Tadi pagi ketika saya sedang bersiap-siap akan berangkat ke tempat kerja, tiba-tiba teringat kalau pagi itu saya juga harus mengirim naskah ke sebuah penerbit di Bandung. Keadaan ini sempat saya kelabakan. Bagaimana tidak. Pagi itu waktu sudah menunjukkan pukul 05. 15 dan saya sudah harus tiba di tempat kerja selambat-lambatnya pukul 06. 30. Sementara saya juga harus segera mencetak naskah yang masih tertumpuk dalam hardisk.
Mau tidak mau akhirnya saya putuskan untuk mencetak naskah lebih dulu meski dengan sangat terburu-buru. Kunyalakan printer dan saya siap mencetak naskah itu. Tapi datang lagi masalah baru. Printer tiba-tiba ngambek dan tak mau bergerak. Ketika saya cek ternyata di layar monitor tertera tulisan ‘Printer ink is empty’. “Lho. Kenapa kosong? Padahal semalam baru saja di isi ulang”.
Saya mulai panik. Saya tambah ingin segera meledakkan amarah ketika anak saya yang paling kecil (usia 2 tahun) ikut memencet-mencet tombol keyboard dan menari-narik kertas di laci printer. Si kecil juga menarik tutup yang di dalamnya terdapat cartridge. Saya sempat membentak si kecil, “Jangan ditarik, adik!”. Tapi setelah penutup itu saya rapatkan, tida-tiba printer me-restart diri. Selanjutnya ia tampak sedang memproses pengeprinan. Setelah saya tengok, ternyata yang keluar adalah naskah yang memang saya mau cetak.
Alhamdulillah... Seraya bersyukur sambil mengelus kepala si kecil. Si kecil yang semula saya pandang sebagai pengganggu ternyata ia justru telah berjasa yang memungkinkan printerku kembali mau bekerja. Terima kasih anakku. Engkau telah mengajari ayahmu bagaimana cara mengatasi printer yang ngambek. Oh! Si kecilku yang cerdas. Kini ayahmu tahu bahwa dirinya bukanlah orang tua yang serba bisa dan serba tahu sehingga mengabaikan peran anaknya yang tampak masih kecil.
Dalam skup yang lebih luas mungkin kita bisa berkata, “Wahai orang-orang besar pemanggul amanat rakyat. Jangan sekali-kali kalian meremehkan rakyatmu, orang-orang kecil itu, para petani itu, para pengasong, rakyat jelata yang tak jelas tempat tinggalnya, para buruh, dan orang-orang jalanan itu. Jangan remehkan dan jangan sia-siakan mereka. Sebab bisa saja kearifan muncul dari sana. Ketangguhan hidup, ketidak cengengan menghadapi kerasnya kehidupan, kaki-tangan mereka yang tetap bergerak meski terasa berat karena terbebani berjuta duka, keberanian mereka menghadapi ancaman yang setiap waktu mengincar keselamatannya (berupa penyakit dan kelaparan)."
Mengeluhkah mereka? Ah! Apalah artinya keluhan bagi mereka. Karena bagi mereka, bahkan keluhanpun, penderitaan macama apapun, kemiskinan semiskin-miskinnya-pun bisa mereka sulap menjadi kejenakaan hidup yang bisa membikin mereka tertawa lepas. “Goblok! Dasar tukang becak gak tahu aturan”, kata seseorang sambil membentak dari dalam mobilnya yang mewah. Lantas si tukang becak membalasnya dengan berucap ringan, “Kalau saya ndak goblok, ndak akan mbecak saya, pak”
Wahai orang yang telah merasa pintar, belajarlah kepada orang yang telah kauanggap bodoh...
Wahai mereka yang telah merasa alim, bergurulah kepada mereka yang terlanjur kaukira tidak taat beragama...
Wahai orang yang telah merasa tua dan senior, dengarkan kata-kata anak yang selama ini masih saja kauanggap kanak-kanak. Kau sering berkata, “Ah! Kekanak-kanakan”, bukan...?
Sumber: Kompasiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar