Melalui buku Deschooling Society, Ivan Illich pernah menyampaikan kritik pedas pada lembaga bernama sekolah sekaligus memotori gerakan untuk menjauhi lembaga itu. Katanya, sekolah wajib dijauhi karena hanya menjadi panggung orang-orang kaya untuk mempertontonkan dominasinya. Meski diungkapkan sebelum sekolah bermetamorfosis seperti saat ini dan terkesan hiperbolis, beberapa kekhawatiran tentang sekolah ternyata masih dapat kita rasakan.
Pada penerimaan peserta didik (PPD) awal Juli lalu, kekhawatiran yang Illich sampaikan tampak semakin nyata. Seleksi masuk sekolah ternyata telah berubah menjadi kompetisi yang melibatkan berbagai kepentingan. Kompetisi dirancang dengan sedemikian rupa supaya pendidikan menjadi hak kalangan tertentu.
Pertama, sejumlah sekolah memberikan tambahan skor bagi calon siswa yang orangtuanya bekerja di sekolah bersangkutan. Karena orangtua dianggap memiliki jasa terhadap sekolah, sang anak berhak mendapatkan reward. Kedua, ada sekolah yang memberikan skor tambahan bagi calon siswa yang tinggal di sekitar sekolah. Barangkali tujuannya agar sekolah terakses masyarakat setempat sehingga hubungan baik antara sekolah dan masyarakat dapat dijaga.
Kedua praktik tersebut menunjukkan proses pendidikan yang tidak pernah bisa lepas dari kepentingan politis pengelola, masyarakat, dan pemerintah. Sebagai lembaga formal, sekolah dipenuhi berbagai kepentingan yang justru menjauhkannya dari prinsip-prinsip belajar. Akibatnya, sekolah tidak menjadi tempat belajar yang sehat. Proses belajar di sekolah telah diintervensi berbagai kekuatan dari luar sehingga agenda memanusiakan manusia tidak lagi menjadi prioritas.
Eksklusif
Sekolah, sebagai institusi pendidikan, ternyata wadah yang sangat eksklusif. Sekolah mengalienasi diri menjadi lembaga yang secara sosial politik terpisah dengan masyarakat. Akibatnya, proses belajar yang berlangsung di dalamnya adalah proses belajar yang melangit. Kurikulum yang dirancang berpijak dari teori satu ke teori lain membuat sekolah menjadi lembaga kelas atas yang tidak membumi.
Tradisi akademis yang telah menjadi pakem sekolah ternyata bukan tradisi yang fleksibel merespons perubahan. Tradisi akademis bahkan sering kali bersikap kaku menyikapi berbagai kritik. Terlebih karena dalam tradisi ini, sejumlah aturan berupa perintah dan larangan yang dilengkapi sanksi, berlaku. Akibatnya, kebenaran yang dianut sekolah dalam menilai sesuatu terkadang seperti kacamata kuda. Sekolah tidak memberikan kesempatan kepada siswa mempertimbangkan kebenaran dari perspektif lain.
Di Indonesia, sekolah secara struktural diakui sebagai lembaga substruktur dari pemerintah. Pengelola sekolah dipimpin oleh kepala sekolah yang dipimpin oleh kepala dinas, kepala dinas dipimpin oleh menteri, sedangkan menteri adalah pembantu presiden. Relasi struktural seperti ini membuat sekolah sangat sering menjadi komoditas politik pemerintah. Sekolah tidak mampu menjadi lembaga independen karena memiliki ketergantungan kepada penguasa. Karena itulah, kebijakan yang dilahirkan sering kali hanya alih bahasa dari kebijakan pemerintah.
Relasi yang bersifat komando membuat sekolah kesulitan menentukan bentuk idealnya. Sekolah kesulitan menyesuaikan dengan kondisi lingkungan karena didikte dari pusat. Kurikulum misalnya, sampai saat ini masih dirancang secara nasional meski kebutuhan siswa di berbagai daerah berbeda-beda. Peran serta guru masih sangat terbatas karena standar kompetensi yang wajib diajarkan telah ditetapkan oleh Jakarta. Pemerintah seperti merasa memiliki wewenang mengatur sekolah. Pada saat diselenggarakan ujian nasional (UN), bahkan pemerintah merampas hak guru untuk melakukan penilaian terhadap anak didiknya.
Pengaruh pemerintah yang terlalu kuat membuat sekolah kesulitan membangun identitas kulturalnya. Sekolah berubah fungsi menjadi semacam balai diklat tempat doktrin-doktrin pemerintah ditanamkan. Otoritas sekolah, guru, dan siswa untuk menentukan jenis, model, dan strategi belajarnya direduksi oleh berbagai aturan. Proses belajar yang idealnya menjadi aktivitas intelektual yang bersifat personal, dikomunalkan menjadi aktivitas massal. Sekolah seperti tidak mengakui potensi unik yang telah menjadi fitrah bagi setiap manusia yang telah terlahir.
Sekolah Alternatif
Kegagalan sekolah merespons kebutuhan belajar yang humanis telah memantik kekecewaan masyarakat. Ekspresi kecewa antara lain terutama melalui munculnya berbagai lembaga pendidikan alternatif selain sekolah. Saat ini, selain bimbingan belajar (Bimbel) telah lahir lembaga pendidikan keterampilan (LPK) dan sekolah alam. Ketiga lembaga ini berusaha menyulam berbagai kekurangan sekolah.
Saya tidak habis pikir mengapa begitu banyak siswa di Indonesia merasa perlu mengikuti bimbingan belajar. Meski dengan intensitas pertemuan rendah, Bimbel dianggap lebih ampuh mencerdaskan daripada sekolah yang intensitas pertemuannya sangat rapat. Orangtua dan siswa tampaknya tidak sepenuhnya percaya kepada sekolah, namun tetap mempertahankan jalur sekolah karena perlu legalitas hukum.
Dalam Indonesia Belajarlah (2004), Salim mengungkapkan pendidikan sebagai strategi manusia dalam upaya memperoleh filsafat hidup yang paling tepat bagi dirinya. Pendidikan adalah alat bantu supaya manusia menemukan makna eksistensinya. Karena itulah proses pendidikan berjalan fleksibel; tidak dibatasi tempat, kelembagaan, kurikulum dan kebijakan yang menentukannya, tetapi merupakan totalitas lingkungan sosial-personal.
Akibat terlalu memprioritaskan pendekatan formal, sekolah tidak mampu memenuhi prinsip fleksibilitas. Sekolah sudah tidak mampu mengakomodasi fitrah manusia untuk berpikir bebas. Siswa tidak memiliki otoritas mengukur eksistensi dirinya karena selalu dibenturkan dengan berbagai aturan. Karena itulah lulusan sekolah tidak mampu menjadi pemikir bebas, minim inisiatif, dan cenderung merasa nyaman jika dikondisikan.
Meningkatnya jumlah pendaftar selama penerimaan peserta didik lalu barangkali adalah indikator bahwa minat masyarakat memilih sekolah masih tinggi. Namun, bisa jadi, pilihan menyekolahkan anak hanya karena di Indonesia belum tersedia pendidikan alternatif cukup banyak. Ketika sekolah alternatif semakin masif dan siap menampung cukup banyak siswa, sementara sekolah tidak sanggup mengubah konsep diri dan pembelajaran yang dikembangkannya, mungkin sekolah akan ditinggalkan.
Oleh: Surahmat, Pemimpin Umum BP2M Universitas Negeri Semarang
Sumber: Harian Joglosemar Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar