Hal yang menjadi perbincangan hangat hari-hari ini adalah Pendidikan karakter untuk menunjang siswa menjadi sosok yang sopan dan bermoral. mengapa hangat dibicarakan saat terjadi tragedi moral yang menerpa sejumlah siswa dengan kelakuan siswa tidak ber”moral”. Pada jejaring sosial Facebook sejumlah siswa memaki gurunya dengan perkataan menyakitkan dan membuat sang guru meradang, Pihak sekolah akhirnya membuat keputusan mengeluarkan siswa dari sekolah tersebut. Perkara moral memang membuat merinding, apalagi akhir-akhir ini kelakuan brutal praktis muncul dari kalangan terpelajar. Perkelahian pelajar, perusakan fasilitas publik oleh demonstran-demonstran yang kurang menggunakan nalar budinya untuk menjalani hidup dalam suasana demokrasi yang sopan dan penuh unggah-ungguh. Rasanya semakin banyak anak muda yang kehilangan identitas, ikut arus, terbawa emosi dalam suasana penuh aroma permusuhan. Apapun bisa menjadi senjata untuk merusak fasilitas yang seharusnya dipelihara dan diperindah.
Mungkin suasana di sekolahan akhir-akhir ini bukan seperti tempat yang melahirkan kaum terpelajar yang mampu mengukur diri dan merumuskan identitas membangun masa depan, Rasanya setiap sekolah terlalu trobsesi untuk menaikkan peringkat sekolah, membangun sekolah bertaraf internasional, mendorong siswa aktif hanya pada ranah kognitif. Beban siswa setiap hari terus bertambah saat guru-guru memasang target tinggi nilai kelulusan. Padahal sebenarnya sekolah adalah tempat siswa berproses merumuskan jati dirinya menjadi manusia yang berwatak sosial dan toleran. Pengetahuan yang diserap adalah pengetahuan riil yang bisa menjadi pemecah masalah masyarakat sekitarnya. Setelah siswa keluar dari lingkungan sekolah dia menjadi dirinya sendiri yang harus mampu menjadi bagian dari masyarakat seutuhnya, bukan ekslusif dan identik dengan gambaran pelajar yang hanya berkutat pada buku dan tugas.
Mungkin karena beratnya beban tugas menyebabkan siswa tidak sempat merenung dan mengambil inisiatif ditengah masyarakat yang sedang gamang oleh masalah yang membelit seperti korupsi, nepotisme dan kesenjangan sosial. Panyak anak usia sekolah turun ke jalan karena tidak ada pendampingan yang sistemik dari orang-orang di sekitarnya atau keluarganya. Akibat kegamangan dan kecanggungan pelajar mereka mencari bentuk sendiri untuk melampiaskan kekesalannya akibat tugas-tugas yang menumpuk dari sekolah.
Lalu bentuk sekolah yang bagaimana yang ideal untuk membentuk generasi penerus yang berkarakter, seperti halnya negara Jepang dan bangsa maju lainnya seperti Singapura, Jerman, Amerika, Inggris, Australia. Kadang sekolah hanya mengadopsi bentuk kurikulum tapi melupakan fasilitas yang menjadi hak siswa untuk mewujudkan pembentukan siswa berkarakter. Jarang siswa di dorong untuk mencoba hadir ditengah masyarakat dan belajar dari kehidupan. Pendidikan hanyalah abstraksi dari tuntutan demi tuntutan yang harus dilewati siswa. Ukuran nilai menjadi bias dari subyektifitas yang juga berperan sentral. Kebijakan konversi UAN dan nilai UAN sebagai satu-satunya tolok ukur kelulusan.
Siswa hanya di dorong untuk menjadi pintar tapi melupakan pendidikan proses yang menjadi hak siswa untuk bisa menggapai identitas diri yang sempurna. bangkitlah pelajar Indonesia. Kamu bisa.
Sumber: edukasi.kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar