Senin, 07 September 2009

Tingginya Minat Siswa Ikut Bimbel


"Males belajar ah, kalo sekarang mah….mendingan nanti aja pas bimbel, biar dapet rumus-rumus cepet! Jadi ngerjain soalnya lebih gampang!"
("PR" Belia, 20/1/2009).

kalimat di atas dikatakan siswa, sebagai salah satu alasan untuk mengikuti bimbingan belajar (bimbel). Kalau kita kaji, betapa memesonanya lembaga bimbel di mata para siswa, sehingga dijadikan alternatif penawar ketidakpuasan dari apa yang didapat di sekolah.

Bagi siswa-siswi yang orang tuanya memiliki keuangan memadai, mengikuti bimbel bukanlah masalah. Bahkan, dengan target masuk sekolah favorit orang tua mau merogoh saku lebih dalam, memilih lembaga bimbel yang menawarkan pelayanan prima.

Sepertinya keberadaan bimbel dijadikan solusi oleh sebagian orang tua, untuk memfasilitasi putra-putrinya meraih nilai ujian nasional (UN) yang tinggi, sehingga dapat membidik sekolah-sekolah yang ketat persaingannya. Berkompetisi meraih sekolah favorit, lazim diikuti siswa-siswa sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Sementara kecenderungan siswa sekolah menengah atas mengikuti bimbel, lebih terfokus untuk menyiasati masuk perguruan tinggi negeri dengan jurusan/program studi, yang memiliki peluang kerja lebih menjanjikan.

Lain keadaannya bagi siswa yang keuangan keluarganya terbatas atau lokasi tempat tinggalnya tidak menguntungkan, mereka harus puas dengan apa yang didapatkan di sekolah saja.

Kita maklumi penyelenggaraan bimbel memiliki beberapa perbedaan dengan lembaga sekolah, di antaranya dari segi perekrutan guru. Guru di sekolah, khususnya pegawai negeri sipil diangkat berdasarkan kompetensi kualifikasi akademik yang dihasilkan oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), dengan prosedur seleksi yang dibuat Diknas. Sedangkan guru bimbel lebih terbuka, tidak selalu dari LPTK, bisa dari berbagai latar belakang disiplin ilmu dengan mengutamakan kualitas kepiawaian dalam teknik, metoda, dan penguasaan, serta penyampaian materi yang disenangi dan dipahami siswa.

Sistem belajar di sekolah berpedoman pada kurikulum yang berlaku, (baca: KTSP). Standar kompetensi dan kompetensi dasar, dijadikan acuan dalam setiap pembelajaran. Sedangkan di bimbel siswa dilatih bagaimana cara menjawab soal dengan cepat. Hal ini, berdampak pula pada perbedaan sistem evaluasinya. Di sekolah, evaluasi bersifat menyeluruh yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotor, sedangkan di bimbel mengutamakan aspek kognitif saja.

Umumnya, sarana prasarana dan fasilitas yang ada di sekolah tidak senyaman di tempat bimbel, apalagi dengan jumlah siswa per kelas yang seimbang, di bimbel memungkinkan siswa lebih kondusif untuk belajar. Menyikapi fenomena maraknya siswa mengikuti bimbel, menuntut guru dan sekolah lebih peka terhadap kebutuhan para siswa.

Sedikitnya kehadiran guru di kelas, selalu dinantikan dan keberadaannya senantiasa dirindukan oleh siswa. Jangan sampai keberhasilan siswa menembus sekolah atau perguruan tinggi favorit, dirasakan siswa dan orang tua semata-mata karena yang bersangkutan mengikuti bimbel. Tampaknya diperlukan suatu modifikasi, inovasi, dan kreativitas guru dalam melaksanakan rutinitas tugas kesehariannya di sekolah.

Akan lebih baik jika siswa yang tidak sempat mengikuti bimbel, mendapat perhatian dan bimbingan khusus agar mereka memiliki kepercayaan diri dan bisa berprestasi secara mandiri. ***


Oleh: Dra. YATI ROHAYATI, guru Bimbingan dan Konseling di SMA Negeri 24 Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar