Kamis, 14 April 2011

Rapor & Kekerasan Pada Anak


"Ribuan Kekerasan Pada anak terjadi saat anak menerima rapor. Apakah anda pernah melakukannya?" (google.com)

Sebentar lagi anak-anak akan menerima rapor. Setiap tahun ribuan bahkan ratusan ribu kekerasan pada anak terjadi saat anak menerima rapor. Anak dicela, dimarah, dibentak orangtua hingga dipukuli karena orangtua menganggap nilai rapor anaknya memalukan.

Fenomena kekerasan pada anak ini bisa membuat anak stres, bahkan sebagian menjadi pengalaman traumatik. Salah satu klien saya mengalaminya, trauma terhadap rapor.

Seorang pria tengah baya mengunjungi kami di Pelikan. Awalnya dia mengantar istrinya konseling karena kasus depresi. Usai istrinya bicara dengan kami, dia mengeluhkan trauma dengan rapor yang ia alami selama 40 tahun ini. Ia merasa setiap mendengarkan kata rapor, dia merasa tidak nyaman dan kadang perutnya masih sakit.

Begini kisahnya: Trauma Dengan Rapor

Waktu kelas 2 SD pulang menerima rapor, dia mampir ke rumah temannya. Dia melihat temannya disambut hangat dan ramah oleh pujian oleh ortunya. Rapor temannya yang biasa-biasa saja dipuji seakan-akan luar biasa. Bahkan temannya ini mendapat rangkulan hangat sang ibu.

Dalam perjalanan pulang, dia membayangkan akan mendapatkan pujian orangtuanya. Sebab nilainya jauh lebih baik dari temannya. Hanya sayang, ada satu nilai merah. Matematika. Lainnya bagus semua.

Setibanya di rumah, si anak masuk dan langsung serahkan rapor pada ibunya. Melihat rapor itu mata sang ibu langsung tertuju pada angka merah. Langsung si ibu marah-marah. Si anak didamprat sebagai anak malas, tidak taat pada orangtua, sehingga matematikanya merah.

Sorenya saat si ayah pulang, ibu melaporkan bahwa rapor anak mereka ada merahnya. Dalam keluarga mereka anak dianggap tidak pandai jika matematika merah. Sang ayah ikut marah, bahkan menghukum, waktu bermain dengan teman dikurangi sampai angka matematikanya dapat minimal angka 8.

Sejak saat itu, menurut pengakuan klien, dia sering sakit perut luar biasa setiap penerimaan rapor. Anehnya sampai 40 tahun kemudian, sisa trauma rapor itu masih dia rasakan. Perutnya kadang masih mules, meski tidak melihat wujud rapor. Inilah dampak kejahatan ortu yang mendewakan rapor. Anak jadi korban. Janganlah sampai kita melakukannya pada anak anak.

Bulan Juni nanti anak-anak kita akan menerima rapor. Bagi beberapa anak menerima rapor menyenangkan. Tapi untuk sebagian anak lain tidak, malah jadi momok yang menakutkan.

Sistem Penilaian yang Mematikan Kecerdasan

Sistem nilai sekolah kita di negeri ini, masih menekankan pada skor akademis yang hanya mengukur kepandaian anak dari sisi prestasi belajar, lebih difokuskan pada kecerdasan pikir. Sementara kecerdasan sosial, emosi dan lainnya kurang mendapat perhatian. Akibatnya anak-anak yang pandai matematika, kimia, fisika, dan sebagainya lebih mudah mendapatkan nilai dan ranking yang baik.

Sistem yang mengganggu anak dan orangtua adalah ranking dan penghargaan. Sering ranking itu hanya dilihat dari nilai akademis semata, dan tidak melihat kemampuan anak dari sisi kecerdasan lainnya: musik, fisik, sosial, musik, spasial, dll. Sistem penilaian di atas membuat sebagian orangtua mempunyai respon yang salah terhadap rapor anak-anak mereka. Mereka akan bangga jika rapor anak baik, jika tidak ada nilai merah atau angka di bawah 60, misalnya.

Menjadi Orangtua yang Bijak

Marilah kita mulai bersikap bijak dan adil jika nantinya melihat rapor anak. Jangan kita menilai anak hanya pada kemampuan akademis semata. Belajarlah menghargai dan mendorong anak jika ia memiliki kecerdasan di bidang lain. Kita juga memotivasi dengan cara baik agar anak memperbaiki nilai-nilai yang kurang. Janganlah mencela atau membandingkan dia dengan kakaknya, temannya, tetangga, dsb.

Daniel Goleman mengingatkan kita dalam bukunya berjudul “Kecerdasan Emosional”, bahwa banyak pemimpin di lembaga besar di US memiliki rapor dengan nilai biasa atau rata-rata, tetapi umumnya mereka memiliki kecerdasan emosi atau sosial yang tinggi.

Semoga saja bermanfaat


Oleh: Julianto Simanjuntak
Sumber: Kompasiana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar