang becak, dalam humor orang Madura. Intinya, masih pula Anda meminta yang macam-macam –bahkan yang mendasar sekalipun- ketika kontribusi Anda sangatlah kurang. Namun justru logika inilah yang dikejar ramai-ramai oleh pihak elit politik di Indonesia. Di mulai dari presiden SBY sebagaimana yang dikutip dalam Tempointeractive (12/5/07).


“Pemerintah dalam hal ini Depdiknas telah menetapkan kebijakan pendidikan dasar 9 tahun bisa meningkat mutunya, akuntabel dan lebih merata dengan biaya yang tidak mahal dan terjangkau,” Ungkapnya. Dan tentu saja. Pendidikan murah harus (dipaksakan) dipadankan dengan ciri-ciri meningkat mutu, akuntabel, merata, tapi murah. Tentunya ada sesuatu yang hendak dibicarakan oleh para elit dengan mengucapkan semurah apa, jika sampai tidak mengorbankan apa-apa? Kenyataannya, bagi para elit pendidikan murah telah menjadi senjata paling ampuh dalam kampanye mereka.
Pendidikan murah, seperti halnya kesehatan murah adalah hal yang paling di cari di negeri ini. Seharusnya pemerintah telah mencanangkannya semenjak dahulu. Seperti ungkapan Lidya (22), mahasiswi Perguruan Tinggi Kependidikan yang tengah magang di salah satu sekolah Negeri, “Sekolah harus gratis. Dengan begitu, setiap keluarga di Indonesia mampu meningkatkan tingkat keterdidikannya.” Namun tentu saja tidak semudah itu. Sekolah gratis dalam pelaksanaannya seolah ‘merusak’ sebentuk kemapanan.

Seperti diungkapan H (seorang guru yang tidak mau disebutkan namanya), hal yang paling mudah terlihat adalah kedisiplinan. “Jika dahulu sewaktu pendidikan masih berbayar, orang tua sering mendisplinkan anaknya dengan, mengatakan bahwa sekolah tuh mahal, jadi belajar harus yang bener.” Lantas ketika di tanyakan kepada H, apakah tenaga pendidik juga tutut ‘rusak’ kemapanannya. H menjawab. “Terang saja. Karena guru butuh ongkos jalan. Ada yang rumahnya jauh. Jadi ini sangat berpengaruh.”

Pendapat itu sebenarnya ‘diluruskan’ oleh Wahyudin, Kadisdik Jabar. Hal-hal yang serba kurang uang setelah sekolah digratiskan adalah penyakitnya orang kota, beda sekali dengan yang di daerah. “80% di daerah-daerah dengan adanya BOS kualitasnya meningkat. Jarang sekali mereka mendapat bantuan puluhan juta. Orang sekolahnya mau pada roboh.” Ungkapnya. Mengenai di kota. “Memang di kota biasa kan bayarannya tinggi. Itu menurunkan… karena buat tunjangan guru dan segala macem. Tapi itu akan berakhir lah kalau nanti disertifikasi.” Hanya saja, beliau menjelaskan bahwa baru 10 persen saja yang disertifikasi.

Bagi Nurzaman dari Direktorat Profesi Pendidik PMPTK tak jauh berbeda. Masalah insentif guru layaknya selesai, bila semua mendapatkan sertifikat. “Ya kan bertahap sesuai dengan kemampuan pemerintah. Suatu saat semuanya guru disertifikasi.” Ungkap Nurzaman. Dan baginya. “Itu jauh lebih besar dari insentif-insentif di sekolah setiap bulan.” Lagipula sepanjang, guru belum mendapatkan hak sertifikasi itu, guru pun dibebaskan untuk mencari penghasilan tambahan.

“Pemerintah tidak mengatakan ada kelonggaran untuk mencari objek. Sepanjang tugas utama diselesaikan silahkan itu haknya guru.” Sehingga istilah ongkos jalan yang dimaksud guru H bisa tertangani. Namun tentu saja, rumit membayangkan professionalitas guru yang belum disertifikasi pada saat sekolah digratiskan akan terbagi dengan ‘obyekan’ lainnya hanya semata agar asap dapur bisa mengepul.

Namun bagi Ohin Kepala Sekolah SMPN 40, salah satu sekolah yang telah digratiskan. Keluhan dan tantangan yang terjadi pada saat sekolah digratiskan belumlah signifikan. Masalah honorarium guru misalnya, “Jumlah yang dahulu dikeluarkan sewaktu masih menarik sumbangan pendidikan, dengan yang gratis disesuaikan agar sama.” Dalam pengertian yang lebih halus, “Kami harus berhemat, sampai dana dari dinas turun.” Tambahnya. Namun bukan berarti sekolah gratis pun lepas dari kritikan Ohin yang pensiun kira-kira lima tahun lagi. “Seharusnya, sekolah gratis ditujukan untuk yang tidak mampu. Bagi anak walikota, anak kepala dinas, seharusnya membayar saja, karena mereka termasuk orang yang mampu. Putera saya sendiri, saya bayarkan sekolahnya karena saya masih mampu.”

Lantas jika dengan pola yang berkendala demikian bisakah Indeks Pembangunan manusia Indonesia utamanya yang di Jawa Barat beranjak? Indeks pendidikan 80,61% di tahun 2006 saja, dengan dua indikator angka melek huruf (AMH) 95,12% per tahun dan angka rata-rata lama sekolah (RLS) 7,74% per tahun. Pun penduduk Jawa Barat yang melek huruf sebesar 95,12% dengan rata-rata mengambil jenjang sekolah mencapai 7,74% per tahun. Ini bisa dibilang baik. Namun pendidikan tentunya milik generasi mendatang. Bilakah angka-angka tersebut mengalami peningkatan setelah sekolah digratiskan. Yang pesimis akan mengungkapkan, tidak turun pun sudah untung. Indikatornya adalah kinerja di dalam KBM sendiri.


Oleh: Ferren Bianca
Sumber: edukasi.kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar