Rabu, 27 April 2011

Siapa Mengawasi Pengawas UN?

Tulisan ini bukanlah pembelaan bagi guru yang melakukan “pekerjaan sambilan” saat mengawasi ujian nasional (UN). Melainkan lebih kepada refleksi secara keseluruhan bahwa keberhasilan UN tidak semata-mata diukur dari banyaknya contekan ataupun lengahnya pengawasan. Keberhasilan UN lebih ditekankan kepada kerja sama seluruh kalangan pendidikan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.

Sesungguhnya sejauh manakah kewenangan pengawas UN? Hal ini mengingat begitu bernafsunya para pejabat publik melakukan peninjauan berkaitan pelaksanaan UN setiap tahun. Peninjauan UN ini dilaksanakan secara sporadis baik pejabat pusat sampai pejabat daerah. Temuan-temuan mencengangkan pun muncul seiring sidak tahunan pelaksanaan UN dilakukan.

Fakta adanya pengawas UN yang justru membaca koran saat pengawasan UN hari pertama di SMAN 3 Sukoharjo (Joglosemar, 19 April 2011) merupakan salah satu fenomena gunung es. Tentu masih banyak ditemui beragam bentuk “pekerjaan sampingan” yang dilakukan pengawas ujian namun luput dari pantauan pejabat peninjau.

Lalu, sejauh manakah kemanfaatan kunjungan pejabat terkait dalam pelaksanaan UN? Mampukan kunjungan pejabat UN meminimalisasi indikasi kecurangan setiap pelaksanaan UN? Sangatlah ironis memang, ketika peninjauan pejabat terkait marak, indikasi penyimpangan UN sendiri juga semakin marak dengan beragam media penyampainya.

Menelaah peraturan UN seperti dilansir Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP) menyatakan, ruang ujian adalah tempat yang hanya bisa dimasuki peserta dan pengawas ruang ujian tersebut. Manakala menelaah peraturan tersebut layaknya sudah menjawab pertanyaan bahwasanya peran pejabat peninjau pelaksanaan UN hanyalah menimbulkan permasalahan tersendiri. Dari sisi psikologis siswa, beragamnya kunjungan pejabat justru merusak konsentrasi siswa. Fakta-fakta di lapangan, pada umumnya kunjungan pejabat tidak sekadar melihat pelaksanaan UN, namun juga melakukan tanya jawab kepada siswa yang pada akhirnya kontraproduktif dengan peningkatan kualitas pendidikan melalui UN.

Sangatlah miris, di saat siswa harus memutar otak menjawab pertanyaan, justru dikacaukan tindakan pejabat yang lebih bernuansa pencitraan semata dibandingkan pengatasan masalah riil pendidikan. Kondisi ini tentulah berkebalikan dalam standar pelaksanaan UN di mana untuk pengawas sendiri sudah di-wanti-wanti untuk tidak “mengganggu” siswa dalam mengerjakan soal. Jangankan menanyai siswa, pengawas UN dalam prosedur operasional standar (POS) UN dilarang berbicara antarpengawas, mondar-mandir dan diharapkan duduk tenang di kursi pengawas.

Jika terjadi penyimpangan UN pun, sanksi bagi siswa yang melakukan pelanggaran UN sampai saat ini masih dalam taraf menjaga keheningan. Yakni dicatat dalam berita acara pelaksanaan ujian.

Pengawas UN pada umumnya juga mengalami perang batin. Berdasarkan ketentuan, pengawas UN tidak diperkenankan saling berkomunikasi baik antarpengawas maupun menggunakan handphone. Dengan kondisi tersebut pengawas UN tidak ubahnya harus luar biasa menahan diri karena tuntutan ketertiban pelaksanaan UN. Di satu sisi pengawas diharapkan tetap konsisten melakukan tugas kepengawasannya. Berdasarkan pengalaman penulis selama menjadi pengawas UN, ketentuan itu justru menjadikan serba salah. Di satu sisi harus tetap menjaga ketenangan, di sisi lain permasalahan siswa selama melaksanakan UN terkadang memerlukan penjelasan verbal.

Hentikan Politisasi UN

Peninjauan politis secara tidak langsung akan menyeret pendidikan dalam politisasi pendidikan yang pada akhirnya memberangus pola pelaksanaan UN itu sendiri. Diibaratkan, semut di seberang laut tampak namun gajah di pelupuk mata tidak tampak. Indikasinya penyimpangan pelaksanaan UN terus terjadi namun tindakan konkret tak kunjung dilakukan. Di balik peninjauan bernuansa pencitraan tersebut terdapat beberapa catatan penting yang akhirnya luput dari pantauan.

Peninjauan pejabat justru tidak kondusif bagi pelaksanaan UN. Peninjauan pejabat tidak memecahkan akar permasalahan yang lebih kompleks dibanding dugaan penyimpangan yang kerap ditudingkan terjadi pada saat UN. Dugaan adanya jual beli kunci jawaban yang kerap terjadi pun pada akhirnya hanya berhenti pada dugaan semata, karena aspek pencitraan UN hanya sebatas basa–basi politis.

Upaya–upaya yang selayaknya dilakukan untuk perbaikan UN tidak semata-mata mengintensifkan peninjauan, namun terdapat beberapa tindakan krusial penting.

Pertama, hentikan politisasi UN. Selama ini tampaknya UN teramat seksi untuk dipandang semua kalangan dan kondisi ini sangatlah rawan dengan politisasinya. Setiap pelaksanaan UN banyak pihak menilai UN sebagai hasil akhir semata tanpa melihat bagaimanakah proses UN tersebut dilakukan. Basa–basi politis mutlak harus diakhiri mengingat basa-basi tersebut hanyalah menimbulkan kebijakan basi semata. Penekanan guru yang membaca koran saat pelaksanaan UN tidak bisa menjadi parameter pencederaan UN.


Kedua, jika pemerintah peduli peningkatan kualitas siswa, selayaknya dukungan politis lebih dikedepankan dibandingkan basa–asi semata. Adanya beberapa siswa yang menunggak SPP saat UN (Joglosemar , 19 April 2011) selayaknya lebih membutuhkan penanganan berarti. Hal itu agar keberlangsungan pendidikan warga negara tidak terhambat dan cenderung mencari dalih pembenaran dengan pemberitaan sang pengawas membaca koran saat mengawasi UN.

Ketiga, kembalikan UN sebagai kewajaran pendidikan. Evaluasi merupakan tuntutan khas sebuah proses belajar. Persepsi yang dikembangkan saat ini menekankan UN menjadi sebuah komoditas dibandingkan bagaimanakah pelaksanaannya. Sangatlah naif manakala UN diposisikan sebagai sebuah gengsi sesaat suatu kabupaten dibandingkan bagaimanakah peningkatan kualitas pendidikan tersebut dikembangkan. Target Kabupaten Sragen bahwa UN harus 100 persen lulus (Solopos, 19 April 2011) teramat naif manakala tidak memperhatikan bagaimanakah pembelajaran tersebut dilakukan.

Manakala UN dianggap menunjukkan kualitas pendidikan selayaknya dukungan peningkatannya riil diberlakukan. Ketersediaan biaya pendukung peningkatan kualitas pendidikan selama ini dirasa masih sangat kurang gaungnya dibandingkan alokasi pembiayaan bagi pengamanan UN. Padahal selayaknya itu tidak perlu terjadi dan peningkatan kualitas pendidikan berbasis UN benar-benar menjadi kenyataan. UN sebagai kewajaran pendidikan secara tidak langsung akan memosisikan bahwa UN sebuah proses kewajaran bahwa untuk menilai siswa diperlukan sarana pengukuran yang reliabel.

Selamat mengawasi dan diawasi!


Sumber: Joglosemar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar