Selasa, 12 April 2011

Belajar untuk Belajar

Dulu, dulu sekali….ketika saya masih anak-anak, dengan kondisi kehidupan yang serba susah dan terbatas bapak saya dengan getol selalu menyuruh saya sekolah, begitupun ibu saya tercinta, beliau akan segera ‘membelai’ telinga saya sampai merah jika mulai muncul gejala malas sekolah.

Nah cukup disitu, Ayah dan Ibu saya hanya menyuruh saya untuk sekolah titik, beliau tidak perduli dengan pelajaran apa yang saya pelajari hari ini, dapat berapa nilai ulangan saya, atau bagaimana PR untuk esok hari. Pendek kata mereka berdua menyuruh saya untuk sekolah bukan belajar. Saya hampir tidak pernah dimarahi jika nilai matematika saya di bawah 7 atau bahkan dibawah 3 sekalipin, mereka tidak pernah memaksa nilai pelajaran saya harus bernilai ’super’, yang terpenting adalah saya tidak mencontek dan tidak ‘badung’ di sekolah.

Dari sikap kedua orang tua saya, saya menjadi semangat untuk ke sekolah, bukan karena mengejar warna biru segar di raport tapi mengejar ilmu apapun yang bisa saya pelajari disekolah.Bukan karena takut dengan kedua orang tua, tapi karena merasa perlu untuk menjadi lebih bermanfaat. Sungguh sangat menyenangkan, bagi saya sekolah adalah surga, surga untuk membuka dunia baru.

Meski kondisi ekonomi yang ‘morat-marit’ perlakuan orang tua saya tidak pernah berubah, dan anak-anaknyalah yang semakin dewasa menyikapinya.

Sungguh berbeda dengan saat ini, dimana anak dipaksa untuk menjadi super dalam segala bidang mata pelajaran, jika nilai menurun, berbagai macam tindakan dilakukan agar nilai kembali naik dengan berbagai alasan sebagai pembenaran. Apalagi jika mengenai masalah gengsi orang tua, sungguh orang tua akan merasa sangat bangga jika anaknya dikenal sebagai bintang kelas, dan memiliki sederetan prestasi akademik yang mencorong. Kadang kita sebagai orang tua lupa bahwa apa yang kita lakukan telah membangkitkan budaya ketakutan terhadap sekolah dan belajar itu sendiri. Proses pembelaran disekolah tidak lagi diarahkan agar anak dapat belajar secara mandiri dan sesuai dengan kemampuan dasar lagi, tapi telah ‘dibebani’ dengan sederetan misi rahasia bagi bagi kepentingan orang tua, maupun ‘kepentingan anak dimasa depan’ tetapi tanpa sadar telah mengorbankan kepentingan anak di saat ini.

Sungguh sangat sedih rasanya ketika melihat anak-anak begitu antipati dengan sekolah dan kata belajar, sekolah sudah diistilahlah sebagai kawah candradimuka yang identik dengan perjuangan keras bermandi keringat dan bahkan terkadang air mata, sekolah tidak bisa dibuat menyenangkan dan membangkitkan keinginan untuk belajar.

Sungguh tidak habis pikir, melihat anak-anak kita begitu tertekan ketika UAS atau UAN ataupun ujian dalam bentuk lain datang. Apakah sebenarnya yang terjadi, apakah hal ini memang harus terjadi? bahkan hampir tidak ada yang memikirkan efek yang lebih mengerikan ketika tingkat stress dan rasa tertekan ini semakin memuncak, sehingga ada seorang siswa nekat mengahiri hidup hanya karena tidak lulus tes.

Sebuah blog pernah saya baca dan isinya sangat inspiratif, sayang saya lupa lokasinya, disitu dijelaskan bagaimana seorang anak dari Indonesia yang baru sekolah di Amerika, mendapat tugas dari sekolah untuk mengarang cerita dalam bahasa Inggris. Sang anak mendapatkan nilai A padahal baik ejaan dan susunan katanya kacau balau, tetapi setelah pulang kerumah dan orang tuanya membaca hasil karangannya lalu protes ke sekolah karena menurut orang tua, hasil karangan ini sangat tidak layak untuk mendapatkan nilai A. Tapi pihak sekolah menerangkan bahwa bukan masalah isi dan ejaan itu yang menjadi penilaian akan tetapi semangat dan kemauan untuk belajar ini lah yang layak mendapat pengakuan.

Ketika menghadapi kondisi yang semakin berat saat ini, mungkin kita juga harus mulai mengerti anak-anak kita, dan tidak membebani mereka dengan segudang target, tapi cukuplah mengajarkan dan menuntun mereka kemana dan dimana target-target tersebut dapat dicapai...

Salam...


Sumber: Kompasiana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar