Kamis, 14 April 2011

Pengembangan Kurikulum Home Schooling

Hadirnya homescooling beberapa tahun belakangan ini turut meramaikan dunia pendidikan Indonesia. Sebagai salah satu alternatif pendidikan yang relatif baru, tentu saja masih banyak kalangan yang meragukan homeschooling. Pernyataan seputar homeschooling pun muncul seperti tentang siapa gurunya, di mana tempat belajarnya, apa yang dipelajari, bagaimana proses belajar homeschooler (pelaku homeschooling), bagaimana evaluasinya dan lain sebagainya. Perntanyaan-pertanyaan tersebut sebenarnya adalah pertanyaan mengenai bagaimana kurikulum homeschooling itu sendiri. Berbeda dengan jalur Pendidikan Non formal seperti Paket A, Paket B, dan Paket C, sampai saat ini belum ada kurikulum baku yang ditetapkan oleh pemerintah untuk homeschooling. Dalam pelaksanaannya, setiap homeschooling memiliki kurikulum yang berbeda-beda.

Kurikulum homeschooling memang bersifat customized. Artinya, homeschooling memiliki pilihan untuk menentukan kurikulum yang diacu sesuai dengan kebutuhan dan minat homeschooler, ingin memperoleh ijazah resmi dari pemerintah dengan mengikuti ujian kesetaraan. Kurikulum yang digunakan harus diintegrasikan dengan kurikulum Departemen Pendidikan Nasional dan bahan-bahan pelajaran yang diujikan dalam ujian kesetaraan ke dalam program homeschooling yang dilaksanakan.

A. Homeschooling

Secara harfiah, homeschooling adalah sekolah yang diadakan di rumah, namun secara hakiki ia adalah sebuah sekolah alternarif yang menempatkan anak sebagai subjek dengan pendekatan pendidikan secara at home. Dengan pendekatan ini, anak merasa nyaman. Mereka bisa belajar sesuai dengan keinginan dan gaya belajar masing-masing, kapan saja dan di mana saja, sebagaimana ia tengah berada di rumahnya sendiri. (Versiansyah, 2007: 18)

Secara prinsipil, homeschooling atau sekolah rumah menurut Kembara (2007: 16) adalah konsep pendidikan pilihan yang diselenggarakan oleh orang tua. Proses belajar mengajar diupayakan berlangsung dalam suasana kondusif dengan tujuan agar potensi setiap anak yang unik dapat berkembang secara maksimal.

Menurut Yulaelawati (2006), homeschooling atau dalam bahasa Indonesianya sekolah rumah adalah proses layanan pendidikan secara sadar, teratur, dan terarah yang dilakukan oleh orang tua atau keluarga. Dalam konteks itu, proses belajar mengajar berlangsung dalam suasana yang kondusif. Tujuannya adalah agar setiap potensi yang dimiliki peserta didik berkembang secara maksimal.

Dalam Sistem Pendidikan Nasional, penyelenggaraan homeschooling didasarkan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 1, ayat 1, dalam undang-undang tersebut berisi “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya.” Hal ini berarti bahwa tidak ada pembatasan bahwa proses pendidikan hanya boleh dilaksanakan melalui pendidikan formal di dalam kelas, berkelompok, dan harus dengan satu atau dua guru yang berdiri di depan kelas.

Pendidikan dapat juga diperoleh dengan cara informal dan hasilnya dapat diakui setelah peserta didik mengikuti ujian kesetaraan melalui Paket A, Paket B, dan Paket C. Hal ini ditegaskan dalam Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional pasal 27 ayat 1 bahwa “Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkunan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri”. Pada ayat (2), dinyatakan bahwa “Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar pendidikan nasional.

Pemerintah, dalam hal ini Direktorat Pendidikan Luar Sekolah, Departemen Pendidikan Nasional telah mengatur pelaksanaan homeschooling dengan mengeluarkan buku panduan yang berjudul “Komunitas Rumah sebagai Satuan Pendidikan Kesetaraan”. (Sumardiono, 2007: 61).

Komunitas homeschooling sendiri merupakan satuan pendidikan jalur pendidikan nonformal. Acuan mengenai eksistensi komunitas homeschooling terdapat dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 26 ayat 4. Ayat tersebut berisi “Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis”. Dalam homeschooling itu sendiri, orang tua bertanggung jawab penuh terhadap pendidikan homeschooler. Karena itu, orang tua juga berperan sebagai pengemban kurikulum.

Homeschooling adalah salah satu model sekolah alternatif, juga sekolah alam yang memungkinkan anak belajar dengan cara masing-masing yang membebaskan mereka untuk berkreasi, mengekspresikan perasaan, dan sebagainya. Intinya tidak membebani anak dan tidak menjadikan sekolah itu seperti penjara. Seharusnya, sekolah itu membebaskan ide-ide kreatif mereka. Seto Mulyadi (2007: 5) mengemukakan bahwa “Pendidikan itu untuk anak, belajar itu hak dan bukan kewajiban”. Sekarang anak-anak lebih banyak diperlakukan seperti robot; harus patuh, anak untuk kurikulum, sarat kekerasan, dan kadang sekadar mengejar nilai bukan proses. Ini sangat merugikan bagi pengembangan kreativitas dan kemandirian anak. Kalau ada delapan standar pendidikan nasional yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), maka yang harus diikuti hanya tiga; yaitu standar isi kurikulum, standar kompetensi lulusan dan standar evaluasi. Sebaliknya, standar proses, standar guru, standar biaya, standar sarana prasarana, bebas. Adapun cara mengevaluasinya yaitu dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan standar kompetensi yang diharuskan. Seto Mulyadi menambahkan bahwa penelitian di AS menunjukkan, mereka yang di home schooling, secara akademik maupun psiko-sosial banyak yang lebih tinggi daripada anak-anak yang di sekolah biasa.

Di homeschooling sendiri, guru hanya berperan sebagai fasilitator proses belajar. Guru juga bisa belajar bersama-sama dengan peserta didik. Tempat belajrnya bisa di mana saja, di tenda, rumah, atau pasar. Sesekali mereka bisa diajak keluar, misalnya ke kantor polisi, pemadam kebakaran atau apa saja. Intinya homeschooling tetap mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak. Bukan anak untuk kurikulum, tetapi kurikulum untuk anak. Jadi, kurikulum didesain untuk anak dalam kondisi yang berbeda.

B. Pengembangan Kurikulum

Secara etimologi, kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang berarti berlari dan curere yang berarti tempat berpacu. Dengan demikian, istilah kurikulum berasal dari dunia olahraga pada zaman Romawi kuno di Yunani, yang mengandung pengertian jarak yang harus ditempuh oleh pelari dari garis start sampai garis finish. Selanjutnya, kurikulum ini digunakan dalam dunia pendidikan dan mengalami perubahan arti sesuai dengan perkembangan dan dinamika yang ada pada dunia pendidikan. (Abdullah, 2007: 184)

Secara garis besar kurikulum dapat diartikan sebagai suatu program yang direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Akan tetapi, ada juga yang berpendapat bahwa kurikulum tidak hanya mencakup hal-hal yang direncanakan, tetapi juga mencakup hal-hal yang tidak direncanakan, yaitu apa yang disebut dengan The Hidden Curriculum atau kurikulum tersembunyi. (Nasution, 1993: 11)

Pengembangan kurikulum pada hakikatnya merupakan pengembangan komponen-komponen kurikulum yang membentuk sistem kurikulum itu sendiri, yaitu komponen tujuan, bahan, metode, peserta didik, pendidik, media, sumber belajar, dan lain sebagainya

Peserta didik terkadang tidak mendapat pelajaran yang tidak direncanakan sebelumnya, seperti metode belajar yang ia kembangkan sendiri agar dapat memahami pengetahuan yang ia peroleh, atau memperoleh pelajaran baru selain dari yang telah “direncanakan” dalam kurikulum sebelumnya. Dalam homeschooling, kemungkinan the hidden curriculum lebih sering terjadi dibandingkan dalam sekolah formal. Ini dikarenakan hommschooler lebih bebas berekspresi dibandingkan dengan peserta didik pada sekolah formal.

Ada beberapa prinsip umum dalam pengembangan kurikulum yang ditawarkan oleh Nana Syaodih (2005: 150-151), Pertama; Prinsip Relevansi. Ada dua macam relevansi yaitu relevansi ke luar dan ke dalam kurikulum sendiri. Relevansi ke luar maksudnya tujuan, isi, dan proses belajar yang tercakup dalam kurikulum hendaknya relevan dengan tuntutan, kebutuhan, dan pengembanan masyarakat. Kurikulum menyiapkan peserta didik untuk bisa hidup dan bekerja dalam masyarakat. Kurikulum hendaknya mempersiapkan peserta didik untuk tugas tersebut. Sebaliknya, relevansi di dalam kurikulum itu sendiri, yaitu ada kesesuaian atau konsistensi antara komponen-komponen kurikulum, yaitu antara tujuan, isi, proses belajar, dan penilaian. Kedua, Prinsip Fleksibilitas. Kurikulum hendaknya memiliki sifat lentur atau fleksibel. Kurikulum mempersiapkan anak untuk kehidupan sekarang dan yang akan datang. Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang berisi hal-hal yang solid, tetapi dalam pelaksanaannya memungkinkan terjadinya penyesuaian-penyesuaian berdasarkan kondisi daerah, waktu, maupun kemampuan, dan latar belakang anak. Ketiga; Prinsip Kontinuitas, yaitu kesinambungan. Perkembangan dan proses belajar anak berlangsung secara berkesinambungan, tidak terputus-putus. Oleh karena itu, pengalaman belajar yang disediakan kurikulum hendaknya berkesinambungan, yaitu dari kelas satu sampai kelas tiga. Keempat, Prinsip Praktis, mudah dilaksanakan, menggunakan alat-alat sederhana dan biayanya juga murah. Prinsip ini disebut juga prinsip efisiensi. Kelima; Prinsip Efektivitas. Keberhasilan kurikulum baik secara kuantitas maupun kualitas harus diperhatikan. Karena keberhasilan kurikulum akan memengaruhi keberhasilan pendidikan.

C. Jenis Kurikulum

1. Separated Subject Curriculum

Kurikulum ini dipahami sebagai kurikulum mata pelajaran yang terpisah satu dengan lainnya. Kurikulum mata pelajaran terpisah (separated subject curriculum) berarti kurikulumnya dalam bentuk mata pelajaran yang terpisah-pisah, yang kurang mempunyai keterkaitan dengan mata pelajaran lainnya. Konsekuensinya, peserta didik harus semakin banyak mengambil mata pelajaran. (Abdullah, 2007: 142)

Kurikulum ini terdiri dari mata pelajaran, yang tujuannya adalah peserta didik harus menguasai bahan dan tiap-tiap mata pelajaran yang telah ditentukan secara logis, sistematis, dan mendalam. kurikulum ini menghendaki anak mengambil mata pelajaran yang lebih banyak. Misalnya, ada mata pelajaran Matematika, Fisika, Biologi, Agama, PKn, Sejarah, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan lain sebagainya.

2. Corelated Curriculum

Kurikulum jenis ini mengandung arti bahwa sejumlah mata pelajaran dihubungkan antara satu dengan yang lainnya, sehingga ruang lingkup bahan yang tercakup semakin luas. Sebagai contoh, pada saat anak belajar Agama yang berkaitan dengan kewajiban seorang muslim terhadap tetangga, dapat dikaitkan dengan mata pelajaran PKn yang mengajarkan tentang keberagaman.

3. Broad Fields Curriculum

Hilda Taba menyatakan bahwa the broad fields curriculum adalah usaha meningkatkan kurikulum dengan mengkombinasikan beberapa mata pelajaran. Misalnya, Fisika, Kimia dan Biologi disatukan menjadi Ilmu pengetahuan Alam.

4. Integrated Curriculum

Kurikulum terpadu merupakan suatu produk dari usaha pengintegrasian bahan pelajaran dari berbagai macam mata pelajaran. Integrasi diciptakan dengan memusatkan pelajaran pada masalah tertentu yang memerlukan solusinya dengan materi atau bahan dari berbagai disiplin atau mata pelajaran (Abdullah, 2007: 146). Sebagai contoh kunjungan anak TK ke Benteng Otanaha, Pantai Indah, Pelabuhan Soekarno yang ada di Kelurahan Dembe Kecamatan Kota Barat, (sejarah), akan memberikan kontribusi pada anak. Kontribusi tersebut antara lain dapat berupa pengenalan tempat bersejarah peninggalan Portugis (penjajah). Selain itu, anak juga dapat melihat dan memperoleh pengetahuan tentang telapak kaki Lahilote (dongeng/mitos), dapat menambah wawasan pengetahuan tentang kunjungan Bapak Proklamator yang pernah berkunjung ke Gorontalo menggunakan pesawat Amphibi serta nilai-nilai sejarah yang ada di museum tersebut (sejarah). Manfaat lainya adalah pengembangan bahasa anak, dalam hal ini adalah bahassa Indonesia. Anak dapat menceritakan kembali pengalaman mereka selama perjalanan berwisata.

Kurikulum terpadu mempunyai ciri yang fleksibel dan tidak menghendaki hasil belajar yang sama dari semua peserta didik. Guru, orang tua, dan peserta didik merupakan komponen-komponen yang bertanggung jawab dalam proses pengembangan kurikulum.

D. Konsep Kurikulum Homeschooling

Konsep kurikulum homeschooling mengacu pada konsep kurikulum humanistik. Kurikulum humanistik dikembangkan oleh para ahli pendidikan humanistik. Aliran ini lebih memberikan tempat utama kepada peserta didik. Mereka bertolak dari asumsi bahwa anak adalah yang pertama dan utama dalam pendidikan. Peserta didik (peserta didik/warga belajar) adalah subjek yang menjadi pusat kegiatan pendidikan. Mereka percaya bahwa anak mempunyai potensi, yaitu suatu kemampuan, bakat, kekuatan dan segala apa yang dimiliki oleh peserta didik untuk berkembang dan dikembangkan.

Pandangan ini berkembang sebagai reaksi terhadap pendidikan yang lebih menekankan segi intelektual dengan peran utama dipegang oleh guru. Pendidikan humanistik menekankan peranan peserta didik. Pendidikan merupakan suatu upaya untuk menciptakan situasi yang permisif, rileks, dan akrab. Berkat situasi tersebut anak mengembangkan segala potensi yang dimilikinya. Tugas guru adalah menciptakan situasi yang permisif dan mendorong peserta didik untuk mencari dan mengembangkan pemecahan sendiri. (Syaodih, 2005: 87).

E. Pendekatan Pengembangan Kurikulum Homeschooling

Dalam pengembangan kurikulum terdapat beberapa pendekatan. Secara teoretis, dalam kerangka pendekatan sistemik dan pendekatan kontekstual, terdapat lima model pengembangan pendekatan kurikulum yang berlaku sejak tahun 1950-an sampai 2000-an. Model pendekatan kurikulum ini meliputi:

a. Model Tyler

Menurut Tyler, pengembangan kurikulum mencakup tujuan, pengalaman belajar, pengelolaan belajar, dan penilaian tujuan belajar.

b. Model Taba

Menurut Taba, pengembangan kurikulum mencakup diagnosis, kebutuhan, rumusan tujuan, seleksi dan organisasi konten, manifestasi pengalaman belajar, serta penilaian.


c. Model Teknik-Saintifik

Pengembanan kurikulum ini mencakup penyusunan perencanaan, penyusunan struktur lingkungan belajar, pengkoordinasian sumber daya manusia, bahan dan peralatan, mempunyai derajat objektivitas, universalitas, percaya pada efisien dan efektivitas dari sistem, serta dunia dilihat sebagai mesin yang dapat digambar, dibut, dan diminati.

d. Model Nonteknik-Nonsaintifik

Pengembangan kurikulum ini berorientasi pada hal-hal yang subjektif, pribadi, keindahan, penalaran dan transaksi, berorientasi pada peserta didik melalui cara-cara aktif dalam proses pembelajaran, kurikulum berkembang dari yang direncanakan, dan dunia merupakan suatu benda hidup.

e. Model Pendidikan Berbasis Hasil Belajar

Pengembangan kurikulum ini mencakup penentuan hasil belajar, penentuan pengetahuan, kompetensi, kinerja, dan penentuan cara mendesain, menyampaikan dan mendokumentasikan pembelajaran, (Yulaelawati, 2004: 29-30).

Jika dilihat dari beberapa model pengembangan kurikulum di atas, maka model pengembangan kurikulum homeschooling lebih cenderung mengarah kepada model nonteknik-nonsaintifik. Kurikulum homeschooling merupakan sesuatu yang dinamis.

Pendekatan nonteknik-nonsaintifik dilatarbelakangi oleh pendekatan kontekstual. Dalam pendekatan ini pengambilan keputusan dalam pengembangan kurikulum sangat berorientasi pada peserta didik melalui cara-cara aktif dalam pembelajaran, (Yulaelawati, 2004: 31). Di homeschooling, seorang anak bisa saja mempelajari sesuatu selama berminggu-minggu tanpa beralih ke yang lainnya, atau malah sebaliknya, untuk mempelajari sesuatu homeschooler bisa saja menempuhnya dalam waktu yang tidak begitu lama. Selain itu, anak dapat memilih apa yang diinginkannya. Dengan demikian, model pengembangan kurikulum yang tepat untuk homeschooling adalah model nonteknik-nonsaintifik.

Simpulan

Dari uraian di atas, diperoleh simpulan bahwa kurikulum homeschooling bersifat customzed, sesuai dengan minat dan kebutuhan anak. Dengan demikian, konsep kurikulumnya mengacu pada konsep humanistik. Model pengembangannya pun bersifat nonteknik-nonsaintifik, sehingga tanggung jawab pengembangan berada pada orang tua, pendamping belajar dan homeschooler itu sendiri.

Daftar Pustaka :

Abdullah, Idi. 2007. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Yogyakarta: Ar-Ruzz.

Chris Versiansyah. 2007. Homeschooling: Rumahku Kelasku, Dunia Sekolahku. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara

Ella Yulaelawati. 2004. Kurikulum dan Pembelajaran: Filosofi Teori dan Aplikasi. Bandung: Pakar Raya

Nana Syaodih, Sukmadinata. 2005. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Nasution. 1993. Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Mulyadi. Seto. 2007. Pendidikan Alternatif yang Membebaskan.

———- 2007. Homeschooling Keluarga Kak Seto. Bandung: Kaifa.

Soetopo & Soemanto. 1993. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum: Sebagai Substansi Problem Administrasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara


Sumber: Kompasiana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar