Betapa banyak kekecewaan, kesal bahkan marah dari banyak orangtua yang putra putrinya gagal memasuki sekolah pada tahun ajaran baru ini. Baik sekolah yang dituju adalah sekolah negeri atau swasta. Pada sisi lain, terjadi pembentukan kaki-kaki negatif pada ‘self image’ anak atau konsep diri anak. Perasaan ‘bodoh’, ‘lemah’, ‘kalah bersaing’, ‘lebih baik anak lain daripada aku’, dan jutaan lagi perasaan negatif yang terjadi pada diri anak-anak kita. Bayangkan kalau peruntuhan kepercayaan diri ini terjadi setiap tahun di negeri ini.
Berikut ini beberapa pernyataan yang menimbulkan gema kekecewaan tersebut:
“Maaf anak ibu/bapak belum dapat di terima di SD ini, sebab dari hasil tes kematangannya, dia belum matang”.
“Maaf anak ibu/bapak belum dapat bergabung di SD ini, sebab masih belum bisa membaca dengan cepat, kami kuatir nanti anak ini tertinggal dengan anak yang lain”.
“Maaf anak ibu/bapak belum dapat diterima di SD ini, sebab belum bisa membaca Al-Qur’an dengan baik”.
“Maaf anak ibu/bapak tidak diterima masuk ke SMP/SMA ini, sebab nilai NEM nya kurang, sayang sekali hanya kurang 0.5”.
“Maaf anak ibu/bapak belum bisa menjadi siswa SMP/SMA ini, sebab dari hasil psikotes kami, kemampuan anak ini di bawah rata-rata”.
“Maaf anak ibu/bapak belum dapat diterima di SMP/SMA ini, sebab tes kemampuan kognitif anak ibu hanya 7.4. Sekolah ini menerima siswa yang hasil tesnya 7.5 ke atas”.
“Maaf, kami tidak menerima anak-anak yang berkebutuhan khusus, mungkin bisa di sekolah lain saja”.
Mungkin jika saya teruskan pernyataan maaf ini panjangnya bisa menjadi 100 halaman. Persoalannya adalah apakah benar konsep untuk masuk sekolah anak kita harus melewati serangkaian tes, yang mana ujungnya akan mempunyai dua kemungkinan, yaitu DITERIMA atau DITOLAK.
Sekolah vs Perusahaan
Perusahaan adalah institusi yang di dalamnya harus diisi oleh orang-orang yang menunjukkan produktivitas. Jangan sampai ada salah dan lemah. Wajar, agar perusahaan itu maju. Produk atau jasa yang dijualnya dapat laku. Oleh sebab itu untuk merekrut karyawannya, setiap perusahaan mempunyai pola rekrutmen yang ketat. Rekrutmen ini menggunakan konsep ranking. Calon karyawan dengan nilai tes tertinggi yang mempunyai kemungkinan besar diterima.
Sedangkan sekolah adalah intitusi belajar, yang mana di dalamnya harusnya wajar berisi siswa-siswa yang tidak bisa, siswa-siswa yang berbuat salah. Sebab untuk itulah institusi sekolah itu dibangun. Mengajarkan bagaimana anak yang awalnya tidak bisa menjadi bisa, atau anak yang awalnya salah menjadi benar. Institusi sekolah mestinya mirip dengan balita yang ingin belajar berlari. Awalnya berdiri, jatuh. Lalu berjalan, jatuh lagi. Kemudian berlari, yang juga di awali dengan jatuh sana jatuh sini, sampai akhirnya dapat berlari cepat.
Sayangnya, yang sekarang terjadi pada sistem penerimaan siswa baru kita adalah konsep perusahaan di tarik dan diterapkan pada konsep sekolah. Jika hal ini terus diselenggarakan, maka akan terjadi banyak peruntuhan kepercayaan diri generasi muda kita. Setiap anak akan mendapat pengalaman ‘AKU GAGAL’ setiap tahunnya.
Screening vs Planning
Screening adalah penyaringan atau penyeleksian yang digunakan untuk menyeleksi beberapa orang untuk dapat masuk dan mengikuti sebuah institusi kerja. Institusi kerja adalah institusi yang sudah mempunyai ‘standard operation procedure’ (SOP) dan berharap orang yang masuk mampu melakukan SOP tersebut. Oleh sebab itu screening membutuhkan analisa jabatan, job discription, kualifikasi, dan serentetan tes. Hasil screening ada dua kemungkinan, yaitu DITERIMA atau DITOLAK. Praktis screening tepat untuk institusi perusahaan.
Planning adalah penyusunan perencanaan program yang disesuaikan dengan orang-orang yang terdapat dalam sebuah institusi belajar. Artinya orang yang masuk institusi ini harus diektahui kondisinya, kemudian dibuatkan perencanaan program agar orang tersebut mampu meraih target yang ditentukan. Dalam planning dibutuhkan data sebanyak mungkin data orang-orang yang mendaftar. Makin banyak data, makin mudah menyusun perencanaan program untuk setiap orang. Dan dalam planning tidak ada orang yang DITERIMA atau DITOLAK. Semuanya diterima. Planning inilah yang tepat untuk konsep penerimaan baru di institusi sekolah.
The Best Process vs The Best Input
Sekolah mestinya menganut konsep the best process, bukan the best input. Seluruh komponen sekolah akan mempunyai peluang besar menjadi ‘agent of change’ jika penerimaan siswa barunya tidak melakukan serangkaian tes-tes masuk yang ketat. Sebab jika yang masuk hanya siswa pandai dan baik, maka peluang menjadi agent of change menjadi tereduksi.
Sekolah yang baik adalah yang menerima siswa-siswanya dengan kondisi apapun, namun sekolah tersebut mampu mengembangkan kemampuan-kemampuan siswanya yang jelas terlihat maupun kemampuan yang tersembunyi.
Himbauan orangtua sebagai konsumen pendidikan
Kita sebagai orangtua dari anak-anak kita yang sedang menuntut ilmu dan sekaligus menjadi konsumen pendidikan, harus mempunyai paradigma kualitas sekolah yang baik untuk anak-anak kita. Kubur sudah paradigma sekolah unggul adalah sekolah yang masuknya sulit, dengan dertasn tes-tes yang ketat. Percayalah sekolah semacam itu adalah sekolah yang tidak siap menerima siswa yang mempunyai kelemahan dan hambatan. Sehingga kemampuan guru-gurunya patut dipertanyakan.
Kita sebagai masyarakatlah yang secara tidah sadar mempertahankan paradigma yang salah ini, dengan bangga sekali ketika harus menyekolahkan anaknya pada sekolah-sekolah yang ‘gila tes masuk’. Sebaliknya jika ada sekolah yang menerima siswanya tanpa tes, malah kita dengan mudah mengatakan sekolah tersebut tidak bermutu. Ayo ubah paradigma kita menjadi yang benar, agar anak kita tidak menjadi korban.
Betapa banyak sekolah-sekolah yang menomorsatukan kemampuan kognitif melahirkan generasi-generasi yang tidak kreatif dan yang rapuh ketika menemui masalah kehidupan sebenarnya.
Semoga tulisan ini berguna buat kita sebagai orangtua yang menginginkan pendidikan berkualitas bagi anak-anaknya.
Oleh: Munif Chatib
Sumber: Catatan Smart Parenting
Tidak ada komentar:
Posting Komentar