Minggu, 03 Mei 2009

Dipersoalkan, Pengawasan UASBN Tingkat SD oleh Polisi


JAKARTA (Suara Karya): Pengawasan Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) di tingkat SD sebaiknya tidak melibatkan aparat kepolisian. Selain melanggar Standar Operasional Prosedur (SOP) yang ditetapkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), kehadiran aparat keamanan dikhawatirkan membuat anak-anak SD ketakutan.

"UASBN yang pertama kali dilakukan tahun 2008 ini seharusnya tidak disertai dengan tindakan pengamanan yang berlebihan," kata Direktur Pembinaan TK-SD Departemen Pendidikan Nasional, Mudjito AK, saat melihat dari dekat pelaksanaan UASBN hari pertama, Selasa (13/5), di SDN Tebel 1, Gedangan, Sidoarjo.

Pasalnya, lanjut Mudjito, secara psikologis anak-anak SD usia 11-12 tahun ini belum layak mendapatkan pengawasan superketat layaknya orang dewasa. "Apalagi kalau aparatnya menggunakan seragam, tentunya akan membuat anak-anak ketakutan," kata Mudjito AK tandas.

Dalam peninjauan di SDN 1 Tebel, Mudjito sempat bertemu dengan petugas kepolisian dari Polres Gedangan yang memang ditugaskan berjaga-jaga di seputar sekolah yang hari itu melaksanakan ujian untuk 60 siswa SD kelas VI.

Hal senada dikemukakan pemerhati masalah anak yang juga mantan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Giwo Rubianto Wiyogo, yang dihubungi lewat telepon, kemarin. Pengawasan terhadap siswa SD peserta UASBN telah melanggar hak asasi anak-anak.

Solusi atas kekhawatiran mengenai adanya kebocoran soal tidak harus dilakukan dengan menyertakan aparat keamanan di lokasi ujian. "Apalagi kalau sampai memeriksa tas atau saku anak-anak, apakah mereka membawa hanphone atau tidak, hal itu menurut saya terlalu berlebihan. Anak-anak kok diperlakukan seperti seorang kriminal," ucap Giwo.

Menurut dia, pemerintah seharusnya melakukan pembenahan atas sistem pelaksanaan ujian supaya jangan sampai terjadi kebocoran. Tindakan pengawasan superketat di waktu pelaksanaan ujian, apalagi di tingkat SD, hanya menyelesaikan masalah di tingkat hulu.

"Yang terpenting justru bagaimana supaya soal jangan sampai bocor. Pengawasan superketat justru bagi percetakannya, pengawas ujiannya, guru-gurunya atau kepala sekolahnya. Bukan kepada anak-anak kecil itu," kata Giwo.

Sementara itu, Ketua BSNP Prof Djemari Mardapi, yang dihubungi secara terpisah kemarin, mengatakan, pihaknya memaklumi jika ada kekhawatiran masyarakat atas kebocoran jawaban UASBN. Itu dikarenakan tahun ini pertama kalinya dilakukan ujian nasional untuk tingkat SD.

"Namun yang harus dipahami bahwa UASBN ini bukanlah satu-satunya penentu kelulusan. Tetap saja penentunya adalah sekolah. Jadi UASBN ini adalah proses kejujuran dari rangkaian hasil belajar anak selama enam tahun. Kalau tidak jujur, tentunya akan sangat merugikan," ujar Djemari.

UASBN, menurut dia, sama seperti ujian yang diberikan di tingkat sekolah. Hasilnya pun hanya akan melengkapi tanda kelulusan bernama Surat Keterangan Hasil Ujian (SKHU) yang diterbitkan pihak sekolah.

Sementara itu, dari Solo dilaporkan, sejumlah SD di kota tersebut menambahkan jam belajar agar siswanya sukses menghadapi UASBN yang baru pertama kali dilaksanakan. Seperti di SDN Jagalan No 81 Jebres, sekolah tersebut memberikan tambahan pelajaran satu jam sebelum ujian dimulai dan 90 menit seusai ujian berlangsung.

Sebelum ujian berlangsung, yakni mulai pukul 06.30 hinga 07.30 WIB, siswa-siswa mendapatkan jam pelajaran tambahan di ruang transit," kata Kepala Sekolah Giyarni, Selasa (13/5).

Tidak cukup hanya dengan menambah jam pelajaran, di sekolah tersebut juga diberlakukan sistem karantina. Yakni, seusai magrib hingga pukul 21.00 WIB para siswa harus belajar di sekolah. Sehingga, dalam proses belajar mereka lebih terpantau.

Sementara itu, di Semarang, karena diduga terlibat aksi pencurian sepeda motor di Desa Rejosari Karangawen, Kabupaten Demak, seorang siswa kelas VI SD berinisial AN (14) terpaksa mengikuti UASBN di tahanan Mapolsek Karangawen, Selasa (13/5). Menurut Kapolres Demak AKBP Eko Indra HS, yang didampingi Kapolsek Karangawen AKP Suleman, AN tersangkut urusan polisi karena diduga membantu aksi pencurian sepeda motor Honda Supra H-3420-AN yang dilakukan SDK (30), warga Bumirejo Karangawen. Anak ketiga dari empat bersaudara tersebut mengaku membantu pelaku mendorong motor curian hingga ke rumah tersangka karena takut dihajar. (Ant/Pudyo S/Endang K/Tri Wahyuni)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar