Tahun 2008 lalu, Kota Solo telah mencanangkan diri sebagai kota yang telah bebas dari buta aksara. Dari total jumlah penduduk Kota Solo Sebanyak 500.000 orang, hanya terdapat sekitar lima persen yang masih menyandang buta aksara.
Dalam lima tahun terakhir, penurunan jumlah penyandang buta aksara di Solo memang terhitung cukup tinggi. Jika pada 2005 lalu jumlah penduduk yang masih buta aksara sebanyak 7.112 orang, pada tahun 2008 turun menjadi 3.460 orang. Setahun berikutnya, jumlahnya tinggal 360 orang. Oleh karena itu Pemkot Solo berani menargetkan, pada tahun 2010 ini, Kota Solo sudah harus bebas buta aksara murni.
Jika fakta di atas dilihat secara leterlek, maka sebenarnya persoalan pemberantasan buta aksara di Kota Solo sudah selesai. Artinya, pemberantasan buta aksara telah menjadi klimaks dari sebuah proses. Padahal dari sinilah sebenarnya sebuah proses pendidikan itu dimulai.
Maka tulisan ini perlu dimulai dari kesepakatan atas logika yang sebaliknya. Bahwa pemberantasan buta aksara bukan sebagai akhir, melainkan awal dari sebuah proses. Berpijak pada logika tersebut muncul satu persoalan baru: apa dan seberapa besar makna keterbebasan masyarakat Kota Solo dari buta aksara bagi proses pendidikan anak saat ini dan ke depan?
Fokus Penting
Pemberantasan buta aksara merupakan salah satu fokus penting untuk memperbaiki indeks pembangunan manusia (human development index) di tiap-tiap daerah. Keberhasilan program pemberantasan buta aksara akan membuat warga semakin percaya diri, berdaya untuk keluar dari kemiskinan dan keterbelakangan serta mampu mengatasi persoalan hidupnya.
Angka melek aksara merupakan salah satu komponen penentu dalam indeks pembangunan manusia bagi sebuah negara. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), setiap tahunnya pemerintah mampu memberantas buta aksara antara 150.000 sampai 200.000 orang. Dengan jumlah tersebut, dibutuhkan sekitar 12,5 tahun lagi untuk mencapai angka buta aksara 5 persen secara nasional.
Upaya pemberantasan buta aksara di Indonesia memang tergolong pesat. Pada 2004, penyandang buta aksara usia 15 tahun ke atas masih berjumlah sekitar 15,4 juta orang. Pada 2009 sudah mencapai target sekitar 5 persen atau 7,7 juta orang.
Pemberantasan buta aksara diprioritaskan terutama di daerah-daerah terpencil, daerah transmigrasi, pesisir, penduduk sekitar hutan dan kepulauan. Selain itu, sasaran juga diperkuat bagi masyarakat perbatasan, masyarakat perkotaan yang belum terlayani, serta komunitas adat terpencil.
Program pemberantasan buta aksara secara nasional sifatnya dinamis dan disesuaikan dengan kondisi maupun perkembangan zaman. Salah satu contohnya, orientasi pemberantasan buta aksara tidak lagi difokuskan pada keaksaraan dasar, namun lebih difokuskan pada pendidikan keaksaraan untuk pemberdayaan masyarakat, khususnya di bidang ekonomi.
Suatu ketika, penulis berbincang-bincang dengan seorang pedagang pasar. Dalam obrolannya, dia mengaku sangat terbantu dengan program pemberantasan buta aksara. Setelah mampu membaca dengan lancar ia tidak lagi kesulitan jika harus mengurus administrasi kependudukan, tidak lagi gagap saat ada pengumuman dari pemerintah dan sebagainya.
Namun dari obrolan tersebut penulis mendapat asumsi yang cukup menarik, bahwa melek aksara (utamanya bagi orang-orang tua) memiliki korelasi langsung yang bersifat kualitatif untuk pemberdayaan pada diri seseorang. Akan tetapi, korelasi tersebut tidak diukur dari keberdayaan dan peningkatan ekonomi secara nominal finansial. Melainkan dilihat dari peningkatan kualitas hidupnya.
Taman Cerdas
Sesuai konteks di atas, setelah masyarakat Kota Solo berada pada status bebas dari buta aksara dan hidupnya menjadi lebih berdaya, maka program pemberantasan buta aksara mestinya diarahkan pada dua alternatif.
Pertama adalah mempertahankan agar masyarakat yang sudah bebas buta aksara tidak kembali lagi pada titik nol. Hal itu telah dilakukan dengan subprogram “jaring garap”. Sementara alternatif kedua adalah mengarahkan program pemberantasan buta aksara ke arah pemberdayaan pada bidang lain, khususnya di bidang pendidikan anak.
Mengapa bidang pendidikan anak? Isjoni (2006) menyatakan bahwa pendidikan merupakan investasi dan kunci dari pembangunan sumber daya manusia (SDM). Terkait dengan itu, Pemkot Solo sendiri selama ini telah menggulirkan program-program yang cukup signifikan di bidang pendidikan baik fisik maupun nonfisik.
Beberapa di antaranya adalah pendirian taman cerdas, hingga program Bantuan Pendidikan Masyarakat Kota Surakarta (BPMKS). Hanya saja, persoalan pendidikan yang secara umum belum tersentuh adalah pendidikan anak di tingkat keluarga, terutama bagi kalangan masyarakat bawah.
Gempuran media televisi, salah satunya telah merampas waktu belajar anak. Sementara lahirnya generasi mal sejak era 1990-an juga ikut menambah runyam kondisi pendidikan anak di tingkat keluarga. Pasalnya, tren gaya hidup anak/remaja mal sudah merambah sampai ke kota-kota kecil, dan anak pun terbiasa kongkow-kongkow menghabiskan waktu di mal (Darmaningtyas, 2005).
Pada sisi yang lain, rendahnya tingkat pendidikan anak di tingkat keluarga itu secara tidak langsung telah menggiring orangtua bersikap abai dan menyerahkan pendidikan anak sepenuhnya kepada guru di sekolah. Padahal, menurut Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, masyarakat termasuk di dalamnya keluarga, memiliki tanggung jawab di bidang pendidikan.
Dalam konteks seperti inilah, dipandang perlu untuk menerapkan pola integratif pemberantasan buta aksara pada bidang pendidikan anak. Sebagai satu gambaran sederhana, bagaimana orangtua yang telah bebas buta aksara tidak sekadar mampu membaca, menulis, berhitung (Calistung) atau makin berdaya secara ekonomi saja. Melainkan juga harus “melek pendidikan”.
Keluarga yang telah bebas buta aksara dan “melek pendidikan” ini diharapkan mampu menciptakan iklim yang sehat bagi pendidikan anak di tingkat keluarga. Dengan demikian, pemberantasan buta aksara akan memiliki makna yang jauh lebih luas dan berjangka panjang sebagai sebuah investasi di bidang pendidikan.
Gagasan ini memang masih bersifat global dan embrional, dan karenanya perlu pembahasan lebih lanjut untuk mencapai tataran praksis. Namun untuk merealisasikan gagasan ini barangkali tidak perlu menunggu instruksi dari pusat. Sebab hal ini lebih merupakan aplikasi dan pengembangan dari program inti pemberantasan buta aksara di tingkat daerah.
Karena itu sekali lagi, bebasnya Kota Solo dari buta aksara bukanlah akhir dari sebuah perjalanan prestasi, melainkan awal dari sebuah perjuangan untuk memperbaiki kualitas pendidikan anak-anak di kota Bengawan ini ke depan. (***)
Oleh: Suhamdani, Penulis adalah peminat masalah sosial dan pendidikan, tinggal di Solo
Sumber: Harian Joglosemar Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar