Senin, 04 Mei 2009

Memilih Sekolah Terbaik


SUDAH menjadi rutinitas setiap memasuki tahun akademik/ajaran baru menjadi momentum yang paling "menyibukkan" khususnya bagi para orang tua yang sedang memilih sekolah untuk putra-putrinya. Kesibukan tersebut tidak saja karena harus bolak-balik mengantarkan putra-putrinya mendaftar, akan tetapi lebih dari itu. Di kalangan orang tua yang sangat perhatian dengan kelangsungan pendidikan putra-putrinya momentum pendaftaran sekolah menjadi "pergulatan" tersendiri dalam menimbang plus-minus sekolah yang akan dituju.

Bahkan tidak jarang karena keinginan orang tua yang berlebihan mengharapkan putranya menjadi "orang" dengan profesi tertentu, seringkali memaksakan kehendak dengan memilihkan sekolah melalui cara apa pun. Padahal dari aspek keinginan dan kemampuan serta bakat anak rasanya terlalu berat mengikuti selera orang tuanya.

Pertanyaannya, bagaimanakah pertimbangan prinsipil yang seharusnya dikedepankan oleh para orang tua dalam menentukan pilihan sekolah bagi putra-putrinya? Sedangkan tantangan ke depan semakin membutuhkan stamina yang prima agar mampu survive.

Penciptaan Manusia

Manusia diciptakan sebagai khalifah (wakil) Allah di muka bumi dan hamba Allah yang seluruh usahanya diabdikan hanya kepada-Nya. Skenario penciptaan manusia telah sedemikian rupa digariskan Allah, mulai dari bentuk fisiknya yang sangat sempurna, sampai struktur rohaniahnya.

Kesempurnaan bentuk fisik secara empirik dan paling sederhana bisa dibuktikan ketika tubuh manusia mampu dilenturkan, sehingga bisa meniru bentuk atau gaya makhluk lain yang kasat mata.

Sementara aspek rohaniahnya, manusia dibekali potensi spiritual di usia yang sangat dini melalui sebuah dialog. Dialog ini oleh Nurcholish Madjid sering diistilahkan dengan perjanjian primordial. Sebuah kontrak pribadi antara Sang Khalik dengan makhluk-Nya melalui penegasan kesaksian akan Allah sebagai Tuhan seluruh semesta alam.

Manusia sebagai makhluk yang sempurna justru akan nampak kesempurnaannya ketika dia beriman dan beramal saleh (Qs. At-Tin: 4). Inilah sesungguhnya refleksi dari potensi jasmaniah dan rohaniah yang diberikan Allah pada manusia. Jika manusia tidak mampu merefleksikan kedua potensi ini, maka dia menjadi makhluk yang rendah (Qs. At-Tin: 5) dan merugi (Qs. Al-'Ashr: 2).

Tentu saja manusia tidak pasif menunggu datangnya kemampuan untuk merefleksikan potensinya. Harus ada upaya aktif dari untuk melatih dirinya menemukan dan merefleksikan potensi itu. Upaya melatih diri ini dilakukan melalui pendidikan. Pertanyaannya, pendidikan seperti apa yang harus dilalui agar potensi kemanusiaan tumbuh dan berkembang sesuai dengan petunjuk dan kehendak Allah?

Pendidikan Integratif

Pendidikan merupakan wahana yang cocok bagi pengembangan strategi kultural yang lebih menekankan pada perubahan cara berpikir dan perilaku individu. Pendidikan juga mempunyai misi untuk menyiapkan manusia dan masyarakat religius, demokratis, memiliki kemampuan untuk memahami, menghayati, mengamalkan, dan mengembangkan secara terus-menerus nilai-nilai budaya yang mengutamakan kemandirian dan keunggulan dalam kehidupan bermasyarakat, serta menjaga persatuan dan kesatuan bangsa (Jalal dan Supriadi, 2000: 62).

Konsekuensinya, pengembangan pendidikan tidak saja harus memiliki relevansi dengan kebutuhan dan budaya manusia, akan tetapi yang lebih penting dari itu adalah penanaman fundamental nilai sebagai dasar pembentukan kepribadian anak didik, menjadi faktor yang menentukan di tengah gelombang budaya yang cenderung permisif. Nantinya pada praktiknya tidak terjadi kesenjangan budaya dan pengetahuan yang berakibat pada hasil pendidikan yang lemah stamina spiritualnya, belum siap pakai, gagap teknologi, dan idiom lain yang memiliki konotasi indikator kegagalan proses pendidikan.

Bertolak dari hal tersebut, maka input pendidikan akan dihadapkan pada tantangan yang tidak ringan, sehingga dibutuhkan pembekalan pendidikan yang secara integratif menggabungkan kekuatan iman, ilmu dan amal.

Sayangnya dalam konteks kekinian, masyarakat memiliki responsi yang cenderung kurang tepat. Responsi ditandai dengan bermunculannya sekolah unggulan berbiaya mahal dengan menawarkan sejumlah fasilitas yang lebih mendukung pada proses belajar-mengajar. Ironisnya, sebagian menunjukkan sekolah unggulan lebih banyak diukur dengan parameter pencapaian aspek kognitif saja, misalnya hasil Ebtanas/UAN, dan semacamnya, sehingga membuka peluang munculnya persepsi masyarakat terhadap sekolah unggulan yang lebih mempertimbangkan aspek perolehan NEM.

Hal ini nampak secara empirik bisa dicermati setiap tahun ajaran baru para orang tua siswa rela untuk berjam-jam antri memburu sekolah yang terlanjur dianggap favorit.

Persepsi seperti inilah yang pada gilirannya menimbulkan kecenderungan masyarakat lebih banyak mengejar ketercapaian aspek kognitif dalam proses pendidikan anaknya. Kebanggaan orang tua siswa lebih banyak muncul jika anaknya mencapai prestasi akademik yang tinggi. Padahal bila dicermati, akan tidak adil rasanya jika parameter keberhasilan sekolah unggulan hanya dilihat dari NEM para lulusannya. Bukankah input pendidikan yang bersekolah sudah terseleksi sedemikian rupa? Mulai dari NEM, status sosial orang tua siswa yang lebih memungkinkan peserta didik memperoleh materi pendidikan di luar sekolah dalam bentuk les privat, dan fasilitas lain yang mendukung proses belajar anak. Sedangkan bagi sekolah "biasa" memperoleh input pendidikan hanya dari "muntahan" sekolah-sekolah unggulan yang tidak lolos seleksi. Praktis para siswa yang mendaftar adalah siswa dengan NEM yang lebih rendah.

Oleh karena itu, jika keberhasilan sekolah diukur dengan parameter NEM, rasanya akan lebih adil, jika evaluasinya berawal dari berapa nilai rata-rata NEM para siswa ketika masuk ke suatu sekolah, dan berapa nilai rata-rata siswa bersangkutan ketika lulus dari sekolah tersebut.

Demikian juga pendekatan pendidikan yang digunakan tidak semata-mata pada pendekatan hasil, akan tetapi juga pendekatan proses, sehingga jika diperoleh hasil yang sama dari nilai rata-rata NEM input dan out put-nya antara sekolah unggulan dan non-unggulan, maka dari perspektif proses pendidikan, diferensinya tidaklah signifikan. Sebaliknya jika sekolah non-unggulan berhasil mengangkat nilai rata-rata NEM dari input semula, meskipun nilai rata-rata NEM out put-nya lebih rendah dari sekolah unggulan, maka dari perspektif proses pendidikan justru sekolah non-unggulan lebih berhasil.

Sekali lagi pertanyaannya mengapa keberhasilan sekolah hanya diukur dengan perolehan NEM yang tinggi? Sementara ada sekolah yang berhasil menanamkan nilai-nilai religius kepada para siswanya dengan membiasakan diri melakukan rutinitas ritual (ibadah - dalam term Islam).

Penulis pernah menjumpai para orang tua siswa di salah satu SD swasta Islam yang secara tulus mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada para guru yang telah membimbing anaknya untuk membiasakan shalat tahajud (shalat sunah yang dilakukan pada sepertiga malam terakhir). Pembiasaan seperti ini tidak berhenti sebatas "perintah formal" dari sekolah, akan tetapi yang mengharukan bagi penulis adalah pengakuan para orang tua/wali siswa yang merasa "malu" karena anaknya yang nota bene masih kelas enam SD rajin menunaikan shalat tahajud, sementara para orang tuanya tidak melakukan, atau setidak-tidaknya belum terbiasa.

Kebanggaan orang tua seperti inilah yang bagi penulis merupakan kebanggaan yang balance. Kebanggaan karena anaknya tidak hanya cerdas intelektual, akan tetapi juga memiliki kecerdasan spiritual.

Oleh karena itu proses pendidikan haruslah sebuah proses yang integral. Tidaklah beralasan jika pencapaian akhlak dan kepribadian siswa yang didasari nilai-nilai religius lebih cenderung menempati posisi "subordinat". Sementara proses pendidikan semestinya mengakomodasi kebutuhan dasar yang berdimensi jasmani dan rohani.

Pilihan Pendidikan

Dalam tataran praksisnya proses pendidikan berorientasi pada penguatan tiga aspek, yakni iman, ilmu dan amal. Dalam bahasa agama (Islam) diharapkan out put pendidikan adalah manusia yang berpredikat insan kamil. Pengertian insan kamil secara sederhana dapat dimaknai sebagai manusia yang tidak mendikotomikan antara kehidupan dunia-akhirat, jasmani-rohani, agama-politik, individu-masyarakat, akan tetapi keseluruhan kehidupan manusia di dunia akan memiliki implikasi pada kehidupan di akherat kelak.

Dalam perspektif pendidikan Islam, maka yang menjadi pusat perhatian adalah bagaimana membangun generasi yang memiliki dasar pengetahuan dan keterampilan (iptek) yang dijiwai dengan nilai-nilai quraniyah, sehingga penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi pada gilirannya merupakan refleksi dari tugas kemanusiaan sebagai khalifah (Qs. 2:30) yang semuanya diorientasikan pada pengabdian (ibadah) kepada Allah (Qs. 51: 56).

Bertolak dari pemikiran di atas, maka upaya pengembangan pendidikan antara lain, pertama, merumuskan visi dan misi yang jelas sebagai koridor bagi perencanaan pendidikan ke depan, yang berorientasi pada perwujudan hari depan yang lebih baik (al-hadits). Visi dan misi disusun dengan tetap bertumpu pada parameter qurani dalam membentuk generasi khaira ummah (masyarakat utama) yang mengabdikan seluruh amanat kekhalifahan (khalifatullah), yang teraktualisasi dalam wujud kekaryaan yang bermanfaat bagi kemaslahatan, kedamaian, kebahagiaan, dan kesejahteraan manusia, tanpa terkecuali alam semesta (rahmatan lil'alamin).

Kedua, pengembangan sumber daya manusia yang memiliki komitmen kuat terhadap kemajuan pendidikan, pengelolaan proses belajar-mengajar yang mengacu pada pusat pembelajaran. Proses pembelajaran ini membawa konsekuensi pada pengembangan sumber daya insani yang berkualitas yang mampu menjadi pengelola kelas yang efektif menuju optimalisasi hasil belajar secara keseluruhan.

Dalam kerangka pengembangan pendidikan sebagaimana digambarkan di atas, peluang untuk memberikan ruang gerak bagi keterlibatan masyarakat dalam memajukan pendidikan sangat terbuka lebar. Terlebih era otonomi daerah yang inhern dengan wacana desentralisasi pendidikan semakin memungkinkan masyarakat memberikan "warna" dalam proses pendidikan di daerahnya .

Peran orang tua dan masyarakat dibutuhkan sebagai pengontrol sekaligus sebagai kelanjutan dari pendidikan yang diperoleh di sekolah. Hal ini penting karena bila dihitung secara matematis, dalam sehari selama 24 jam, siswa lebih banyak menghabiskan waktunya di tengah-tengah keluarga dan masyarakat. Oleh karenanya sangat sulit diterima bila seluruh tanggung jawab pendidikan akan terpusat pada sekolah.

Pada akhirnya kita akan kembali dihadapkan pada pilihan untuk secara tegas menolak atau menerima sistem pendidikan yang secara sadar atau tidak kita telah ikut mengondisikan dalam struktur yang formulasinya lebih banyak berorientasi pada pengembangan aspek kognitif. Oleh karena itu dibutuhkan keyakinan bagi para orang tua yang akan memberikan pendidikan bagi anak-anaknya, terutama dalam menentukan pilihan sekolah.

Keyakinan dimaksud tentu keyakinan akan kemampuan sekolah dalam menjaga keimanan dan akidah anak-anak kita. Rasanya percuma, bila prestasi akademik anak-anak kita sangat tinggi, jika tidak diimbangi dengan prestasi spiritual yang "mewujud" melalui perilaku kita yang tunduk dan patuh berdasarkan ajaran-ajaran Allah.

Catatan-catatan di atas kiranya penting untuk direnungkan, ketika pada awal tahun pelajaran baru ini kita selaku orang tua sangat disibukkan dengan pilihan sekolah anak-anak kita, dari mulai TK sampai dengan PT. Semoga Allah senantiasa membimbing dan memberikan petunjuk pada kita sehingga kita tidak salah pilih untuk menentukan kelangsungan pendidikan bagi anak-anak kita.


Oleh:
Nuridin S.Ag M.Pd
Sekretaris Eksekutif Bidang Pendidikan YBWSA, Sekretaris BMPS Kota Semarang

Sumber: www.suaramerdeka.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar