Selasa, 03 November 2009

Mengapa Pendidikan Kita Tak Maju–maju?


Soal – soal pilihan ganda yang seringkali kita gunakan untuk mengevaluasi belajar siswa serta untuk Ujian Nasional dikritisi. Soal – soal berupa pilihan ganda dikatakan hanya akan membuat pelajar menjadi penghafal dan bukan orang yang menalar ilmu pengetahuan. Karena itulah pelajar kita hanya memiliki ilmu pengetahuan tanpa tahu bagaimana untuk menerapkannya.
Jika memang seperti itu keadaannya, mengapa hal ini dibiarkan terus berlarut? Mengapa dari tahun ke tahun soal pilihan ganda saja yang dipakai? Bukankah Indonesia memiliki banyak pakar pendidikan yang sudah pasti tahu bahwa ada yang salah dengan memakai soal model pilihan ganda ini?.

Meskipun dikatakan tidak baik, soal pilihan ganda memiliki beberapa keuntungan. Pertama, bagi beberapa siswa, soal semacam ini memungkinkan bagi mereka untuk “berjudi” jika mereka tidak tahu jawaban yang pasti dari soal mereka hadapi. Sudah banyak diketahui di kalangan siswa kebiasaan untuk menghitung kancing baju jika mendapati soal yang sulit. Penghitungan kancing baju ini serupa menghitung suara tokek. Jika tokek berbunyi sekali itu wakil dari jawaban “A”. Tokek berbunyi dua kali, itu Jawaban “B” begitu seterusnya hingga bunyi tokek yang terakhir itulah jawabannya.

Kedua, bagi korektor lembar jawaban, mereka tentu akan lebih mudah dan cepat dalam mengoreksi lembar jawaban itu. Tidak perlu membaca tulisan atau jawaban siswa yang bisa jadi ditulis dengan tulisan cakar ayam.

Namun, dua keuntungan itu tentu sangat tidak sebanding dengan akibat yang ditimbulkannya. Dampak yang akan mempengaruhi hasil akhir dari proses pendidikan kita.

Jika anda pernah membaca buku ‘OUTLIERS’ karangan Malcolm Gladwell, anda akan menemukan sebuah bab yang berbunyi: “BERTANI PADI DAN UJIAN MATEMATIKA”. Di lembar – lembar dari bab itu, Gladwell menulis bahwa Singapura, Korea Selatan, China (Taiwan), Hongkong dan Jepang bisa unggul di matematika karena budaya bangsa – bangsa itu dibentuk dari tradisi pertanian yang memungkinkan mereka untuk bekerja keras siang dan malam. Kerja keras dan ketekunan, menurut Gladwell, adalah kunci untuk dapat menguasai matematika.

Di KOMPAS minggu kemarin saya membaca perkataan Liem Swie King tentang perbedaan antara kondisi dulu dan sekarang. King berkata: Dulu atlet tinggal di pelatnas yang tak memiliki pendingin ruangan. Pergi kemanapun, seorang atlit nasional hanya memakai motor. Tapi dengan kondisi yang seperti itu, motivasi atlit malah menjadi tinggi. Atlet kita jaman dulu banyak yang menorehkan prestasi emas yang mengharumkan nama bangsa di kancah internasional. Kini, ketika semua fasilitas sudah sangat baik, mengapa olahraga kita, menurut saya, tidak sebaik dahulu? Apakah fasilitas malah memanjakan dan menghilangkan motivasi atlet – atlet kita? Bisa jadi.

Kembali ke pendidikan kita, Soal pilihan ganda memang ‘memudahkan’. Tapi ia memiliki andil dalam menghambat kemajuan pendidikan kita. Kita menjadi lebih malas berpikir dan berusaha. Motivasi kita melemah dan kerja keras kita menghilang. Dulu, kakek nenek kita bersekolah dengan menggunakan sabak karena kertas masih sedemikian langka. Tapi mengapa banyak dari mereka yang malah menguasai berbagai bahasa? Sedang kita kini terus menerus sibuk memikirkan nilai Ujian bahasa Inggris siswa yang sedemikian buruk?

Kesimpulan saya: Keterbatasan akan melahirkan motivasi. Dan motivasi akan melahirkan kerja keras untuk mencapai keberhasilan.

Jika ini benar, nampaknya soal pilihan ganda benar – benar perlu ditinjau ulang.


Oleh: Eko Wuri
Sumber: edukasi.kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar