Minggu, 17 Mei 2009
Reorientasi Tujuan Pendidikan
Setiap awal bulan Mei, bangsa kita memperingati peristiwa penting dan bersejarah yaitu Hari Pendidikan Nasional. Pendidikan memiliki arti penting bagi kehidupan bangsa karena seluruh sektor kehidupan tak bisa lepas dari faktor sumber daya manusia yang merupakan output dunia pendidikan. Pendidikan juga merupakan bagian dari sejarah berdirinya negara Indonesia. Tujuan didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia diantaranya yaitu untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Namun setelah sekian lama bangsa ini berdiri, begitu banyak permasalahan yang mendera negeri tercinta ini. Negeri yang memiliki sumber daya alam yang sangat kaya, tetapi masih tergolong negara miskin. Hampir seluruh penduduk memeluk agama, tapi tergolong negara terkorupsi.
Dilihat dari kualitas sumber daya manusia masih memprihatinkan. Menurut data Human Development Index (HDI) tahun 2008, sumber daya manusia Indonesia menempati peringkat ke 107 dari 157 negara. Mengapa kondisi SDM kita cenderung rendah? Hal ini tentu berkaitan dengan kondisi dunia pendidikan.
Telah banyak diperbincangkan bahwa orientasi pendidikan saat ini cenderung hanya bersifat akademis. Akibatnya seperti sering terjadi, mencuatnya kasus kecurangan dalam pelaksanaan Ujian Nasional, bahkan ada yang diprakarsai oleh guru dan sekolah. Belum lagi kasus tawuran antar siswa, meningkatnya jumlah pemakai narkoba, kasus aborsi, dan tindak kriminal di kalangan pelajar lainnya. Selama puluhan tahun tanpa disadari, ternyata bangsa ini hanya berorientasi pada intelektualisme seperti yang terjadi di sebagian besar sekolah yaitu mengutamakan nilai akademis. Hal itu menunjukkan bahwa pendidikan saat ini hanya mentransfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), sehingga kerap mengabaikan nilai-nilai moralitas. Persoalan tersebut menghasilkan output pribadi siswa yang rapuh. Banyak kasus dimana siswa yang tidak lulus ujian mengalami stres sehingga meningkatkan tindakan kekerasan bahkan kerap berujung pada tragedi bunuh diri.
Hal ini tentu perlu dipertanyakan, sudah sejak jaman dulu rumusan pendidikan selalu untuk membentuk manusia yang utuh dan lengkap meliputi berbagai aspek. Socrates, misalnya, menegaskan bahwa pendidikan merupakan proses pengembangan manusia ke arah kearifan (wisdom), pengetahuan (knowledge), dan etika (conduct).
Jika menengok Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, secara eksplisit mengamanatkan agar menerapkan satu sistem pendidikan yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia. Secara lebih rinci UU No 20/ 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menetapkan agar peserta didik dapat mengembangkan potensi dirinya secara aktif untuk memiliki kekuatan spiritual, keamanan, pengendalian diri, kepribadian, akhlak mulia, kecerdasan, dan keterampilan.
Di dalam GBHN pun tertera bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk manusia yang utuh. Yang dimaksud dengan utuh tentunya meliputi berbagai aspek tidak hanya intelektual tapi juga emosional dan spiritual. Namun kenyataannya seperti yang sudah disinggung di atas, pendidikan pada masa ini umumnya hanya menjadikan peserta didik pandai dari segi nalar. Karena itulah banyak lulusan sekolah yang rapuh dan hampa jiwanya sehingga tidak mampu menghadapi problematika kehidupan.
Manusia membutuhkan tiga kecerdasan untuk mengelola kehidupannya. Fungsi IQ adalah “What I think” (apa yang saya pikirkan) untuk mengelola kekayaan fisik atau materi (Physical Capital); fungsi EQ adalah “What I feel” (apa yang saya rasakan) untuk mengelola Kekayaan Sosial (Social Capital); dan fungsi SQ adalah “Who am I” (siapa saya) untuk mengelola Kekayaan Spiritual (Spiritual Capital).
Namun selama ini ketiga kecerdasan tersebut berjalan terpisah. Contoh banyak orang yang memiliki IQ tinggi namun kering nilai-nilai spiritual; atau sebaliknya, memiliki spiritual (SQ) tinggi, namun rendah dalam nilai-nilai intelektual sehingga akhirnya kalah dalam percaturan ekonomi, sosial dan iptek. Pencapaian kualitas manusia ideal yang proporsional adalah manusia unggul yang cerdas secara intelektual, emosi, serta spiritual.
Karena itulah selama tujuh tahun terakhir, melalui metode The ESQWay165, ESQ berusaha menggabungkan tiga potensi dasar dalam satu kesatuan untuk menciptakan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang tidak saja memiliki intelektualitas tetapi juga memiliki kecerdasan emosi yang dituntun oleh kecerdasan spiritual.
Beberapa sekolah maupun perguruan tinggi yang telah menyertakan siswanya dalam training ESQ, menyatakan bahwa siswanya mengalami peningkatan dalam penguasaan akademis. Pengasahan kecerdasan emosi dan spiritual ternyata mampu memberikan motivasi yang kuat dalam meningkatkan semangat belajar. Dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional kali ini, orientasi pendidikan tidak hanya mengutamakan aspek intelelektualitas namun juga dimensi emosi dan spiritual.
Sumber: esqmagazine.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
-
Jakarta. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi di satu sisi telah membawa dampak positif pada perkembangan kehidupan masyarakat. ...
-
Dalam sebuah wawancara di sebuah stasiun televisi swasta nasional, Sabtu (18/6), Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Muhammad Nuh ...
-
Meski kedua kakinya buntung dan kedua telapak tangannya tak sempurna, namun Dewi Sudarmi (6), siswi klas 1 SDN Kertagenah Laok 3 itu bercita...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar