Senin, 20 Juni 2011

Menyontek bukan sekadar tak jujur


Dalam sebuah wawancara di sebuah stasiun televisi swasta nasional, Sabtu (18/6), Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Muhammad Nuh memberikan penjelasan panjang lebar tentang kasus di seputar pelaksanaan Ujian Nasional (UN). Kasus yang dibahas terutama terkait dengan fenomena menyontek massal yang terjadi di beberapa wilayah di Tanah Air belakangan ini.

Ini sebuah peristiwa cukup memalukan yang terjadi di ranah pendidikan. Mendiknas menanggapi masalah ini secara serius dengan mengingatkan “kejujuran yes, prestasi yes”. Bagi kita, ungkapan tersebut tentu saja secara gamblang memberikan penjelasan bahwa telah terjadi pelanggaran ketidakjujuran yang dilakukan secara massal demi sebuah prestasi.

Sesuatu yang sangat ironis, karena ketidakjujuran secara pribadi saja tidak dibenarkan, apalagi dilakukan secara massal. Lebih ironis lagi hal itu terjadi di ranah pendidikan. Mau dibawa ke mana pendidikan kita? Kebiasaan menyontek secara kolektif yang terkuak sebenarnya laksana puncak gunung es. Menyontek adalah perilaku yang bertentangan dengan hati nurani, sehingga menyontek walaupun banyak dilakukan orang pasti tak mungkin nyaman dilakukan secara terbuka.

Ryan Sugiarto (2009) memaparkan menyontek sebagai salah satu dari 55 kebiasaan kecil yang menghancurkan bangsa. Ia menemukan tidak kurang dari 50 buah karya sineas muda merupakan karya jiplakan. Puluhan lagu-lagu yang hit di Tanah Air ternyata juga hanya merupakan sontekan lagu-lagu Korea dan India. Benarkah menyontek sudah merupakan tradisi atau kultur di masyarakat kita?

Itu sebuah pertanyaan besar yang sebenarnya tidak gampang dijawab, walau kita mampu menghadirkan banyak fakta tentang kebiasaan menyontek di masyarakat. Menyontek ada di ranah film, musik, perdagangan, industri, akademik, bahkan di panggung politik. Menyontek memang pada awalnya berangkat dari sebuah ketidakjujuran, tetapi menyontek konon dikondisikan oleh sesuatu yang bersifat multipel yang turut mendesain suburnya kebiasaan menyontek.

Menyontek berkembang sangat dramatis oleh berbagai kepentingan sifat buruk yang jauh dari nilai-nilai kreativitas dan produktivitas yang berkarakter. Menyontek yang awalnya pelanggaran ketidakjujuran, ternyata berpotensi untuk mengembangkan perilaku kriminal. Setidak-tidaknya ada empat hal mendasar yang berkaitan dengan terbangunnya tren menyontek di masyarakat kita.

Pertama, menyontek itu perwujudan dari ketidakmampuan individu dan kelompok untuk menghasilkan karya orisinal. Orisinalitas dalam berkarya memang merupakan sesuatu yang sangat mahal. Hal tersebut diperparah dengan kecenderungan menguatnya kultur konsumerisme. Masyarakat kita menjadi masyarakat yang tidak saja penikmat atas karya orang lain, tetapi juga penikmat dengan cara meniru karya orang lain. Masyarakat kita sangat jago dalam membuat plesetan atau parodi sebagai kreativitas yang populer.

Kedua, menyontek merupakan refleksi dari rasa “takut berbeda” dari orang lain. Hal ini sangat bertentangan dengan orientasi jargon pemikiran modern yang mengarah pada “harus berani berbeda”. Berkembangnya tradisi menyontek dibangun juga oleh dorongan untuk selalu sama dan seragam dengan orang-orang lain. Menyontek karena takut berbeda dari orang lain merupakan ekses dari terbelenggunya fungsi kreatif dalam berpikir secara sosial.

Ketiga, menyontek dilakukan karena manifestasi perilaku yang suka menerabas, suka jalan pintas dan lemahnya semangat kerja keras. Kemajuan teknologi penyimpanan arsip dalam bentuk soft file, yang seharusnya untuk keperluan efektivitas dan efisinsi, bagi jiwa yang malas dan suka menerabas akan dijadikan sumber perilaku copy paste atau cut and glue. Jangan heran jika sering ditemukan berbagai plagiarisme dalam karya akademik, seperti skripsi, tesis, disertasi, bahkan karya guru besar. Forum Rektor beberapa bulan yang lalu pun telah mengampanyekan gerakan setop plagiarisme.

Keempat, menyontek sangat berpotensi mengembangkan perilaku kriminal, hasutan dan fitnah. Sontekan acapkali dijadikan bahan untuk memfitnah. Misalnya, foto seronok sensasional yang diunggah di internet seriang didasari si pelaku hanya menyontek apa yang sudah ada. Pelaku berpikir itu sebuah kreativitas, padahal itu hanya sebuah rekayasa jiplakan untuk kepentingan memuaskan dirinya sendiri.

Bangsa ini memiliki sejarah yang cukup banyak tentang fitnah dan kriminal yang dibangun dengan cara menyontek. Abad ke-13, pada zaman Kerajaan Singasari, hukuman mati atas Kebo Ijo ternyata sebenarnya hanya fitnah yang dilakukan oleh Ken Arok. Jauh sebelum Empu Gandring terbunuh, Kebo Ijo ke mana-mana membawa keris. Keris itulah yang tertancap di tubuh Empu Gandring, padahal bukan Kebo Ijo pelakunya. Konon, Ken Arok menyontek citra kepemilikan keris itu dan Kebo Ijo yang kemudian menjadi tertuduh.

Pendidikan karakter

Pertanyaan besar yang perlu dijawab tentunya adalah: Mengapa tradisi menyontek itu tumbuh subur di mana-mana? Jawabannya dapat bervariasi, tetapi setidaknya ada beberapa kondisi riil yang menjadi penjelasan mengapa perilaku menyontek tumbuh subur di masyarakat.

Pertama, masyarakat kita merupakan masyarakat yang masih suka menerabas dan berpikiran instan untuk banyak hal. Kedua, masyarakat kita belum terbiasa dan belum siap dengan iklim kompetitif dalam pengertian ber-fastabiqul khairat berdasarkan daya saing pribadi dan kelompok.

Ketiga, masyarakat sangat bertoleransi dan bersikap permisif, apalagi hal-hal yang terkait dengan sesuatu yang memang “gampang diatur”, sehingga lebih senang merem walau tahu itu sebuah penyelewengan. Keempat, lemahnya fungsi pengawasan. Kelima, lemahnya sanksi hukum, moral, dan sosial.

Bagaimana dengan orientasi pendidikan sekarang? Publik kini dihadapkan dengan new wave paket kebijakan pendidikan karakter. Kesadaran pemerintah untuk menggulirkan paket pendidikan karakter ini barangkali dilandasi oleh permasalahan mentalitas kebangsaan yang semakin memrihatinkan. Menyontek secara kolektif yang merajalela bukan sekadar ketidakjujuran yang sistematis, tetapi berpotensi untuk merusak perilaku kolektif berbangsa dan bermasyarakat.

Bukan bermaksud pesimistis atas usaha pengembangan pendidikan karakter, konon, masalah karakter itu merupakan kompetensi khusus yang tidak dapat diajarkan. Karakter hanya dapat “ditularkan”. Jika sekadar pengetahuan tentang suatu karakter, sangat mudah untuk diajarkan. Itu yang sekarang terjadi. Akan tetapi hakikat perilaku berkarakter hanya dapat dibenahi dan dikembangkan melalui keteladanan, habituasi dan intervensi. Tantangan terbesar adalah bahwa kita belum berhasil keluar dari krisis keteladanan. Masyarakat kita kurang kondusif bagi upaya habituasi.

Artinya, harapan memperbaiki karakter bangsa, terutama menekan hobi menyontek melalui pendidikan, tidak akan pernah berhasil manakala tidak didukung oleh gerakan kolektif untuk meningkatkan fungsi keteladanan, kondusivitas masyarakat, serta kontrol atas penayangan media massa yang tidak mendidik. Ironis, masyarakat kadang lebih suka bertoleransi pada hal yang tidak mendidik, asalkan menghibur. Tapi kita tidak boleh berhenti untuk berkampanye: Say No to Nyontek…

Oleh: Agus Kristiyanto, Anggota Tim Pengembang Desain Induk Karakter Bangsa Kemendiknas 2010

Sumber: Solopos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar