Ya, kita seringkali terlena dengan pekerjaan kita hingga menghabiskan banyak waktu yang seharusnya untuk anak-anak kita. Untuk keluarga kita. Seolah-olah kita berkata kepada keluarga, “Apa yang kurang dari kalian, uang sudah cukup. Rumah sudah mewah. Apa yang kurang?”…Yang kurang adalah kasih sayang. Yang dicari adalah kesempatan untuk bercengkerama dan bersenda gurau. Sesuatu yang kini menjadi barang langka di kota besar.
Mengapa anak-anak? Mengapa bukan isteri atau suami?
Anak–anak adalah amanah yang Allah titipkan kepada kita. Mereka bukan milik kita. Tidak ada hak kita untuk merubah fitrahnya, tidak juga hak utk memaksakan kehendak kepadanya. Yang ada adalah amanah kasih sayang, amanah pendidikan, amanah uluhiyyah, dinniyyah dan masa depan.
ADA SEBUAH (mungkin banyak kaliee yah) KISAH NYATA TENTANG HARAPAN KECIL SANG ANAK KEPADA ORANG TUANYA….
Kisah tersebut kami kemas dalam satu dialog singkat. Semoga bermanfaat.
—oooOooo—
Seperti biasa Rudi, kepala cabang di sebuah perusahaan swasta terkemukadi Jakarta, tiba di rumahnya pada pukul 9 malam. Tidak seperti biasanya, Ikhsan, putra pertamanya yang baru duduk di kelas dua SD yang membukakan pintu. Ia nampaknya sudah menunggu cukup lama.
“Kok, belum tidur?” sapa Rudi sambil mencium anaknya.
Biasanya, Ikhsan memang sudah lelap ketika ia pulang dan baru terjaga ketika ia akan berangkat ke kantor pagi hari. Sambil membuntuti sang ayah menuju ruang keluarga,
Ikhsan menjawab, “Aku nunggu Ayah pulang. Sebab aku mau tanya berapa sih gaji Ayah?”
“Lho, tumben, kok nanya gaji Ayah? Mau minta uang lagi, ya?”
“Ah,enggak. Pengen tahu aja.”
“Oke. Kamu boleh hitung sendiri. Setiap hariAyah bekerja sekitar 10 jam dan dibayar Rp 400.000,-. Dan setiap bulanrata-rata dihitung 25 hari kerja. Jadi, gaji Ayah dalam satu bulan berapa, hayo?”
Ikhsan berlari mengambil kertas dan pensilnya dari meja belajar,sementara ayahnya melepas sepatu dan menyalakan televisi. Ketika Rudi beranjak menuju kamar untuk berganti pakaian, Ikhsan berlari mengikutinya.
“Kalau satu hari ayah dibayar Rp 400.000,- untuk 10 jam, berarti satu jam ayah digaji Rp 40.000,- dong,” katanya.
“Wah, pinter kamu. Sudah, sekarang cuci kaki, bobok,” perintah Rudi.
Tetapi Ikhsan tak beranjak. Sambil menyaksikan ayahnya berganti pakaian, Ikhsan kembali bertanya, “Ayah, aku boleh pinjam uang Rp 5.000,- nggak?”
“Sudah, nggak usah macam-macam lagi. Buat apa minta uang malam-malam begini? Ayah capek. Dan mau mandi dulu. Tidurlah.”
“Tapi, Ayah…”
Kesabaran Rudi habis. “Ayah bilang tidur!” hardiknya mengejutkan Ikhsan.
Anak kecil itu pun berbalik menuju kamarnya.
Usai mandi, Rudi nampak menyesali hardikannya. Ia pun menengok Ikhsan di kamar tidurnya. Anak kesayangannya itu belum tidur. Ikhsan didapatinya sedang terisak-isak pelan sambil memegang uang Rp 15.000,- di tangannya.
Sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu, Rudi berkata, “Maafkan Ayah, Nak. Ayah sayang sama Ikhsan. Buat apa sih minta uang malam-malam begini? Kalau mau beli mainan, besok’ kan bisa. Jangankan Rp5.000,- lebih dari itu pun ayah kasih.”
“Ayah, aku nggak minta uang. Aku pinjam. Nanti aku kembalikan kalau sudah menabung lagi dari uang jajan selama minggu ini.”
“Iya,iya, tapi buat apa?” tanya Rudi lembut.
“Aku menunggu Ayah dari jam 8. Aku mau ajak Ayah main ular tangga. Tiga puluh menit saja. Ibu sering bilang kalau waktu Ayah itu sangat berharga.Jadi, aku mau beli waktu ayah. Aku buka tabunganku, ada Rp 15.000,-. Tapi karena Ayah bilang satu jam Ayah dibayar Rp 40.000,-,maka setengah jam harus Rp 20.000,-. Duit tabunganku kurang Rp 5.000,-.Makanya aku mau pinjam dari Ayah,” kata Ikhsan polos.
Rudi terdiam. Ia kehilangan kata-kata. Dipeluknya bocah kecil itu erat-erat.
‘Alabidzikrillahi tatma’inul Qulub’
"hanya dengan mengingat Allah hati akan menjadi tenang..."
Sumber: http://public.kompasiana.com/2009/03/05/%e2%80%9cmaafkan-aku-nak%e2%80%9dkisah-nyata/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar