Marah itu tidak baik. Bahkan mungkin marah itu adalah dosa. Namun dalam mendidik anak, banyak yang mengatakan marah itu perlu. Hmmm… Apakah anda bingung? Saya tidak akan menjawab pertanyaan itu dengan teori-teori psikologi, karena saya memang tidak ahli dalam hal itu. Saya menjawab pertanyaan ini cukup dengan sebuah kisah di masa kecil saya, saat saya masih nakal-nakalnya.
Pada saat saya masih duduk di bangku SD, setelah pulang sekolah, saya minta ijin kepada sopir antar jemput saya. Saya meminta ijin untuk tidak pulang bersama sopir antar jemput saya. Saya berkata kepada sopir antar jemput saya bila saya tidak pulang bersamanya, karena saya ada acara bersama teman-teman di sekolah. Karena saya mengatakan hal itu dengan sangat serius, maka dia pun percaya, dan meninggalkan saya di sekolah.
Setelah itu, saya bersama teman-teman sekolah saya segera bermain ke rumah salah seorang teman saya. Di sana saya bermain Video Game. Karena saking asyiknya bermain, saya tidak sadar kalau jarum jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Maka saya pun segera pulang dari rumah teman saya tersebut. Saya pulang menggunakan bus kota. Saat itu saya menunggu bus lama sekali, hingga pukul enam petang. Tidak seperti biasanya saya menunggu bus yang jalurnya melewati rumah saya dengan segitu lamanya.
Saya sampai di rumah hampir pukul tujuh malam. Saat saya berada tepat di depan pintu rumah, hati saya dag dig dug tidak karuan. Saya yakin, kalau Ayah dan Bunda saya pasti akan marah saat menemui saya pulang dari sekolah hingga pukul tujuh malam. Benar dugaan saya, tidak lama setelah saya mengetuk pintu rumah, saya melihat bunda membuka pintu. Ternyata beliau sudah menunggu tepat di depan pintu.
Setelah itu, Bunda langsung memarahi saya. Beliau menanyakan pada saya macam-macam dengan nada yang lumayan keras. Tidak biasanya bunda marah hingga seperti itu. Saya pun menangis pada saat saya dimarahi. Saya bisa merasakan kekhawatiran bunda saya saat menunggu saya di rumah hanya dengan kabar dari sopir bila saya ada acara di rumah teman. Saya tidak merasakan sakit di dalam hati saya meski bunda memarahi saya. Justru du lubuk hati saya yang paling dalam, ada perasaan sangat menyesal.
Tidak lama setelah bunda marah-marah, bunda langsung menyuruh saya untuk mandi dan makan malam. Walaupun bunda marah, beliau tetap bersedia memghangatkan sayur dan menyiapkan lauk pauk di meja makan. Selesai mandi, saya pun langsung makan malam. Saat itu, saya makan malam sendirian. Saat saya makan, saya tahu bila bunda sedang berada di dalam kamar. Entah apa yang beliau lakukan di sana. Saya berpikir, pasti bunda sudah menyiapkan hukuman untuk saya.
Setelah selesai makan, saya segera mencuci piring yang saya gunakan untuk makan. Mungkin karena mendengar suara saya yang sedang mencuci piring, bunda pun keluar dari kamar. Bunda pun segera merapikan meja makan yang telah saya gunakan agar terlihat rapi kembali, dan membersihkan meja dengan kain lap.
Setelah meja terlihat bersih, dan saya pun telah selesai mencuci piring, bunda mengajak saya untuk duduk bersama di ruang tengah sambil menonton TV. Pada saat itu, bunda berkata dengan lembut, meminta saya untuk tidak mengulangi perbuatan itu lagi. Bunda meminta agar saya tidak boleh bermain di rumah teman hingga larut malam, karena bunda khawatir, melihat banyak berita di TV bila banyak anak-anak diculik di TV. Bunda tidak melarang saya bermain setelah pulang sekolah, asalkan pulang sebelum jam 4 sore. Bunda juga meminta agar saya mengenalkan teman-teman sekolah saya, dan meminta nomor telepon rumah teman, tempat saya bermain, sehingga bisa tetap memonitor saya meskipun bermain di luar rumah dengan jarak yang lumayan jauh.
Saat itu, saya merasakan bila bunda saya adalah bunda yang terbaik di dunia. Saya tahu, bila di dalam kemarahannya ada kasih sayang yang besar kepada saya. Pada saat saya masih kecil, saya memang suka melakukan kenakalan yang membuat bunda saya marah. Namun setelah bunda marah, saya selalu merasakan ada kasih sayang yang besar yang membuat saya menyadari segala kesalahan saya dan membuat saya untuk tidak melakukan kesalahan dan kenakalan yang sama. Seiring dengan pertumbuhan kedewasaan saya, saya juga semakin mengerti alasan kenapa saya tidak mau “neko-neko” dan melakukan kenakalan. Bukan karena takut membuat bunda marah, namun saya takut melukai hati bunda dan mengecewakan bunda yang begitu menyayagi saya.
Cobalah sekarang anda bertanya kepada diri anda sendiri. Bila anda bertanya kepada buah hati anda, ”Kenapa kamu tidak mau mendapatkan nilai jelek di sekolah?” Sudahkah buah hati anda menjawab,”Karena saya ingin selalu menyenangkan hati bunda dan tidak ingin mengecewakan bunda.” Ataukah buah hati anda cukup menjawab, ”Karena saya takut bunda marah.” Janfan resah jangan kawatir, dengan mendidik sebenarnya kita pun telah dididik. Terus belajarlah untuk mendidik, agar kita pun semakin dididik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar