Minggu, 24 Oktober 2010

Urgensi Taman Bacaan di Mal

Kurang kerjaan. Itulah kesan saya ketika membaca program Kementerian Pendidikan Nasional yang membuat Taman Bacaan Masyarakat di Mal atau yang dikenal dengan akronim TBM@MaL (baca: te be em et mal).

Betapa tidak? Di tengah ketidakmampuan pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional menyelenggarakan pendidikan nasional yang mencerdaskan dan mendewasakan, merosotnya hasil ujian nasional tingkat SMP dan SMA sederajat 2010, pemerintah mengagendakan TBM@MaL.

Menurut keterangan Direktur Pendidikan Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal (Dir Dikmas Ditjen PNFI) Kemendiknas Ella Yulaelawati, 50 persen pengunjung mal adalah remaja, 25 persen berumur di bawah remaja, dan sisanya di atas remaja.

TBM@Mal akan dilengkapi dengan pojok anak (kid corner) sebagai balai belajar bersama. Lebih lanjut, TBM@Mal juga bisa dijadikan sarana unjuk karya. Misalnya, galeri anak-anak yang memajang hasil karya mereka. Pada tahap awal, Kemendiknas akan merintis TBM@Mal di enam titik pusat perbelanjaan. Yaitu di Jakarta, Serang, Makassar, Bandung, Surabaya, dan Semarang.

Ella menambahkan, keberadaan TBM@Mal guna mendukung 5.552 TBM yang berada di pelosok daerah pedesaan. Konon, keberadaan TBM@Mal sebagai salah satu sarana membangun keberaksaraan masyarakat.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa harus mal yang diberi fasilitas khusus untuk membaca? Mengapa tidak di pasar tradisional? Atau di balai desa/kelurahan dan kantor RT/RW di desa-desa yang mencapai 70.611 desa di Indonesia?

Mudji Sutrisno (2009) menyebut mal sebagai mesin untuk belanja yang dimanipulasi hasratnya dengan arsitektur, setting lokasi, lanskap simbolik hingga sekaligus mengalami fantasi belanja di mal yang menggabungkan rasa belanja di ruang-ruang yang bersejarah tapi sudah dikemas eksotis memenuhi hasrat belanja, jalan-jalan, menonton, dan tampil diri sebagai identitas dengan menaruh mal di lanskap budaya pop yang menyatukan ke pusat pemenuhan hasrat ruang privat dan ekspresi citra ruang publik sebagai “gaul”, mampu beli gaya hidup “modern”.

Lebih lanjut, Mudji Sutrisno menyatakan ruang bersama yang awalnya dihayati secara kultural, kemudian rezim penentu makna ditambah rezim kelas pemenang kepentingan yang mengalahkan kelas-kelas bawah dengan modal dan kapital, akhirnya tidak hanya mengubah peran temu bersama penghayatan ruang bersama dari kultural menjadi fungsional, instrumen untuk kepentingan kelas bermodal. Tetapi dalam istilah Antonia Gramsci telah menguasai dalam hegemoni sistem simbol dan makna hingga menundukkan kelas-kelas yang tak berpunya modal dan telah dihegemoni dalam menafsirkan hidup karena kesadaran kritisnya telah ditundukkan lewat pendidikan, tafsir realitas dengan cara non “coercive” (tak memaksa namun yang dilumpuhkan adalah kesadaran kritisnya), menjadi segalanya dimaterialkan; dibendakan dalam proses reifikasi.

Jadi, membuat TBM@MaL tidak lebih hanya semakin mengukuhkan keberadaan kelas menengah dan atas dan melupakan kelas bawah. Sarana publik entah itu taman baca hanya semakin menyesakkan rakyat miskin. Pasalnya, rakyat miskin semakin termarginalkan. Mereka tidak mungkin pergi ke mal. Yang berkunjung ke mal hanyalah orang-orang “kaya” yang memiliki kuasa.

Lebih dari itu, distribusi bacaan dan intelektual akan semakin terpusat di kota. Desa akan semakin sepi, karena warganya berbondong-bondong ke kota mengadu nasib. Anak orang desa semakin “kuper” dan jauh dari peradaban. Karena fasilitas pendidikan (buku) ditumpuk di kota. Bagaimana mungkin anak-anak desa mampu mengukir peradaban jika mereka kekurangan buku. Padahal menurut Charles Baudelaire (1821-1867) seorang penyair Perancis, tanpa buku, perkembangan peradaban tidak akan mungkin. Mereka adalah mesin perubahan, jendela di dunia.

Maka, buku harus didistribusikan secara adil dan merata. Orang desa juga butuh bacaan. Merekalah seharusnya yang perlu diperhatikan. Bukan orang-orang kota yang secara ekonomi mereka lebih mapan dan sanggup untuk membeli buku atau koran setiap pagi.

Meletakkan buku di mal merupakan kesia-siaan. Pasalnya, setiap orang yang ke mal hanyalah untuk “fun” dan “gaul”. Mereka tidak butuh buku di mal. Orang yang pergi ke mal dan “maniak” buku tentunya mereka akan langsung menuju toko buku dan membaca dan mencari buku yang diinginkan. Orang-orang seperti ini sedikit jumlahnya jika dibandingkan dengan para pelancong yang berdiri di berjejer di sepanjang tiang pembatas mal sambil memperhatikan kesibukan yang sedang berlangsung di lantai bawah.

Logika yang dibangun pemerintah menyediakan TBM@Mal sebagai ajang menyemarakkan kegiatan membaca sungguh aneh. Betapa tidak, setiap mal hanya menyediakan petak 3X5 meter untuk kegiatan ini. Jauh lebih sempit dari luas pusat perbelanjaan atau jalan masuk menuju mal. Apakah pengunjung mal akan melirik keberadaan TBM@Mal yang seperti toilet, bahkan lebih kecil daripada toilet?

Menyediakan fasilitas membaca 3X5 meter di mal hanya semakin mengerdilkan fungsi membaca itu sendiri. Sungguh tidak logis, ketika pengusaha membuat pusat perbelanjaan bermeter-meter, namun untuk membangun peradaban hanya sepetak kecil. Membangun peradaban dengan buku akan efektif jika pemerintah mengalokasikan dananya untuk membangun perpustakaan di pasar-pasar tradisional dan atau balai desa. Memanjakan orang desa dengan buku juga akan semakin mempercepat transformasi sosial. Warga desa akan cerdas dan mandiri dengan banyak membaca.

Jika pemerintah masih saja meneruskan program TBM@ MaL berarti pemerintah semakin menguatkan keberadaan mal di bumi nusantara. Inilah bukti paling nyata pemihakan terhadap kaum borjuis dan penindasan terhadap kaum proletar meminjam istilah Marxis.

Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional telah kehilangan arah orientasi pendidikan. Arah pendidikan nasional semakin berkiblat ke Barat dan meninggalkan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Coba-coba program yang jauh dari realitas sosial hanya akan semakin menjauhkan misi profetik pendidikan dalam membangun peradaban yang mulia.


Sumber: Harian Joglosemar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar