Hari-hari ini ruang publik kita dipenuhi berita dan informasi yang menyentakkan kembali kesadaran kita akan fondasi karakter dan moralitas kita sebagai bangsa. Parade korupsi, malapraktik administrasi, pergaulan bebas, narkoba, dan yang paling santer adalah soal praktik pornografi di kalangan selebritis. Di antara praktik dekadensi tersebut menyembul harapan besar akan revitalisasi peran pendidikan sebagai pembentuk karakter dan moralitas bangsa.Visi Pendidikan
Tujuan utama pendidikan adalah menyemai karakter bangsa yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat. Dalam hal ini pendidikan dimaknai sebagai proses belajar dan adaptasi secara terus-menerus terhadap nilai-nilai budaya dan cita-cita luhur masyarakat dan diorientasikan untuk menghadapi tantangan eksternal.
Salah satu karakter budaya kuat bangsa Indonesia adalah pengamalan dan sikap berpegang teguh atas nilai-nilai religiusitas dan moral dalam dimensi kehidupan. Indonesia sejak zaman nenek moyang demikian menjunjung tinggi nilai moral, budaya, dan agama dan ini terjadi di hampir semua suku bangsa yang tercermin dalam adat istiadat yang mereka lakukan.
Cara pandang religius inilah yang menjadi modal dasar pembangunan termasuk dalam pengembangan pendidikan. Pembangunan manusia Indonesia melalui pendidikan dengan demikian berbeda dengan karakter pembangunan manusia Barat yang sekuler. Pembangunan SDM kita menekankan pentingnya moral (budi pekerti) di semua lini kehidupan baik privat maupun publik.
Hal ini sejalan dengan konsepsi dasar pendidikan yang diletakkan oleh Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intellect), dan jasmani anak-anak, selaras dengan alam dan masyarakatnya (Dewantara, 1967). Mohammad Natsir juga menegaskan makna pendidikan kita yang tidak sekuler dalam salah satu artikelnya di dalam buku Capita Selecta.
Natsir mengatakan, yang dinamakan pendidikan ialah satu pimpinan jasmani dan rohani yang menuju kepada kesempurnaan dan kelengkapan arti kemanusiaan dengan arti sesungguhnya (Natsir, 1954). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan ”Keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”.
UUD 1945 menginginkan karakter manusia Indonesia yang berakhlak mulia, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan cerdas dalam kehidupannya. Amanat UUD 1945 tersebut selanjutnya dijabarkan di dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pasal 1 ayat (1) menjabarkan substansi pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Inilah makna pendidikan yang tidak sekularistik atau pendidikan yang membangun manusia Indonesia seutuhnya yaitu memiliki kekuatan moral, spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Revitalisasi Pendidikan Moral
Secara eksplisit desain pendidikan nasional menekankan pentingnya pendidikan karakter dan moral. Dalam kerangka ini, pendidikan harus menjadi sarana yang efektif dalam mentransformasi nilai-nilai moral-spiritual yang sangat berguna bagi pembentukan karakter peserta didik yang pada gilirannya diharapkan menjadi karakter budaya bangsa.
Pendidikan karakter dan moral pada dasarnya adalah “to guide the young towards voluntary personal commitment to values”, pekerjaan membimbing generasi muda untuk secara sukarela mengikatkan diri mereka kepada norma-norma atau nilai-nilai (Philip H Phenix, 1964). Yang penting di sini ialah bahwa “commitment to values” atau pengikatan diri kepada nilai-nilai harus terjadi secara sukarela, harus tumbuh dari dalam, dan bukan karena ancaman atau ketakutan kepada sesuatu di luar hati.
Dengan kerelaan tersebut, nilai-nilai moral diharapkan akan tercermin dalam akhlak kehidupan sehari-hari. Hal ini menuntut kreativitas dan pengayaan program pengajaran melalui berbagai kegiatan yang aplikatif dan tepat sasaran dalam menuntun akhlak sehari-hari peserta didik. Pengembangan “kantin kejujuran” di sejumlah sekolah misalnya merupakan bentuk terobosan kegiatan pendidikan moral.
Di sejumlah madrasah bahkan telah pula dikembangkan “kelas kejujuran” di mana siswa terbiasa mengerjakan soal-soal ujian tanpa pengawasan guru. Jika hal ini menjadi kesadaran kolektif, kita niscaya tidak akan mendengar lagi “perburuan bocoran kunci jawaban” di setiap ujian nasional (UN) dan dalam jangka panjang dapat membangun karakter moral yang kuat.
Pelajaran agama yang menjadi pijakan utama pendidikan moral misalnya, tidak boleh dikesankan sebatas penyampaian doktrin-doktrin agama, tentang halal-haram, tata cara ibadah berikut pahala surga dan ancaman dosa-neraka. Tetapi harus banyak berbicara dimensi pemaknaan yang mengajak peserta didik meraih kesadaran (conscience) terhadap nilai. Unsur-unsur ajaran agama menyangkut ibadah dan hukum-hukum agama tentu saja harus disampaikan, tapi tidak boleh dilupakan bahwa tujuan utama pendidikan agama adalah internalisasi nilai sehingga menjadi karakter.
Pengajaran moral melalui pembahasaan yang divergen atas nilai-nilai yang terkandung dalam materi ajar melalui kegiatan-kegiatan sederhana, tapi mengena akan mengefektifkan pembentukan karakter moral para peserta didik. Pada gilirannya akan membentengi akhlak peserta didik dari perbuatan yang dilarang (amoral). (oke)
Oleh: Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi PKS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar