Guru adalah profesi yang sudah dijalankan oleh Bapak/Ibu sampai saat ini. Ada yang memilih karena memang menjadi cita-cita, ada yang terpaksa karena situasi, atau ada yang belum merasa bahwa dirinya sudah menjadi guru. Apapun situasinya latar belakang tidak perlu disesali atau dibanggakan, karena yang paling esensi adalah apa yang akan kita lakukan setelah hari ini. Mengenang masa lalu belum tentu dapat menghasilkan kinerja yang baik, menyesali masa lalu belum tentu juga akan merubah situasi kalau kita tidak memulainya untuk melangkah ke depan. Berat? Iya!!!!
Sekolah adalah dimana tempat guru berkiprah dan menumpahkan segala macam idealism dan harapan-harapan untuk masa depan anak bangsa. Sekolah seharusnya bukan tujuan pribadi untuk sekedar mencari nafkah dan tidak memberikan manfaat apapun bagi anak didik kita. Anak didik kita bukan wadah atau celengan yang siap diisi oleh apapun di sekolah. Anak didik adalah individu yang akan menyelamatkan dan mensejahterakan kita, rakyat bogor, rakyat jawa barat, dan Indonesia. Jadi mengapa kita hanya member alakadarnya?
Pendidikan?
1. Menurut John Dewey “Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual, emosional ke arah alam dan sesama manusia”.
2. Hajar Dewantara mendefinisikan “pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran, serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya”.
3. UURI No. 20 tahun 2003 “Pendidikan adalah usaha sadar terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan darinya, masyarakat, bangsa, dan negara”
4. Social constructivism views each learner as a unique individual with unique needs and backgrounds. The learner is also seen as complex and multidimensional. Social constructivism not only acknowledges the uniqueness and complexity of the learner, but actually encourages, utilizes and rewards it as an integral part of the learning process (Wertsch 1997)
Kalau kita merujuk dari teori di atas kita bisa menyadari betapa sulit dan menantangnya profesi yang berkaitan dengan pendidikan. Ketidaksempurnaan proses akan mengakibatkan tidak sempurnanya pemahaman, ketidaksempurnaannya pemahaman akan berdampak pada tindakan anak. Kalau kita mau lebih ekstrim menafsirkan kita tidak bisa mengelak kalau segala macam tragedy yang ada di Indonesia tidak luput dari tidak berjalannya system pendidikan yang ada.
Siswa adalah manusia!
Sekolah yang seperti apa?
Merujuk kepada teori Audrey Gray, karakteristik dari kelas yang sesuai dengan teori konstruktivist adalah sebagai berikut:
1. Pebelajar aktif berpartisipasi2. Lingkungan yang demokratis
3. Kegiatan yang interaktif dan berpusat pada murid
4. Guru memfasilitasi proses belajar dimana siswa ditingkatkan tanggungjawab dan otonominya
Saya yakin bahwa semua guru sangat fasih dengan teori ini permasalahannya adalah sampai dimana kesadaran itu dating dan siap dilakukan (tidak sekedar tahu tapi jauh dari aplikasi). Firman Allah; “Amat besar kebencian Allah kepada orang yang tahu tapi tidak melakukan apa yang ia ketahuinya”. Seharusnya ayat ini juga berlaku bagi murid-murid kita, mereka harus terlatih mengamalkan hal apa saja yang ia dapatkan dari gurunya di sekolah. Sehingga pembelajaran jangka panjang (life long learning) bisa terus berjalan.
Guru dan Perubahan
Pendidikan sebagai sebuah institusi dan pusat peradaban sebuah negara sudah seharusnya menjadi lembaga yang paling dinamis. Kita tidak bisa bangga dengan kondisi stagnan walau secara teoritis sudah digandrungi dan dikagumi oleh lembaga pendidikan lain yang setara. Kita harus terus mencari dan menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Berhenti berbarti tertinggal! Lihatlah disekeliling kita, setiap sekolah sudah mengejar trend terbaru bahkan tak jarang yang siap membayar mahal demi sebuah standar yang dianggap bergengsi. Sekali lagi, disinilah peran guru dan institusi diuji, apakah ia akan berpuas diri atau terus menerus bermetamorfosa.
Menjelang akhir tahun ajaran dan awal tahun ajaran 2010-2011 sudah seharusnya para guru di sekolah mempersiapkan amunisi pertempuran yang akan berlangsung setahun. Segala sesuatunya harus sedini mungkin dipersiapkan baik silabus, RPP, program kerja, serta segala faktor non teknis harus dipersiapkan. Satu hal yang harus diperhatikan, bagaimana sekolah memastikan bahwa persiapan tahun ini harus berbeda dan menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi mutaakhir. Guru tidak boleh lagi berkata bahwa murid sekarang lebih malas, lebih tidak disiplin, tidak menghormati guru dibandingkan dengan siswa beberapa tahun yang lalu. Yang harus diperhatikan adalah bagaimana guru bersiap menghadapi anak yang lebih malas, lebih tidak disiplin, tidak menghormati guru, dan segala kekurangannya. Karena di sanalah kunci keberhasilan sebuah institusi pendidikan. Bukan bagaimana guru memaksa murid mengikuti kehendak guru namun bagaimana guru mempersiapkan segala sesuatunya yang akan membuat siswa lebih baik dan semakin baik dari hari kehari.
Mengubah Paradigma adalah Solusi
Tantangan itu harus dihadapi suka atau tidak suka. Masalah itu harus dipecahkan mampu atau tidak. Harapan dan target itu harus dicapai kita bisa atau tidak. Pertanyaannya adalah bagaimana caranya supaya semua program-program itu bisa terwujud. Jawabannya adalah sangat sederhana yaitu guru harus dirubah paradigmanya. Paradigma statis menjadi dinamis, paradigma biasa menjadi luar biasa, paradigma konservatif menjadi kreatif. Di sanalah setiap guru harus bersiap dan bekerja keras berlatih dan menerima tantangan.
Kita semua bisa melakukan hal yang tidak mungkin jika ditopang oleh niat dan harapan untuk menjadi manusia terbaik. Berlatih, berlatih, dan berlatih.
Penutup
Dari penjelasan di atas, kita bisa melihat betapa langkah-langkah itu sebetulnya sangat mudah untuk diaplikasikan namun menjadi sulit untuk direalisasikan. Permasalahan utamanya adalah ada di lingkungan dimana guru berada. Kebanyakan dari guru sudah merasa nyaman dengan kondisi dirinya. Sehingga ia tidak merasa harus terus menerus memperbaiki dirinya karena dengan kondisi apa adanya atau dengan kondisi yang minim sekalipun tidak akan pernah mendapatkan sanksi-sanksi yang bersifat administrative. Tak elok rasanya kalau kalimatnya argument guru berbunyi "TUHAN TIDAK PERNAH CEREWET UNTUK MENGAJAR DENGAN BAIK".
Sumber: Kompasiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar