Ini jeritan hati seorang guru. Mungkin sekali juga jeritan hati seorang dosen dan orangtua. Mari kita hitung. Berapa lama mendidik seseorang anak sejak dari TK sampai berhasil menjadi sarjana. Lalu masih harus berjuang lagi jika ingin menempuh strata S2, kemudian naik lagi S3. Itu semua mungkin diperlukan waktu minimal 20 tahun. Dan untuk berhasil meraih gelar profesor, seorang dosen perlu perjuangan lanjutan lagi. Bayangkan, betapa banyak beaya dan pengorbanan yang mesti dikeluarkan baik tenaga, pikiran, uang maupun emosi.
Membayangkan itu semua, maka sangat wajar kalau acara wisuda sarjana merupakan hari kegembiraan dan pelepasan dari semua lelah serta penantian panjang. Orangtua berbondong-bondong ke kampus untuk menyaksikan hari bersejarah itu. Para wisudawan mengenakan pakaian toga simbol kelahiran kembali sebagai seorang yang telah dewasa secara intelektual. Mereka berfoto ria untuk mengabadikan momen yang amat mahal dan langka dalam hidup seseorang.
Demikianlah, dengan bekal kesarjanaan seseorang lalu menapaki jalan hidup serta karir lebih lanjut. Di antara mereka ada yang berkarir sebagai akademisi di lingkungan kampus dan ada pula yang berkarya di jajaran birokrasi pemerintahan ataupun di sektor swasta. Saya sendiri sebagai seorang guru, dosen dan sementara ini dipercayai sebagai pimpinan universitas, akhir-akhir ini dibuat sedih dan merenung membaca berita berbagai skandal korupsi yang dilakukan oleh mereka yang latar belakang pendidikannya sarjana. Bahkan, ada yang dikenal sebagai akademisi dan profesor.
Sungguh situasi ini membuat pilu. Sebagai seorang guru dan dosen pasti sedih, bertanya-tanya, apa yang salah dengan dunia pendidikan kita? Secara teoritis-normatif seorang sarjana pasti tahu bahwa korupsi itu jahat, bagaikan virus yang akan merusak jaringan tubuh birokrasi yang berujung pada kelumpuhan. Birokrasi bukannya bekerja produktif memajukan bangsa dan melayani rakyat, melainkan hanya menghabiskan APBN untuk membayar gaji bulanan dan beaya proyek yang jadi kenduri para koruptor.
Kami bertanya-tanya. Apakah pendidikan yang salah, atau mental pejabat kita yang sangat rapuh, ataukah sistim dan kultur birokrasi kita yang ganas dan akan menggilas siapapun yang bergabung? Saya sendiri tidak tahu persis apa jawabnya. Namun, yang pasti hari-hari ini serasa melihat mendung hitam menutupi dunia kampus. Kita ingin suasana di luar kampus memberikan inspirasi dan motivasi pada mahasiswa bahwa jalan terbaik untuk meraih sukses adalah belajar keras, jaga integritas dan mengembangkan keahlian serta ketrampilan komunikasi. Tetapi sangat memilukan, yang selalu saja menjadi sumber pemberitaan adalah drama politik, berita korupsi, mafia hukum dan dunia selebritas.
Saya selalu membayangkan, setiap tahunnya berapa puluh ribu sarjana diwisuda di seluruh Indonesia. Tetapi bersamaan dengan itu selalu muncul kepedihan dan pesimisme mengingat sarjana yang kualitasnya bagus dan mudah memperoleh lapangan kerja yang ideal pasti jumlahnya minoritas. Lebih menyedihkan lagi kalau ternyata lapangan kerja yang dimasuki kulturnya busuk. Bertahun-tahun belajar untuk meraih sarjana agar memperoleh lapangan kerja, namun sesampai di tempat kerja godaannya terlalu berat. Teori dan etika yang dipelajari di sekolah dijungkirbalikkan. Yang jujur malah terpinggirkan. Yang edan yang kebagian.
Begitu pun bagi aktivis mahasiswa yang semasa di kampus menggebu-gebu antikorupsi, ketika bergabung ke parpol atau birokrasi secara drastis berubah perilaku dan gaya hidupnya. Mereka berbuat persis seperti yang mereka kecam ketika sebagai aktivis mahasiswa. Ada juga aktivis mahasiswa yang sudah pintar bermain "proyek" dan ketrampilan itu dilanjutkan setelah jadi sarjana dan aktif di parpol atau birokrasi pemerintahan.
Yang paling membuat kesal tentu saja jika aparat penegak hukum, khususnya polisi, jaksa dan hakim, dengan seenaknya mempermainkan pasal UU dan hukum sebagai medium untuk mengejar uang haram. Langit hitam menutupi kampus. Serasa sia-sia menyelenggarakan pendidikan dengan biaya yang mahal kalau instansi lain malah merusak jerih payah guru dan dosen. Atau memang ada yang salah dalam sistem dan kultur pendidikan kita, sehingga tidak melahirkan pribadi yang tangguh dengan ketrampilan tinggi.
Begitu sulit panitia seleksi mencari komisioner yang handal, sesulit mencari sebelas pemain sepakbola kelas dunia dari dua ratus tiga puluh juta lebih penduduk di Nusantara. Kita cukup puas dan bahagia dapat menikmati Piala Dunia. Hanya sampai di situ saja. Kita mengagumi sebuah negara demokratis, bebas korupsi, dan rakyatnya makmur. Sementara ini, cukup hanya kagum saja dulu.
Oleh: Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Sumber: www.metrotvnews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar