"Berikan aku sepuluh pemuda maka akan kuguncang dunia!” Begitu tantangan Bung Karno yang bergema dalam pidatonya berjudul Jangan Sekali-sekali Meninggalkan Sejarah (Jasmerah). Presiden pertama Republik Indonesia itu sangat peduli terhadap keberadaan pemuda sebagai pilar utama berdiri dan berlangsungnya kehidupan berbangsa dan ber-Tanah Air. Bung Karno sangat sadar kedahsyatan peranan pemuda dalam proses perubahan sosial Indonesia. Sejarah telah membuktikan munculnya gereget pemuda seperti gerakan Budi Utomo 1908 dan Kongres Pemuda 1928.
Lalu, apa yang akan menjadi fondasi penting untuk menjawab tantangan Sang Proklamator? Di sinilah nilai urgensinya pendidikan. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Pendidikan Nasional menyebutkan: tujuan Pendidikan yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Potensi peserta didik dikembangkan menjadi manusia ideal yakni yang bertakwa, berakhlak mulia, kreatif, demokratis, dan bertanggung jawab. Kemudian timbul pertanyaan, apakah model terbaik yang dapat disuguhkan dalam dunia pendidikan kita? Jawabnya adalah pendidikan berkarakter bangsa.
Kapan pendidikan berkarakter bangsa sebaiknya dimulai? Jawabnya adalah sejak usia dini, yakni pada Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Membentuk karakter bangsa dengan cara membentuk karakteristik kepribadian yang dimulai dari usia emas atau golden age (1-8 tahun).
Keprihatinan yang mendalam adalah betapa kita kadang sering mengabaikan atau kehilangan momentum perkembangan anak-anak, di mana otak mereka berkembang sangat pesat. Peran orangtua digantikan oleh media, berupa tontonan yang kurang mendidik. Siaran televisi yang notabene adalah benda mati telah beralih menjadi orangtua bahkan guru bagi mereka. Dengan turun langsung “menyentuh” mereka, paling tidak, mengarahkan mereka kepada karakteristik budaya bangsa adalah hal yang manusiawi.
Ratna Megawangi, pakar pendidikan, mengatakan bahwa dalam konsep Pendidikan Holistik terdapat sembilan pilar karakter yang ingin dibangun. Kesembilan pilar itu adalah karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaanNya, kemandirian dan tanggung jawab, kejujuran atau amanah, diplomatis, hormat dan santun, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong-royong atau kerja sama, baik dan rendah hati, dan karakter toleransi kedamaian dan kesatuan (Indonesia Heritage Foundation).
Sedangkan Prof Djohar, pakar pendidikan yang juga Rektor Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (2003:212), mengemukakan bahwa pembentukan karakter bangsa dapat dilakukan melalui pendidikan profetik. Yaitu pendidikan yang kontekstual atau transformatif; vertikal dan horizontal; menempatkan institusi pendidikan di tengah-tengah pergaulan masyarakat luas, baik lokal maupun global; memiliki muatan pendidikan yang seimbang antara kepentingan dan pengalaman. Bisa disimpulkan bahwa kedua pakar tersebut di atas mengemukakan pendidikan holistik berbasis karakter.
Tidak perlu kurikulum khusus untuk pendidikan berkarakter bangsa. Hanya dibutuhkan sebuah konsep dalam menyusun pola agar mencapai sasaran. Pada jenjang sekolah dasar dan tingkat selanjutnya bisa mengarah kepada Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Dituntut peran orangtua atau keluarga dan lingkungan yang mendukung. Di sinilah letak celah yang selalu dapat kita tembus bahwa untuk mewujudkan pendidikan berkarakter bangsa tidaklah perlu kurikulum khusus. Sinyal ini dapat diambil kesempatan oleh direktorat yang berkompeten, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pendidikan NonFormal/Informal. Perlu diketahui bersama bahwa PAUD berada di bawah naungan Dirjen PNFI.
Berkaitan dengan kinerja lembaga tersebut maka patut rasanya direnungkan pendapat Prof Dr Edi Sedyawati dalam ke-Indonesiaan dalam Budaya, (Jakarta: Wedhatama Widya Sastra, 2008). Dia mengatakan bahwa pendidikan informal tidak diikat oleh batas-batas waktu maupun tingkatan (dan tempat) dan tujuannya adalah secara umum memberi informasi ataupun menanamkan watak, moral, serta nilai-nilai budaya atau keagamaan.
Meningkatkan Produktivitas
Hal demikian bisa dimulai dari pendidikan anak usia dini. Dalam laporan tahun 2005, investasi pendidikan yang dilakukan sejak usia dini, ternyata bisa meningkatkan pendapatan (produktivitas) 13 kali lebih besar dibanding anak-anak yang tidak mendapatkan PAUD. (Saiful Anam, Wajatri 2007 dalam Taman yang Paling Indah).
Sebuah penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa anak-anak yang mengikuti program pendidikan pra-TK memiliki peluang lebih kecil untuk putus sekolah, tinggal kelas atau melahirkan di luar nikah. Pada usia 21 tahun, jumlah anak-anak peserta pra-TK yang melanjutkan ke pendidikan tinggi selama empat tahun kemungkinannya dua kali lebih besar dari pada kelompok kontrol. Lulusan Chicago’s Child-Parent Center memiliki kecenderungan lebih besar untuk menyelesaikan SMU dan lebih jarang ditahan daripada mereka yang tidak mengikuti program ini (BusinessWeek 19-26 Agustus 2002).
Mendidik anak-anak PAUD dengan memperkenalkan budaya bangsa, adalah langkah awal bagi lahirnya generasi muda yang tangguh, tidak cengeng, kreatif, berbudi pekerti luhur, cinta damai, mencintai Tanah Air dan bangsa. Kenalkan mereka dengan budaya lokal dan kearifan! Bagaimanapun mengajak mereka berbudaya dengan mengenalkan pada seni, misalnya, akan melembutkan hati.
Dimulai dari PAUD, tidaklah mustahil, bahwa di masa mendatang, kita akan melahirkan generasi bangsa yang tangguh dan siap berlaga, bertarung, setara dengan bangsa-bangsa lain yang terlebih dahulu maju. Sehingga apa yang menjadi cita-cita Sang Proklamator, Bung Karno, akan menjadi nyata. Bisa jadi tidak hanya dengan sepuluh pemuda, ratusan, bahkan ribuan pemuda Indonesia akan mengguncang dunia.
Oleh: Astuti J Syahban, Ibu rumah tangga pemerhati PAUD, penulis buku Asa, Malaikat Mungilku
Sumber: Harian Joglosemar Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar