Senin, 06 September 2010

Guru Profesional Sebatas Angan

Ada pertanyaan jenaka namun dapat menjadi bahan renungan, yakni kapan seorang guru dengan predikat profesional (karena sudah memiliki sertifikat dan lulus program sertifikasi), merasa dirinya sebagai guru profesional? Jawabannya adalah saat mereka mengumpulkan rekening bank karena uang tunjangan sertifikasi akan segera cair. Di luar itu semua, mereka bukanlah guru yang profesional sebagaimana tercermin dalam keseharian mereka.

Mengapa banyak pihak selalu bertanya dan menggugat tentang predikat guru profesional? Bukan sebab banyaknya uang yang dikeluarkan oleh negara terkait tunjangan profesi untuk mereka, namun adalah sampai seberapa besar kontribusi mereka terhadap dunia pendidikan? Jawabannya adalah sebagai sebuah produk atau komoditas, guru profesional akan terus menjadi sorotan antara yang dipromosikan dengan kualitas yang sebenarnya.

Guru profesional tidak bebas nilai dan tafsir. Tidak bebas nilai artinya akan ada penilaian dari masyarakat sebagai sebuah patokan pembanding antara yang satu dengan yang lain dengan skala tertentu. Ia juga tidak bebas dari tafsir dan akan menjadi multitafsir, sebab masyarakat dapat memberi aneka tafsir terhadap mereka terkait keprofesionalan seorang guru.

Banyak pihak yang skeptis bahkan ada yang mengusulkan penghentian terhadap program sertifikasi meski ini amanat Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Seorang assesor (penilai) ngudarasa kepada penulis bahwa ia merasa gamang dan ikut berdosa karena telah meluluskan seorang guru dalam proses penilaian sertifikasi, sehingga yang bersangkutan bisa berpredikat guru profesional. Padahal dalam kenyataannya, setelah yang bersangkutan lulus program sertifikasi tidak ada satu pun hal yang berubah. Baik dalam tata cara mengajar, pengembangan diri dalam semesta jagat pemulangan, dan kepribadian layaknya pribadi profesional. Assesor bisa berkata demikian karena ia mengamati dengan saksama perkembangannya. Dari sinilah sinisme sertifikasi guru bermula.

Secara garis besar, tugas seorang guru mencakup empat hal dalam dunia pendidikan yakni merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, dan membimbing atau melatih anak didik. Secara sederhana dapat di jelaskan seperti ini. Guru wajib membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) pada awal tahun atau awal semester. Setelah membuat RPP mereka melaksanakan pembelajaran yang merupakan kegiatan interaksi edukatif antara peserta didik dengan guru. Lalu menilai hasil berupa tes untuk mengetahui proses dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan secara sistematis, berkesinambungan dan dapat diukur. Yang terakhir adalah membimbing dan melatih peserta didik yaitu membimbing atau melatih peserta didik dalam proses tatap muka, intrakurikuler, dan ekstrakurikuler.
Namun jika hanya empat hal itu, maka tidak ada gunanya program sertifikasi dilaksanakan. Empat hal masih terlalu sedikit untuk mengukur sebuah pencapaian dalam ranah profesional.

Banyak hal yang diharapkan oleh kita semua baik guru, pemerintah dan masyarakat terhadap predikat profesional. Kesadaran akan pentingnya sikap dan perilaku yang mengedepankan dan didasarkan sikap pribadi profesional senantiasa bergayut dalam hati masyarakat.

Ketika saya membaca buku panduan sertifikasi, saya ibaratkan program sertifikasi adalah program mencetak prajurit para komando di lingkungan pendidikan. Jika satu prajurit para komando setara dengan sepuluh prajurit biasa, program sertifikasi ibarat menjadikan seorang guru biasa menjadi guru dengan kualifikasi komando. Artinya satu guru yang sudah bersertifikasi ibarat sepuluh guru biasa. Sehingga, jika program dan tujuan sertifikasi sesuai dengan rencana, maka dampak dari program ini luar biasa.

Dalam ilmu marketing (pemasaran), program sertifikasi ibarat meningkatkan kapitalisasi pasar seorang guru. Guru juga punya nilai buku dan nilai pasar seorang. Nilai buku adalah bahwa seorang guru cukuplah menjalankan empat fungsi sebagaimana saya tulis di atas. Namun dengan penambahan kapitalisasi, nilai pasar seorang guru akan jauh melampaui nilai buku. Ia menjelma menjadi pribadi dan guru yang prima dalam melayani anak didik, orangtua siswa, kebanggaan lingkungan masyarakat, menjadi trendsetter kolega, dan ujung tombak pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan.

Kebiasaan Buruk

Banyak guru yang lulus sertifikasi tetap memiliki kebiasaan buruk yang tidak pantas dicontoh oleh anak didik. Antara lain datang terlambat dan pulang lebih awal, merokok di lingkungan sekolah bahkan di dalam kelas saat mengajar, tidak mempedulikan anak didik, kepedulian terhadap diri sendiri menyangkut menambah kapasitas keilmuan dengan membuat karya ilmiah, membuat publikasi, membaca buku karya ilmiah, koran dan majalah serta akses terhadap kemajuan peradaban dunia yang diejawantahkan dalam jagat teknologi informasi berbasis internet.

Masyarakat akan menuntut, menilai dan membandingkan kinerja seorang guru karena program sertifikasi ini menghabiskan anggaran triliunan rupiah setiap tahun, sementara hasil yang diharapkan masih jauh dari angan-angan. Program sertifikasi memang mampu meningkatkan kesejahteraan guru, namun belum meningkatkan mutu pendidikan secara keseluruhan. Berawal dari kondisi inilah, gugatan demi gugatan mengalir dari masyarakat.

Tafsir tentang guru profesional antara lain ia mampu memberi warna bagi kehidupan jagat pemulangan, memberi rasa bagi lingkungan kerja atau lingkungan sosial kemasyarakatan dan kapasitas pribadi. Jadi bukan mengajar an sich. Tafsir tersebut akan terus menggelinding dan membesar laksana bola salju. Multitafsir akan hilang dengan sendirinya jika guru yang sudah lulus sertifikasi memberi jawaban berupa kinerja profesional.

Pendidikan yang bermutu hanya mampu diraih oleh guru yang bermutu dan profesional. Bermutu dan profesional ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Guru para komando! Siap! Mari menjawab angan-angan! Gurumutan, minggir!


Sumber: Harian Joglosemar Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar