Selasa, 28 September 2010

Ironi Sarjana Pengangguran

Setiap tanggal 29 September berlangsung peringatan Hari Sarjana Indonesia. Momentum ini tak hanya menjadi rutinitas yang berlangsung tiap tahun, tapi paling tidak dapat menjadi bahan refleksi bersama ihwal peran gelar kesarjanaan dalam realitas kehidupan sosial.

Sarjana bukanlah hanya sekadar gelar. Itu adalah simbol bagi tiap orang yang telah menjalani ijtihad ilmiah di salah satu universitas. Orang yang mendapat gelar sarjana berarti telah menjalani proses ilmiah yang melibatkan pengajaran, penelitian dan pengabdian. Tri Dharma Perguruan Tinggi itulah yang semestinya menjadi amalan semua orang sebelum mendapatkan gelar kesarjanaannya.

Apabila semua universitas berjalan dengan mengacu pada dharma itu, banyak temuan-temuan keilmuan baru yang akan dihasilkan. Penelitian akan memberikan input informasi baru untuk universitas agar dipelajari, diteliti, dikaji dan dijadikan sebagai bahan kajian bersama mahasiswa. Perolehan dari semua penelitian dan pengajaran itulah nantinya akan memberikan solusi dan pengembangan baru bagi realitas sosial kemasyarakatan dan proses kemajuan pembangunan. Itulah spirit pengabdian dari universitas.

Kalau memakai logika sehat seperti itu, semestinya kian banyak sarjana dan universitas di bangsa ini, maka proses pembangunan justru kian juga berkembang pesat. Tapi mengapa bangsa Indonesia yang tiap tahun menggelontorkan gelar kesarjanaan dari rahim universitas tapi malah proses pembangunannya kian tersendat? Justru yang terjadi sarjana yang lahir hanya menambah statistik pengangguran kaum terdidik yang menjadi beban bagi negara.

Pengangguran kaum terdidik lahir dari rahim universitas tiap tahun. Sarjana yang semestinya dapat memberikan kontribusi positif bagi proses pembangunan karena telah lama bergelut dengan tradisi ilmiah, ternyata hanya menjadi beban negara. Mereka yang lahir dari rahim universitas tak memberikan efek apa-apa bagi perbaikan bangsa ini.

Sarjana ekonomi yang semestinya melahirkan teori ekonomi baru untuk mengeluarkan krisis kemiskinan yang melanda bangsa ini ternyata utopis. Sarjana pendidikan yang diharapkan dapat memberikan warna baru bagi sistem pengajaran di lembaga sekolah, ternyata justru peristiwa tawuran antarpelajar kian marak dan arah pendidikan nasional yang kian tak menentu. Tak jauh beda dengan sarjana hukum yang semestinya memberikan efek bagi perbaikan hukum, ternyata hanya membawa penegakan hukum yang ada di bangsa ini berjalan dengan terseok-seok.

Menurut Prof Dr Winarno Surakhmad (2009), sejarah perkembangan universitas di Indonesia bukanlah sejarah pengembangan keilmuan, melainkan lebih tepat dikatakan sebagai sosialisasi pengawetan ilmu. Proses melahirkan ilmu-ilmu baru nyaris bisa dikatakan minim lahir dari universitas, dan yang ada adalah proses pelanggengan ilmu-ilmu dari luar yang sudah ada sejak dulu terus dipertahankan dari generasi ke generasi tanpa ada perubahan.

Universitas yang tidak melakukan proses pembaruan keilmuan inilah yang akan mengalami proses kemandekan. Kita boleh bangga universitas di negeri ini secara kuantitas tiap tahun tumbuh pesat, tapi di sisi yang lain kualitas pengembangan keilmuan yang ada di tiap-tiap universitas mengalami stagnasi.

Tri Dharma Perguruan tinggi yang menjadi semboyan dan falsafah universitas kita ternyata hanya menjadi ilusi. Universitas kita, meminjam bahasanya Winarno Surakhmad, lebih tepat disebut sebagai teaching university dibanding dengan universitas riset. Teaching university lebih suka mengajar dibanding dengan melakukan proses penyelidikan dan penelitian di lapangan. Teaching university hanya menjadi pemakai pengetahuan yang sudah ada sejak dulu, dibanding dengan menghasilkan proses pembaruan keilmuan. Lebih tepatnya teaching university hanya sebagai pengkonsumsi ilmu pengetahuan dibanding dengan memproduksi pengetahuan baru.

Bahan Rosokan 

Kemandekan proyek pengetahuan di tingkatan universitas itulah yang akan melahirkan sarjana pengangguran. Pengetahuan yang sudah didapat dari rahim universitas ternyata dalam konteks realitas kehidupan sosial telah menjadi bahan rongsokan yang tak laku di pasaran. Sarjana sudah tak mampu lagi membaca kemungkinan-kemungkinan masa depan karena aktivitas di universitas hanya sekadar pengajaran dari kepingan pengetahuan yang dipecahkan menjadi beberapa sistem kredit semester (SKS) dan miskin penelitian yang bisa menjadi pijakan memprediksi kemungkinan masa depan.

Dengan demikian, pada momentum hari Sarjana Indonesia ini selayaknya menjadi bahan refleksi bersama bagi universitas untuk melakukan proses transformasi pada arah yang lebih progresif. Universitas semestinya bisa menjadikan Tri Dharma perguruan tinggi sebagai pilar gerak. Universitas yang selama ini hanya menjadi bahan pengawet pengetahuan, selayaknya berubah menjadi agen memproduksi pengetahuan yang setiap saat siap dan sigap melakukan penyelidikan dan penelitian.

Dengan intensitas penelitian yang kian tinggi, universitas bisa membaca kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa yang akan datang sehingga universitas bisa melahirkan metode keilmuan baru yang sanggup untuk menangkis problem sosial di masa yang akan datang. Sarjana yang lahir bukanlah sarjana yang banci dan gagap akan realitas sosial. Tapi sarjana yang lahir akan sanggup beradaptasi dan mampu memainkan fungsi sosialnya bagi proses pembangunan bangsa Indonesia. Itulah sarjana yang diharapkan lahir dari rahim universitas kita saat ini. Selamat Hari Sarjana!


Oleh: Najamuddin Muhammad, Pemerhati Pendidikan pada Center for Developing Islamic Education (CDIE) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Sumber: Harian Joglosemar Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar