Ujian Nasional atau disingkat UN diadakan dengan tujuan sebagai alat tolok ukur standar pendidikan di Indonesia. Namun, kehadiran alat tersebut justru menjadikan beban tersendiri bagi siswa, pendidik, dan orang tua siswa. Mengapa beban? Hal ini karena hasil UN digunakan sebagai penentu kelulusan siswa. Alhasil yang memperoleh nilai kurang, tidak lulus. Seharusnya tidak demikian, hasil UN sebaiknya dijadikan sebagai landasan sebuah lembaga pendidikan agar mereview kembali proses kegiatan pendidikan dan pengajaran di sekolah masing-masing. Jika hasil siswa mereka rendah, artinya ada sesuatu yang harus diperbaiki. Nilai UNSD/UNSMP sebelumnya bisa dijadikan pedoman awal. Jika, UN ditingkat selanjutnya rendah, artinya proses pembelajaran di sekolah tersebut ada masalah.
Dijadikannya UN sebagai penentu kelulusan menjadikan oknum siswa dan oknum pendidik mencari jalan pintas. Kekhawatiran ‘tidak lulus’ dalam UN menjadikan mereka berbuat tidak terpuji. Ada oknum yang berusaha membocorkan soal dan menyebarkan kunci jawaban ke siswa-siswa yang mau bayar mahal. Ada juga oknum yang membuat kunci ‘bodong’ alias kunci palsu untuk mendapatkan uang dengan memanfaatkan momen-momen seperti ini. Siswa yang kurang PD atau mungkin lemah dalam hal akademis pun rela membeli kunci yang diedarkan, entah tahu kunci itu palsu atau benar.
Di dalam ruang ujian pun, ada oknum siswa yang membawa HP untuk membantu mereka dalam mengerjakan UN. Padahal aturan UN sudah jelas tidak boleh membawa HP. Dan yang sangat disayangkan, pengawas UN di tempat tersebut hanya mendiamkan hal tidak terpuji ini berlangsung. Tidak hanya membawa HP, ada juga oknum siswa yang berdiskusi bahkan mencontek pekerjaan teman mereka. Kegiatan negatif ini mereka anggap wajar demi sebuah kata ‘LULUS’ tanpa memperhatikan keberkahan yang menyertai.
Apa fungsi pengawas UN? Pengawas UN yang dipasang untuk melayani dan mengawasi jalannya UN pun menjadi tidak berfungsi. Pengawas UN selain melayani peserta dalam hal pembagian LJUN, soal UN, dan presensi peserta UN, juga bertanggung jawab terhadap kedisiplinan dan kejujuran peserta UN. Jika melihat di media elektronik maupun media cetak banyak lembaga pendidikan yang melakukan kecurangan artinya pengawas UN tidak melaksanakan tugas secara baik. Padahal pengawas UN telah menandatangi sumpah sebelumnya, di mana mereka harus siap menjaga kedisiplinan dan kejujuran selama UN berlangsung. Jika mereka tidak amanah, maka hukum negara akan menindak mereka. Dan pasti, hukum akhirat pun akan menyertai.
Lembaga pendidikan adalah lembaga yang turut andil dalam pembentukan karakter anak. Jika dalam lembaga pendidikan anak diajari untuk berbuat tidak terpuji, maka karakter yang munculpun tidak terpuji. Ke depan anak yang mendapatkan contoh tidak terpuji seperti ini akan menjadi manusia-manusia atau pemimpin-pemimpin yang tidak terpuji. Sangat disayangkan, kesempatan membentuk karakter positif anak bangsa disalahgunakan hanya untuk sesuatu yang sifatnya sesaat-UN.
Melihat hal-hal di atas, sebagai orang tua, kita harus pandai-pandai memilih sekolah untuk anak-anak kita. Semua orang tua tentu menginginkan anak mereka selamat dunia dan akhirat, kecuali oknum orang tua yang tidak ‘dong’. Untuk itu, pilihlah sekolah yang benar-benar memperhatikan pendidikan akhlak anak didiknya. Bukan hanya melihat sebuah sekolah dari nama ‘favorit’ yang jika masuk sekolah tersebut akan tampak lebih bergengsi di mata masyarakat. Namun, tidak ada unsur pendidikan moral yang mendalam di sekolah tersebut.
**********************
Salam …
Oleh: Mia Saputra, S.Pd., Pendidik sebuah sekolah swasta di Jogjakarta
Sumber: Kompasiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar