Senin, 04 Mei 2009
Dongkrak Gengsi di Sekolah Internasional
ORANGTUA ingin memberikan pendidikan terbaik bagi anaknya. Biaya bukan masalah. Terutama saat memilih sekolah internasional yang mendongkrak ilmu dan gengsi.
Tuntutlah ilmu hingga ke negeri China. Pameo tersebut akan diamini orangtua yang peduli pada dunia pendidikan dan masa depan buah hatinya.
Kepedulian itu pula yang membuat banyak orangtua tidak ragu sedikit pun untuk memilihkan sekolah terbaik bagi anak-anaknya. Termasuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah bertaraf internasional, walaupun harus merogoh kantong lebih dalam.
Alasannya sangat beragam. Mulai keprihatinan terhadap kualitas pendidikan Indonesia yang tergolong rendah. Hingga keinginan untuk memberikan masa depan yang lebih baik bagi anak-anaknya. Apa pun alasannya, hal itu masuk akal mengingat peringkat pendidikan Indonesia di Asia Tenggara menduduki peringkat terakhir.
Padahal dari data Pusat Informatika Balitbang Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1999 mengungkap peningkatan yang cepat di dunia pendidikan Indonesia secara kuantitatif. Terutama pada tiga dasawarsa terakhir.
Pada tahun 1965 jumlah SD hanya sebanyak 53.000 lebih, dengan jumlah murid dan guru hampir 12 juta orang. Kemudian, dalam dasawarsa kedua, jumlah SD meningkat hingga 300.000. Jadi, dalam waktu sekitar 30 tahun jumlah SD naik sekitar 300 persen.
Sayangnya, perkembangan jumlah sekolah tersebut tidak diikuti dengan peningkatan kualitas pendidikan yang sepadan. Karena itu muncul berbagai ketimpangan pendidikan di tengah-tengah masyarakat. Yang sangat menonjol adalah kesenjangan kualitas output pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan.
Selain itu, terjadi juga fenomena kesenjangan kualitas pendidikan antardesa dan kota, antar-Jawa dan luar Jawa, antarpenduduk kaya dan miskin.
Kondisi itu menjadi keprihatinan tersendiri seorang wanita karier yang sehari-hari bekerja sebagai pejabat Hubungan Massa Lippo Karawaci, Jeanny Wullur. Diamenuturkan, sebagai orangtua ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya, termasuk dengan memilihkan sekolah dan pendidikan.
"Secara basic, orangtua ingin yang terbaik bagi anak. Namun, kalau memilihkan sekolah, saya sebagai orangtua tentu saja akan mengukur kemampuan, baik itu materi hingga kemampuan anak," kata Jeanny.
Dia menambahkan, kini banyak sekolah internasional menawarkan kualitas terbaik dengan fasilitas dan sarana belajar ditambah pendidik berkualitas lulusan universitas luar negeri dan keberadaan laboratorium yang lengkap. Namun, Jeanny menilai, sebagai orangtua di saat sekarang haruslah pintar-pintar memilihkan sekolah.
"Selain biaya sekolah internasional itu sangat mahal, jadi kalau tidak dipikirkan matang-matang dan diukur kemampuan, lebih baik mencari sekolah biasa yang berkualitas," ujarnya.
Selain itu, sekolah internasional sering kali mensyaratkan uang sekolah dibayarkan dengan menggunakan dolar Amerika Serikat. Berbagai kondisi semacam itu membuat orangtua harus selektif. Saat terbentur dengan keadaan itu, maka sekolah umum berkualitas bisa menjadi pilihan.
"Sekolah umum akan mengajarkan kepada anak tentang kesederhanaan. Mereka bisa bersosialisasi dengan baik karena dalam satu kelas terdapat latar belakang orangtua si anak berbeda. Hal itu sangat baik bagi pendidikan dan cara sosialisasi anak. Nilai plus dari sekolah umum biasa," tutur Jeanny.
Hal senada diungkap penulis sekaligus pengelola Sanggar Kalian, Herlinatiens. Dia mengaku tidak percaya pendidikan bisa murah. Karena untuk mendapatkan sesuatu yang bagus, maka harus berani memberikan bayaran yang mahal, apalagi untuk pendidikan.
Di masyarakat Indonesia, menurut Herlinaties, sudah tertanam bahwa pendidikan itu harus murah dan pemerintah selalu disalahkan karena tidak mampu menciptakan pendidikan murah.
"Di SD negeri saja, banyak perpustakaan sekolah yang tidak memiliki buku. Tidak heran jika kemudian banyak orangtua yang memilih memasukkan anaknya ke sekolah internasional," tuturnya.
Kelemahan lain sekolah dasar negeri di Indonesia, lanjutnya, jarang sekali terjadi diskusi antara guru dan murid di dalam kelas.
"Proses pengajaran juga terasa monoton dengan guru yang berbicara dan murid yang mendengarkan. Tentu hal ini membuat orangtua lebih suka memasukkan anaknya ke sekolah swasta," ujarnya. (sindo//tty)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
-
Jakarta. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi di satu sisi telah membawa dampak positif pada perkembangan kehidupan masyarakat. ...
-
Dalam sebuah wawancara di sebuah stasiun televisi swasta nasional, Sabtu (18/6), Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Muhammad Nuh ...
-
Meski kedua kakinya buntung dan kedua telapak tangannya tak sempurna, namun Dewi Sudarmi (6), siswi klas 1 SDN Kertagenah Laok 3 itu bercita...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar