Kamis, 01 Juli 2010

Wong Pinter Kalah Karo “Beja”

Kepandaian merupakan bekal dalam mengarungi kehidupan didunia ini, begitu warisan leluhur kita pada jaman dahulu. Yang dimaksudkan pandai disini adalah kepandaian dalam menuntut ilmu pengetahuan. Maka selalu ditanamkan pesan dan kesan anak sekolah harus pandai. Diharapkan supaya nantinya menjadi orang yang terpandang. Kalau pandai ilmu pengetahuan tentu akan tercapai cita-citanya dan akan mendapatkan kesejahteraan dalam kehidupannya.

Lain halnya dengan orang yang bodoh. Orang bodoh tidak dapat berpikir layak, maka kelakpun juga sukar mendapatkan pekerjaan sehingga hidupnya akan terlantar. Orang bodoh dipersamakan dengan binatang “Kerbau” yang hanya tubuhnya saja yang besar, sementara sepak terjangnya lemah dan dungu. Maka akan menurut tuannya saja ketika dicambuk dan didera untuk membantu mengolah tanah sawah dan ladangnya. Sedangkan orang yang pandai diibaratkan “Burung Elang Rajawali” yang terbang jauh keangkasa tinggi menukik kesana kemari leluasa hinggap ditempat yang diinginkan mencari makan sambil menyanyi-nyanyi.

Gambaran orang yang pandai dianggap mudah dalam mendapatkan derajat, pangkat, dan kedudukan memang sudah merasuk dalam sanubari leluhur kita. Maka tidak mengherankan jika anak sekolah dituntut untuk tekun belajar dan harus menjadi anak yang pandai.

” Pintaku pada kamu semua nak, putra-putriku, tekunlah dalam belajarmu agar menjadi anak yang pandai. Jika kamu pandai, kelak dapat tercapai keinginan dan cita-citamu. Junjung tinggilah kedua orang tuamu. Jadilah kamu orang yang berguna bagi agama nusa dan bangsa”. Demikian permintaan orang tua terhadap anak-anaknya, bahkan sampai pada cucu dan buyutnya.

Entah kenapa “ Kerbau” dijadikan lambang untuk menggambarkan orang yang bodoh. Padahal kita tahu kerbau sangat membantu petani dalam setiap mengerjakan sawah dan ladangnya. Coba saja perhatikan, binatang yang digunakan para petani dalam mengerjakan sawah ladangnya tentu Sapi atau Kerbau. Tidak pernah menggunakan Kambing, Babi, Celeng, atau binatang yang lain. Mengapa? Karena Kerbau dan Sapi binatang jinak dan penurut. Dicambuk, dipukul, tidak pernah ada yang melawan. Memeliharanyapun juga tidak mengalami kesulitan. Makanannya cukup rumput dan dedaunan.

Sungguh malang binatang kerbau, dicambuk, didera, dipaksa, tetap menurut saja dan tidak ada yang punya inisiatif melawan. Binatang penurut seperti itu bahkan masih tetap di perbudak dan dibodohkan.

Kata pepatah Jawa ”gelem ngalah luhur wekasane“. tidak berlaku bagi seekor kerbau. Yang berlaku ”gelem ngalah gampang penthungane“. Bisa juga itulah alasan mengapa orang bodoh, dungu, selalu disamakan dengan sipat dan sikap yang melekat pada binatang yang bernama kerbau.

Kerbau memang lemah dan jinak, berbeda dengan harimau. Coba saja kalau yang dipaksa dicambuk dan didera itu harimau, bisa-bisa malah orangnya yang diterkam dan dimangsa seketika itu juga. Dalam sejarah memang ada orang bodoh yang bernama kerbau, yaitu Kebo Ijo dari Kerajaan Singasari. Gara-gara membawa dan memamerkan keris buatan Empu Gandring terpaksa harus dihukum gantung karena dituduh membunuh Adipati Tunggul Ametung. Ini ulah Ken Arok yang terkenal licik dan sakti.

Entah karena leluhur kita kurang tepat wawasannya atau memang jaman sekarang yang sudah rusak. Pandangan hidup dan falsafahnya tidak bisa digunakan untuk pegangan menjawab tantangan jaman sekarang.

Pasalnya mengapa...?

Orang yang ilmunya dangkal bahkan bodoh seperti “kerbau” mencari pekerjaan malah mendapat kemudahan. Hidupnya serba kecukupan bahkan bisa menduduki “kursi berbintang”. Sebaliknya orang yang berilmu dan berpikir cerdas mencari pekerjaan mengalami kesulitan. Ibarat mencari sekeping uang logam yang jatuh dilautan. Jatuh bangun setengah mati lembar berkas lamarannya tidak pernah diperhatikan. Kesana-kemari yang ditemukan hanyalah ungkapan dan pernyataan “tidak ada lowongan”

Pandai sekolahnya ternyata tidak menjamin menuntun pada masa depan yang gemilang. Pandai sekolahnya ternyata tidak menjamin menuntun pada kehidupan yang sejahtera. Pandai sekolahnya ternyata tidak dapat menjamin terlaksana cita-citanya. Jujur prilaku akhlaqnya ternyata tidak menjamin menuntun pada peningkatan pangkat dan jabatan. Bahkan kadang yang terjadi sebaliknya, jujur malah harus rela didepak mundur dan jatuh.

Entah karena leluhur kita kurang tepat wawasannya atau memang jaman sekarang yang sudah rusak. Pandangan hidup dan falsafahnya tidak bisa digunakan untuk pegangan menjawab tantangan jaman sekarang.

Pasalnya mengapa...?

Orang bodoh yang diibaratkan “kerbau” malah sekarang hidupnya enak dan sejahtera. Rumah mewah harta benda melimpah ruah. Derajat Pangkat dan kedudukan tinggal terima setiap saat.

Contohnya temanku sewaktu SD yang namanya “Bejo”. Sekolahnya bodohnya bukan main. Setiap terima raport dimarahi ibunya dan dihajar bapaknya lantaran nilai jeleknya. Saya lulus SMP dia baru lulus SD. Anaknya memang bodoh, pantas dijuluki “kerbau”. Selain kerbau juga nama panggilannya “kancil” karena licik dan pandai menipu. Mungkin lebih lihai Beja dibanding binatang “kancil” dalam dongeng. Pangkat dan jabatannya sekarang mengalahkan Sarjana S3 dari Universitas ternama.

Sebaliknya teman sekelasku SD juga, yang namanya “Sarjana” hanya tinggal nama dan ijasahnya saja yang sarjana. Hidupnya terlantar, tidak pernah punya kesempatan untuk bekerja. Setiap kali memasukkan lamaran pekerjaan setiap kali juga jawabannya tidak ada lowongan. Dari rambutnya berwarna hitam sampai sekarang uban semua, lamarannya tidak pernah ada jawaban. Dari matanya jelas membaca sampai sudah kacamata plus 3, tetap saja nasibnya tidak berubah. Itu semua karena dia tidak punya SK dari pejabat dikotanya. SK artinya “Sahabat Karib”. Kadang melamun dirumah, kadang mondar-mandir dijalan, kadang tidur disawah. Yaaaah …… kesimpulannya karena tidak mempunyai SK, ijasah “Sarjana” universitas ternama kalah dengan ijasah “Sarjana” universitas tersamar.

Entah karena leluhur kita kurang tepat wawasannya atau memang jaman sekarang yang sudah rusak. Pandangan hidup dan falsafahnya tidak bisa digunakan untuk pegangan menjawab tantangan jaman sekarang.

Bisa juga yang dimaksudkan “pandai” bukan hanya pandai sekolahnya. Tetapi juga pandai semuanya. Pandai menyamar, pandai menyuap, pandai meniru, dan juga pandai menipu. Pandai berbuat sirik dan munafik supaya kelihatan akhlaq dan budi pekertinya baik. Juga dibutuhkan lagi pandai bersandiwara dan berbuat fitnah.

“Beja” walaupun dulu bodoh ibarat “kerbau” tapi sekarang hidupnya enak dan sejahtera. Rumah mewah harta benda melimpah ruah. Yang menjadi penyebabnya bukan sekolah dan ijasahnya, tetapi karena adanya ”PERDA” dan “PP” nya dengan pejabat di kotanya. PERDA artinya punya “Pertalian Darah”, dan PP artinya “Ponakannya Pejabat”. Lebih-lebih sekarang menjadi SK (Sahabat Karib) dengan atasannya. Tidak ada yang bisa mengalahkan kariernya.

Entah karena leluhur kita kurang tepat wawasannya atau memang jaman sekarang yang sudah rusak. Pandangan hidup dan falsafahnya tidak bisa digunakan untuk pegangan menjawab tantangan jaman sekarang.

Pasalnya mengapa...?

Sekarang “Kerbau” yang dikatakan bodoh dan dungu itu tidak hanya diperlukan untuk mengolah dan mengerjakan tanah sawah dan ladang, tetapi juga dijadikan teman untuk mengerjakan “apartemen” lan “departemen”.

Entah mengapa …, entah mengapa …, entah mengapa…,

Tetapi sepertinya ada yang salah. Yang salah jaman atau orangnya …, marilah kita saling bertanya …, bertanya pada nurani kita …. sudahkah kita menjadi umat yang berguna untuk kesejahteraan sesamanya …?

Ibadah kita tentulah belum sempurna, selagi kita masih menjadi batu sandungan buat kemajuan sesamanya. Berikanlah sikap dan sipat adil. Relakanlah pangkat, jabatan, dan kedudukan itu dipegang oleh sahabat-sahabat kita yang memang pantas untuk mendudukinya. Jadikanlah yang pandai itu memimpin dan yang bodoh itu dipimpin. Jadikanlah yang “Utama” itu teladan yang “Tercela” itu PR untuk diluruskan.

Ibadah kita tentulah belum sempurna, selagi kita masih menjadi batu sandungan buat kemajuan sesamanya. Berikanlah sikap dan sipat adil. Relakanlah pangkat, jabatan, dan kedudukan itu dipegang oleh sahabat-sahabat kita yang memang pantas untuk mendudukinya. Jadikanlah yang pandai itu memimpin dan yang bodoh itu dipimpin. Jadikanlah yang “Utama” itu teladan yang “Tercela” itu PR untuk diluruskan.

Nabi besar Muhammad SAW memberikan gambaran apabila suatu pekerjaan itu diserahkan kepada orang yang tidak cakap mengerjakannya (bukan ahlinya), maka kita tinggal menunggu saja saat-saat kehancurannya. Janganlah kita menjadi hancur karena menempatkan orang-orang yang tidak cakap dalam bidangnya. Setiap orang mempunyai kelebihan dan kelemahan, biarlah kelebihan dan kelemahan tersebut menempati tempat-tempat yang semestinya sesuai dengan proporsi dan keadaannya. Jika demikian halnya maka Insya Allah negara kita maju dan sejahtera. Dan kita tercatat sebagai generasi yang berjiwa besar karena mau dan mampu menyelamatkan anak-anak cucu kita dari kebobrokan budaya dan falsafah bangsa. Amin...


Sumber: edukasi.kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar