Selasa, 29 Juni 2010

Sexting, Peterporn, dan Anak

Jessica Logan (18) bukan siapa-siapa dan tak dikenal siapa-siapa. Hanya seorang remaja SMA biasa di Amerika. Namun, pada Juli 2008 Jessie membuka mata dunia tentang bahaya sexting (mengirimkan adegan seks). Jessie yang ketika itu berada di tingkat akhir Sycamore High School tewas bunuh diri.

Sebabnya, foto telanjang Jessie yang semula hanya untuk konsumsi sang pacar, belakangan disebarkan ketika mereka putus. Bahkan, foto tersebut beredar hingga ke tiga negara bagian di Amerika Serikat. Kenyataan ini membuat Jessie merasa amat malu, terhina, tertekan, dan sekaligus menderita.

Apalagi teman-teman putrinya banyak yang melakukan bullying dengan menjulukinya sebagai pelacur ataupun wanita murahan.

Sama halnya dengan orangtua Jessie, Cynthia Logan. Jessie adalah anak tunggal. Maka kepergiannya begitu diratapi sang ibu. Cynthia mengatakan bahwa dia amat kecewa dengan para orangtua yang membiarkan saja anak-anaknya untuk melakukan apa pun dan mengatakan apa yang mereka inginkan.

Sayangnya sepertinya Cynthia masih akan terus kecewa karena fenomena sexting ternyata telah begitu mewabah di dunia. Termasuk di Indonesia. Kasus peredaran video “Ariel-Luna Maya-Cut Tari” atau beken dengan istilah “Peterporn” adalah salah satunya.

Peterporn menjadi fenomena karena mereka adalah populer dan tokoh publik. Bagaimana dengan mereka yang bukan artis dan bukan tokoh publik? Kendati video porno tersebut konon tidak disebarkan oleh orang yang mirip dengan ketiga artis itu, namun itu adalah sexting. Bisa dilacak, barangkali, tanpa harus melakukan razia, di Ponsel maupun email-email dan situs-situs internet yang pernah diakses anak-anak Indonesia.
Sebagai contoh, dengan penelaahan sederhana melalui www.google.com/trends, tampak jelas bahwa hit-hit untuk konten porno tertentu memang dipimpin oleh para netters Indonesia.

Peri Umar Farouk (2009) mensinyalir bahwa banyak kasus peredaran pesan, gambar, dan video berkonotasi seksual yang belum terungkap di Indonesia. Dia mengatakan, di tahun 2009 terdapat sekitar 700 mini video porno asli remaja Indonesia dan ribuan gambar yang telah beredar di ruang maya. Umumnya adalah hasil sexting yang sengaja ataupun tidak sengaja bocor ke publik yang lebih luas melalui berbagai media elektronik.

Tentang Sexting

Sexting yang berasal dari kata sex dan texting mungkin bisa disebut terminologi baru dalam dunia komunikasi Indonesia. Dia adalah suatu aktivitas mengirimkan pesan berupa teks kepada orang lain dengan harapan dapat melakukan aktivitas seksual di kemudian hari. Pengertian lain sexting adalah suatu terminologi yang dibuat oleh media untuk menjelaskan fenomena pengiriman atau penyebaran pesan-pesan seksual apakah berupa tulisan, gambar, dan video (www.urbandictionary.com).

Pengertian lain adalah gejala mengambil foto atau video bugil dengan menggunakan kamera Ponsel, kemudian menyebarkannya. Beberapa kalangan lebih luas lagi mengartikan sexting termasuk penyebarannya melalui teknologi internet, seperti melampirkan di dalam email atau membubuhkannya sebagai profil atau di galeri dalam situs jejaring sosial (social networking), misalnya situs-situs: Myspace, Facebook, Multiply, Friendster, Hi5, dan lain-lain (Peri Umar Farouk, 2009).

Di luar kasus Peterporn, banyak lagi kasus lain yang menimbulkan kehancuran yang sama. Kasus Edison Chen misalnya. Aktor muda Hongkong ini gemar merekam adegan seksnya dengan para artis cantik Hongkong seperti Gillian Chung, Bobo Chan, Cecilia Cheung, dan banyak lagi.

Sampai suatu waktu senjata makan tuan. Film-film yang direkam dalam laptopnya tersebut berpindah ke ruang publik ketika sang laptop direparasi. Peredaran video-video tersebut begitu masif. Sehingga di tahun 2008 ia menjadi trending topic di google.com China dan menjadi tokoh nomor dua terpopuler di Hongkong setelah Barrack Obama. Maka, Edison-pun lari ke Amerika dan menyangkal habis-habisan keterlibatannya. Namun, alat bukti terlalu kuat.

Akhirnya, dia mengaku dan meminta maaf. Edison Chen boleh menyesal namun karier telanjur hancur. Dia pun meninggalkan dunia keartisannya di Hongkong.

Perlindungan Anak

Yang kini patut jadi perhatian, merekam dan menyebarkan aktivitas seksual–entah dilakukan yang bersangkutan ataupun melalui tangan orang lain– yang mestinya amat pribadi, kini menjadi konsumsi publik. Termasuk mata-mata anak-anak Indonesia. Satu institusi yang paling diuntungkan tentu media.

Televisi ramai-ramai memberitakan kasus tersebut, penonton antusias, acara infotainment menjadi laris manis, rating meninggi. Dan tentu saja, saat-saat demikian banyak dilirik pengiklan. Situs-situs internet juga begitu, tiba-tiba traffic pengunjung melonjak tajam. Tapi untuk anak-anak Indonesia, Peterporn dan maraknya sexting ini jelas bukan berkah. Lebih layak disebut musibah.

Berbeda dengan Jessie Logan yang kemudian bunuh diri karena merasa malu, tak jelas apakah para pelaku dan penyebar sexting di Indonesia tersebut juga merasa malu dan tertekan. Sexting mungkin fun, flirty, and sexy, namun berapa jiwa lagi yang harus dikorbankan? Berapa banyak lagi jiwa yang karier dan karakternya harus hancur? Berapa banyak lagi anak-anak yang kini “mirip dewasa” karena maraknya persebaran sexting tersebut?

Anak-anak di Indonesia bisa merupakan pelaku, penyebar, penikmat, ataupun sekadar penasaran ingin melihat sexting. Namun, sejatinya mereka semua adalah korban. Masa anak-anak yang mestinya dinikmati dengan bermain, berolahraga, belajar bersama, bergembira ria, bisa terpuruk menjadi lamunan panjang, kesedihan dan frustrasi mendalam. Terkurung di bilik warnet, asyik-masyuk dengan konten di Ponsel, hingga terkurung di terali besi akibat pelecehan seksual yang mereka lakukan.

Ini nyata, kejahatan kedua terbanyak yang dilakukan para Napi Anak di Lembaga Pemasyarakatan Pria Tangerang (Data Mei 2010) adalah kejahatan yang terkait dengan seksual. Maka, kini saatnya melakukan pendidikan media (media literacy) untuk anak-anak Indonesia. Supaya baik orangtua maupun anak dapat memilah-milah mana media yang sehat untuk anak dan mana yang tidak.

Kedua, mendorong media untuk turut berperan serta dalam perlindungan anak dari konten dalam media maupun lembaga penyiaran yang berbahaya bagi anak-anak dan remaja (sebagaimana mandat dari UU Perlindungan Anak tahun 2002, UU Pers tahun 1999 dan UU Penyiaran tahun 2002).

Ketiga, meningkatkan budaya malu, yang sudah semakin hilang dari negeri ini. Karena ketika semua orang sadar dan tinggi rasa malunya, maka tak perlu peran hukum negara dan kontrol sosial masyarakat untuk, fenomena sexting bisa berkurang dengan drastis. Semoga. (oke)


Oleh: Heru Susetyo, Dosen Hukum Perlindungan Anak Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Sumber: Harian Joglosemar Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar