Senin, 07 September 2009

Ketika Wibawa Sekolah Kalah oleh Bimbel


Bimbel, lembaga penjual jasa bimbingan belajar, menjamur dan marak menyebar di seluruh kota besar Indonesia. Sasaran mereka adalah menjaring siswa yang butuh bimbingan belajar dan yang pasti siswa yang berduit.

Tawaran program bimbel benar-benar sangat menggiurkan, program bimbingan belajar siswa adalah supaya berhasil dalam Ujian Akhir Sekolah dan menembus Ujian Perguruan Tinggi Negeri. Hebatnya lagi ada yang berani memberikan garansi jika tidak berhasil lolos ujian uang yang sudah dibayarkan bisa kembali, tentu saja dengan embel-embel ketentuan dan syarat berlaku.

Menarik untuk mengkaji lebih lanjut menjamurnya lembaga bimbel ini, baik bimbel yang dilakukan oleh lembaga atau perorangan (guru les). Orangtua dan siswa sama-sama tidak percaya diri dengan hasil belajar di sekolah formal sehingga mengikuti bimbel dianggap suatu makanan pokok. Membayar uang sekolah Rp. 100.000 per bulan bisa dikeluhkan sampai ke Pak Menteri Pendidikan, tetapi mengeluarkan uang Rp. 50.000 / jam untuk guru les bisa dengan sukarela.

Bimbel tidak salah, mereka menangkap peluang, yaitu peluang untuk mengelola ketidakpercayaan orang tua dan siswa atas hasil belajarnya di sekolah. Bimbel, baik lembaga atau perorangan (guru les) memang berniat untuk bisnis.

Pertanyaannya sekarang adalah mengapa pendidikan di sekolah formal masih belum membuat siswa dan orangtuan yakin dan percaya, sehingga mereka menghabiskan waktunya untuk belajar di lembaga atau mengikuti les dari tutor?.

Usia anak-anak tidak hanya untuk belajar dan belajar saja. Kehidupan untuk bersosialisasi dan afiliasi seorang anak juga perlu dilatih dan dikembangkan, misalnya melalui cara bermain dengan teman sebaya. Anak mungkin hanya menuruti orang tua yang ingin anak-anaknya jago bahasa inggris, atau jago matematika di usia dini, ini juga tidak salah. Bekal ilmu bagi seorang anak adalah sangat tepat untuk menghadapi masa depannya nanti. Tetapi porsi belajar dan les secara berlebihan merampas hak seorang anak untuk bermain, bersosialisasi dengan teman sebaya, dan hidup berkembang sesuai dengan kebutuhannya.

Prihatin, hanya itu yang bisa saya ungkapkan melihat porsi belajar yang harus dialami seorang anak jaman sekarang. Belum cukup dia harus ikut les sana-sini untuk mengahadapi Ujian Akhir Sekolah, dia juga harus ikut bimbel menghadapi ujian masuk Perguruan Tinggi Negeri. Bisa jadi nanti UAS nya tidak lulus Perguruan Tingginya juga tidak lolos kerena anaknya stress kelebihan beban.

Lalu bagaimana cara untuk menjawab kebutuhan siswa, lulus UAS dan dapat masuk ke perguruan tinggi idaman?

· Sekolah harus memberikan porsi yang tepat dan transformasi materi/ilmu sesuai dengan porsi kemampuan siswa dan sesuai pula dengan kurikulum yang berlaku. Ini tentu sangat sulit, perlu kerjasama antara orang tua, sekolah dan pemerintah.

· Jika perlu diadalah bimbel atau tambahan belajar, sebaiknya jangan dilakukan di luar sekolah, jangan pula dilakukan guru secara perorangan di rumah siswa. Lakukanlah di sekolah oleh guru terhadap semua siswa. Salah satu nilai dari belajar adalah proses interaksi antara guru dengan murid dan interaksi antar murid.

· Jarak antara UAS dan Seleksi di Perguruan Tinggi Negeri perlu diatur lagi sehingga ada waktu untuk siswa secara serius mempersiapkan UAS.

· Jika dimungkinkan seleksi mahasiswa baru di PTN hanya menggunakan UAS, jadi hasil belajar selama sekolah diakui, tentu siswa juga akan lebih serius belajar kerena hasil UASnya juga dinilai untuk masuk ke PTN tidak hanya untuk menentukan kelulusan.

Bimbel tidak salah, wajar bagi lembaga untuk berbisnis, termasuk melakukan bisnis di bidang pendidikan. Guru juga mempunyai hak untuk mencari tambahan pendapatan dengan memberikan les tambahan bagi muridnya. Yang dipertanyakan apakah salah atau benar adalah jika bimbel atau les justru menurunkan wibawa sekolah selaku institusi resmi lembaga pendidikan.


Oleh: Stanislaus Riyanta
Sumber: http://public.kompasiana.com/2009/08/04/ketika-wibawa-sekolah-kalah-oleh-bimbel/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar