Rabu, 14 Juli 2010

Menciptakan Anak-anak Bahagia

Kita sering tidak sadari kita berucap dan bertindak senantiasa diperhatikan anak, direkam, bahkan sampai direprodukti (ditiru). Tentu bila ucapan dan perilaku ini masih dalam rentang kseukaan sampai netral. Namun bila apa yang kita ucap dan lakukan bersentuhan dengan rentang netral sampai ketidaksukaan mereka, maka sebenarnya hal itu adalah benih-benih ketidakbahagiaan. Ketidakbahagiaan itu akan tertanam dalam sanubarinya dan menjadi faktor yang mempengaruhi kehidupannya kelak sebagai orang dewasa.

Persoalannya bagaimana kita sedini mungkin mencegah berbagai produk ucapan dan tindakan kita tidak menjadi faktor ketidakkebahagiaan, sebaliknya bagaimana kita menciptakan kondisi yang menciptakan anak yang bahagia kini dan nanti dikehidupannya kelak!

Kita sering kagum kepada Romy Rafael, Uya Kuya, dan sekelompokknya yang mampu menghipnotis seseorang atau sekelompok orang. Namun tidak kita sadari, kita ini ahli menghipnotis anak-anak kita dan murid-murid kita. Dan apakah kita sadari, bahwa kita penghipnotis yang baik! Jika kita ini idola anak, maka prosesi hipnotis ini akan berjalan begitu lancar mempengaruhi anak dan murid kita dan itu berjalan begitu tenang dan terus menerus yang terekam dalam pikiran anak. Rekaman-rekaman ini lama-kelamaan menjadi persepsi, nilai diri, keyakinan, bahkan menjadi chemata atau struktur psikologis yang menjadi arah kehidupan individu!

Menjadi orang tua dan guru bukanlah pekerjaan ringan yang dijalani seperti air mengalir, tetapi justru mengendalikan jalannya air mengalir agar ia tidak sembarang membasahi lahan atau bahkan mengalir tak terkendali yang bisa membawa bahaya banjir disuatu tempat dan kekeringan di tempat lain.

Keluarga adalah sebuah tempat yang kita ciptakan dengan rule of the game yang tersepakati antara ayah dan ibu. Belum lagi jika keluarga itu tinggal dengan keluarga besar atau ikut mertua, maka rule of the game semakin kompleks. Kita membentuk dan memberiwarna manusia baru anak kita dengan tata kelola antara ayah dan ibu. Meskipun ayah yang bertanggungjawab dalam pendidikan, namun faktanya ibu jauh lebih berperan. Lantas bagaimana anak yang jarang bertemu dengan orang tua, ia malah memiliki porsi bergaul dengan pembantu lebih banyak dibanding dengan orang tuanya!

Semakin banyak pihak berperan pemberian warna akan semakin kompleks warna yang harus dimemorizing anak yang membangun kebiasaan-kebiasaan dan terbentuklah karakter-karakter. Perilaku anak mungkin berbeda dengan perilaku ayah dan ibu, manakala rule of the game yang ia cerna jauh lebih dominan yang ia terima dari kakek dan neneknya. Keketatan norma dari ayah ibu sering terkalahkan oleh kelonggaran norma yang dikondisikan oleh kakek dan neneknya. Inilah faktor kenapa anak banyak bermasalah jika mengikuti kakek nenek yang lebih memanjakan cucu dibanding orang tuanya. Sementara pembantu menjadi kurang member warna, karena sang ibu telah melatih pembantu bagaimana memberi warna anak-anaknya.

Warna terang, alur jelas, menjadikan anak terbiasa mengikuti rule of the game, sebaliknya jika warna pola asuh tidak jelas, saling bertentangan, bahkan tumpang tindih dan menjadikan ketiadaan pola atau pola yang tidak jelas menjadikan anak terbangun menjadi manusia yang tidak mengikuti suatu pola atau kacau. Dan itu membangun dirinya akan menerapkan pada dirinya kelak ketika ia sudah menjadi dewasa.

Untuk itu perlu persiapan matang sebelum membangun kerajaan baru, kita harus siapkan berbagai norma dan sebaiknya norma yang tidak saling bertentangan atau tumpang tindih dan malah menghapus pola-pola dan menjadi ketiadaan pola dan membuat anak berada pada dunia Tanya yang tak berjawab dan ini awal cetak biru yang tidak membahagiakan!

Orang tua adalah model, guru adalah model, dan setiap orang tua adalah model, demikian masyarakat adalah model. Dan kita selayaknya mempunyai kesepakatan model!


Sumber: edukasi.kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar