Selasa, 26 April 2011

Ujian Nasional, Buah Simalakama?

Ujian Nasional (UN) untuk tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) telah berakhir namun pro dan kontra tentang diadakannya ujian nasional ini masih saja berlangsung. Ujian Nasional secara serentak mulai diadakan sejak tahun 2005 dimana UN dijadikan parameter kelulusan siswa secara mutlak. Pro dan kontra pun langsung menyeruak mengingat kelulusan seorang siswa tidak mungkin hanya dinilai hanya 3 hari saja walau telah belajar selama 3 tahun di sekolah ditambah masih belum meratanya fasilitas pendidikan di Indonesia maka penetapan target nilai minimum pada UN dianggap tidak masuk akal.

Selain itu tidak mungkin kelulusan hanya dinilai hanya pada mata pelajaran tertentu saja karena bisa jadi ada siswa yang memang secara akademik kurang memuaskan nilainya namun secara bidang lain seperti olah raga atau seni memiliki kemampuan yang luar biasa jadi penetapan UN sebagai syarat mutlak kelulusan dianggap hanya membebani siswa dan tentu saja guru. Usulan untuk memberikan kebebasan pada sekolah dalam penentuan kelulusan siswa juga ditolak oleh pemerintah karena dianggap tidak memenuhi standar kualifikasi kelulusan siswa yang seragam. Inilah yang akhirnya menyebabkan pro dan kontra UN menjadi semakin panjang dan lebar hingga tiap tahun selalu menjadi bahan perdebatan walaupun sistem kelulusan tahun ini berubah yaitu sekolah diberikan kesempatan untuk menilai siswa jadi tidak hanya 100% dari hasil UN.

Pada dasarnya ujian atau evaluasi bagi seorang siswa adalah perlu bahkan mutlak dilakukan untuk mengetahui sejauh mana perkembangan hasil didikan pada siswa tersebut. Namun membebankan UN sebagai syarat mutlak kelulusan juga bukan solusi yang tepat mengingat kapasitas individu berbeda-beda belum lagi faktor lain seperti kondisi sekolah dan tenaga pengajar.
Sehingga yang terjadi saat ini adalah sekolah berusaha sedapat mungkin mengusahakan para siswanya agar lulus 100% walau dengan cara-cara curang sekalipun supaya mendongkrak reputasi sekolah dan menjaga nama baik daerah. Ironis memang pendidikan yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam proses pembangunan bangsa serta pembentukan pola pikir harus berubah menjadi semata-mata mengejar prestasi dalam bentuk angka supaya kehormatan suatu lembaga tetap terjaga. Hal ini pula mungkin yang menjadikan alasan bahwa tidak seharusnya sekolah menentukan parameter kelulusan bagi siswa-siswanya karena bisa jadi ada sekolah yang akan berusaha mendongkrak nilai para siswa sehingga semua siswanya lulus.

Krisis kepercayaan antara pemerintah dengan lembaga pendidikan itulah yang menjadi topik permasalahan dalam manajemen pendidikan di Indonesia saat ini. Selain adanya perubahan sistem dalam pendidikan, isu korupsi dalam pengadaan UN serta kecurangan-kecurangan lain yang terjadi makin menambah peliknya kondisi pendidikan di Indonesia. Jika UN tetap diadakan maka akan terulang lagi kecurangan-kecurangan dalam meluluskan siswa namun jika UN ditiadakan dan diserahkan kepada sekolah sepenuhnya apakah sekolah mampu memberikan lulusan yang sesuai dengan kualifikasi yang diinginkan? Solusi sederhana sebenarnya bisa dimulai dari pihak siswa dan guru serta pemangku kebijakan.

Guru dan siswa tentu tidak menginginkan untuk gagal dalam ujian namun pemerintah juga berkewajiban menjaga mutu serta kualitas pendidikan nasional, bisa jadi UN tetap diadakan namun dengan penyerataan kondisi sekolah dan fasilitasnya serta memberikan tenaga pengajar cukup untuk seluruh wilayah Indonesia jadi tidak boleh ada kesenjangan fasilitas maupun tenaga pengajar. Kalaupun dihilangkan dan diserahkan kepada sekolah untuk menilai kelulusan siswa maka pemerintah wajib mengawasi dan menetapkan standar kelayakan bagi proses belajar serta ujian untuk siswa tersebut apakah sekolah tersebut benar-benar memberikan parameter yang sesuai atau sengaja memberikan poin penuh kepada siswa supaya lulus demi menjaga reputasi sekolah.

Dan tentu saja pola pendidikan bukan hanya sebatas pengajaran berbentuk nilai akademis semata masih banyak aspek yang bisa dinilai dari kemampuan seorang siswa. Aspek kognitif berupa kejujuran, kemampuan menganalisa, berorganisasi, mengelola waktu, kreativitas dalam artian positif, dan lain-lain juga bisa dimasukkan dalam parameter penilaian karena pada dasarnya pendidikan bukan hanya mencerdaskan bangsa tetapi mencerahkan bangsa dengan pendidikan manusia bisa mengerti dan memahami hakekat ilmu pengetahuan serta mengamalkannya untuk kebaikan dan kemajuan masyarakat.


Sumber: Kompasiana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar