Senin, 05 Juli 2010

Umar Bakri dan Bangkitnya Generasi Akar Rumput

Umar Bakri adalah seorang guru, tipe pegawai negeri kelas teri. Dadanya tipis, tapi lebih tipis lagi dompetnya. Badannya tinggi namun kurang berdaging, karenanya dia kelihatan agak bungkuk. Wajahnya tirus dengan hidung pesek mirip tutup salep. Kakinya tinggi sebelah sehingga jika berjalan agak timpang. Total kondisi guru Umar Bakri kurang gagah!

Tapi jiwanya sangat besar. Setiap hari dia berangkat sangat pagi dan pulang ke rumah sangat sore. Dia habiskan waktunya demi anak-anak didiknya dari golongan akar rumput. Waktu guru Bakri ditempatkan di pedalaman, dia tidak mengeluh. Dia menjalani profesinya dengan suka cita. Setiap berangkat dia harus berjalan menembus hutan sejauh tiga kilometer, kemudian melintasi sungai dengan menggunakan rakit dan berjalan lagi sejauh satu kilometer. Dia tetap enjoy. Dan biasanya, sepanjang perjalanan dia selalu tersenyum membayangkan akan bertemu para siswanya dan kepada mereka nanti dia akan saling berbagi ilmu dan cerita. Bakri orang yang hangat. Jelas, jika dia seorang tentara, dia seharusnya sudah mendapat medali “Anumerta”. Maaf, maksud saya “Purple Heart.”

Tapi hari ini wajah guru Bakri agak murung. Dia sedang galau memikirkan para siswanya yang setiap tahun selalu seperti itu. Rata-rata siswanya kurang gizi, sulit memahami sesuatu dengan baik dan cepat, berhenti sekolah di tengah jalan atau (yang paling sering) tidak memiliki motivasi dalam belajar. Dia sadar bahwa dia, sebagai guru, belum bekerja secara optimal. Tapi, setiap pergantian tahun, murid yang dia terima di kelasnya selalu mirip seperti itu. Seperti sudah dicetak jadi, dan dia tidak pny banyak pilihan.

Sepuluh menit berlalu. Para siswa agak heran juga melihat gurunya diam dan murung. Biasanya setiap masuk kelas guru Bakri sudah mengejutkan mereka dengan berbagai permainan edukasi. Dan biasanya guru Bakri selalu ceria. Para siswa ikutan diam dan mencoba sebisa mungkin untuk ikut-ikutan murung. Bejo, yang duduk paling belakang, tampak yang paling ingin tampak murung. Namun malah terlihat seperti orang sedang mules dan ingin buang air.

Guru Bakri memperhatikan para siswanya itu. Dia trenyuh. Tiba-tiba kedua matanya bersinar. Lalu dia bangkit dari kursinya dan menatap para siswanya dengan tajam. Bibirnya tersenyum penuh arti.

“Anak-anak. Bagaimana menurut kalian jika bulan depan kita ikut lomba tingkat Kecamatan? Para siswa laki akan berlomba sepak bola. Dan para siswi akan ikut lomba menggambar. Pasti akan menyenangkan!”

Para siswa berteriak gembira. Dudung, yang duduk di tengah langsung berjoget-joget. Cuma Bejo yang masih kebingungan. Dia bertanya kepada Andi, “Lomba itu apa sih?” Dengan acuh tak acuh Andi menjawab, “Semacam goreng-gorengan.” Kontan Bejo berteriak, “Horeee!!!!”

Besoknya, setelah mendapat persetujuan dari Kepsek, maka guru Bakri mendaftarkan diri untuk mengikuti lomba ke Kecamatan. Dan mulai hari itu, para siswa selalu berlatih. Siswa-siswa laki berlatih sepak bola di lapangan belakang bersama guru Bakri dan guru olah raga, dan para siswi berlatih menggambar di kelas bersama bu guru Mimi.

Seminggu menjelang hari perlombaan, bu guru Mimi mengumumkan nama siswi yang akan ikut berlomba. Setelah melakukan seleksi dan fit and proper test yang ketat, maka Siska yang dipercaya untuk menjadi wakil SDN 09. Sementara semua siswa laki akan ikut berlomba. Para siswi yang kemudian tidak ikut berlomba dipersiapkan untuk menjadi penggembira. Mereka tidak kesal Siska yang akan maju. Mereka justru mendukung dengan penuh supportivitas.

Inilah hari H. Setelah sebulan berlatih, Siska unggul sebagai juara kedua lomba menggambar tingkat SD di tingkat Kecamatan. Semua bersorak gembira. Orang tua Siska sampai histeris tidak percaya bahwa anaknya bisa menang. Pak Bakri bilang kepada orang tua Siska, bahwa sebetulnya setiap anak punya potensi, tidak perduli mereka dari kalangan kaya atau miskin. Yang penting adalah beri mereka kesempatan. Dan ini buktinya.

Sementara team sepak bola mulai bertanding hari ini yang akan terus bertanding secara bergilir selama satu bulan ke depan. Sulit di percaya, para siswa SDN 09 yang konon kurang gizi itu bisa masuk final! Kata seorang penonton, siswa-siswa SDN 09 jago-jago, persis seperti para pemain sepak bola dari Spanyol.

Seorang ibu bertanya, “Spanyol tuh dimana bu?” Ibu tadi menjawab, “Sebelah RT 03.” Lalu mereka berdua cekikikan. Ini memang pesta rakyat. Semua orang boleh gembira.

Saat final, team sepak bola SDN 09 bermain dengan gembira. Mereka seperti bebas tanpa beban. Bahkan ketika Bejo salah membawa bola dan nyaris melakukan bunuh diri, semua warga SDN 09 hanya mendukungnya, terutama guru Bakri. Baginya, berikan para siswa permainan. Di dalamnya mereka akan belajar. Dan yang namanya permainan, janganlah terlalu diambil serius. Biarkan anak-anak bergembira. Jangan dicaci maki jika mereka salah atau gagal saat bermain.

Bejo sempat dijitak si Andi. Kata Andi, gawang musuh sebelah sana. Mari serang bersama-sama. Kontan Bejo tersadar dan kemudian mengangguk. Maka team SDN 09 menyerang gawang team SDN 01. Bagai air bah, serangan mereka tak terbendung. Dan Gol!

Eko-lah yang menyarangkan bola ke gawang lawan, anak yang bertubuh kecil dan katanya memang seorang penderita cacingan akut.

Semua berloncatan girang. Bapaknya Eko yang menonton di bawah pohon alpukat sampai-sampai harus mengigit-gigit batang pohon saking girangnya. Dia tidak menyangka anaknya yang setiap hari cuma makan nasi aking bisa secepat itu larinya. Dan gocekannya sangat lincah.

Kali ini Dimas memberikan bola kepada Bejo, Bejo mengoper ke Andi, Andi memberikan ke Eko, Eko melakukan shooting…..tapi sayang bola dapat ditepis penjaga gawang SDN 01. Bola yang muntah itu kemudian dikejar oleh Danang dan dia langsung melakukan shooting, dan gol!

Skor 2-0 dimenangkan oleh SDN 09. Piala sebesar Patung Selamat Datang mereka bawa pulang ke sekolah. Baramai-ramai mereka mengarak piala itu dan sepanjang perjalanan mereka bernyanyi dan berjoget. Ini sebuah pengalaman baru bagi mereka, yakni menang dalam sebuah perlombaan.

Tiba di sekolah, Kepala Sekolah sudah menunggu dan kemudian menyambut mereka dengan gembira. Semua kemudian berkumpul di lapangan untuk mendengarkan pidato pak Kepsek.

“Anak-anak..” Kata pak Kepsek. “Kalian benar-benar membuat kita semua bangga. Bukan karena piala yang kalian bawa, tapi karena semangat kalian untuk menunjukkan bahwa kalian mampu berdiri sama tinggi di hadapan orang lain. Itu hal yang sangat besar artinya.”

Para siswa dan guru bersorak. Orang tua siswa yang berada di pinggir lapangan juga ikut bersorak.

“Dan tentu,” Ujar pak Kepsek lagi, “Ini juga karena upaya yang dilakukan oleh Pak Umar Bakri. Karena itu saya sangat berterima kasih kepada pak Guru Bakri.”

Semua bertepuk tangan.

Pak Guru Bakri giliran bicara, “Bapak Kepsek yang kami hormati. Semua usaha hari ini adalah usaha dan kerjasama team. Kita semua yang telah mewujudkannya, terutama para siswa. Saya, bangga kepada kalian. Dan saya sayang kepada kalian…”

Tidak ada sorak sorai dan tepukan. Semua malah menjadi haru.

“Sepanjang hidup saya, saya selalu berjanji untuk menjadi bagian dari kalian. Dan saya bermimpi bahwa kelak kalian akan mewarisi perjalanan panjang negeri ini. Kalian akan memimpinnya. Karena itu, selalu bersikaplah seperti pemimpin. Dan rupanya kalian sudah membuktikannya hari ini. Namun perjalanan masih panjang. Kita akan terus mengukir prestasi sampai nafas tidak ada lagi dari badan kita. Kita akan terus mengukirnya!!”

Siska mendadak maju ke arah guru Bakri sambil membawa bunga.

“Bunga ini sudah kami siapkan untuk bapak.”

Guru Bakri menerimanya dan mengucapkan terima kasih. Dan dia mulai meitikkan air mata saat Siska mengucapkan, “Kami juga sayang kepada pak guru.” Lalu siswa lain turut bergerombol menghampiri. Hampir semua menangis. Menangis karena bahagia.

Pak Kepsek memandang drama itu dari posisinya. Begitu indahnya pembelajaran yang dilakukan secara akrab antara guru dan siswa. Begitu indahnya jika rasa sayang telah melebihi batas-batas profesionalisme bisnis semata. Diam-diam pak Kepsek mengusap air matanya.

Bakri, bukan sekedar sosok yang ada dalam mimpi. Dia ada dan tersebar di balik tembok-tembok sekolah. Dia mengabdi, dia berkarya dan dia yang menjadi lokomotif pembawa gerbong-gerbong perubahan anak bangsa..

Dan para siswa itu, meski mereka cuma dari golongan akar rumput, tapi mereka memiliki kekuatan ang sulit diukur, apalagi jika hanya diukur oleh kenaifan uang. Beri mereka kesempatan, maka akan kita dengar bahwa teriakan mereka sangat nyalang!


Sumber: edukasi.kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar