Televisi benar-benar telah menonton kita. Saat ini bukan hanya tayangan sinetron, infotainment atau reality show yang menjadi tontonan kita. Tetapi tayangan berita menjadi santapan wajib bagi beberapa pemirsa. Yang paling aktual tentu berita tentang penyergapan teroris di Pamulang, Tangerang Selatan beberapa hari kemarin.
Sebelumnya televisi juga memberitakan tentang penyergapan pusat pelatihan teroris di pedalaman hutan Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Masyarakat pun semakin betah duduk di depan televisi karena mendapat tontonan baru, setelah selama hampir tiga bulan kemarin hanya disuguhi berita kasus Bank Century dan berbagai proses hukum yang carut-marut.
Berita penyergapan teroris ini mengingatkan kita ketika Densus 88 Polri mengepung persembunyian teroris di Mojosongo, Solo dan Temanggung beberapa waktu silam. Bagi televisi, peristiwa penyergapan teroris memang menjadi salah satu andalan dalam program berita. Sebab, peristiwa seperti itu jarang terjadi dan memiliki efek dramatik yang dalam.
Beberapa waktu lalu, tayangan berita seputar kasus Bank Century menjadi tontonan wajib bagi sebagian penduduk Indonesia. Tak heran jika televisi bersedia menunda tayangan regulernya demi siaran langsung sidang paripurna DPR tentang Pansus Century. Siaran berita sekarang ini memang bukan lagi soal penyampaian informasi semata. Di sana ada drama, tangis, tawa, sampai konflik terbuka. Atau kita mungkin masih ingat dengan kasus cicak versus buaya beberapa bulan lalu.
Kisruh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri itu memang penuh intrik, sangat dramatik dan mengajak siapa pun ingin tahu kelanjutannya. Tayangan “drama” proses hukum yang terjadi layaknya infotainment, sinetron, bahkan mungkin reality show yang sebenarnya. Tiap saat kita dipertontonkan peristiwa-peristiwa yang memang menarik dan mengundang human interest pemirsa.
Kisruh KPK versus Polri tak hanya sekadar pertentangan dua institusi penegak hukum belaka. Banyak kejadian menarik yang menjadi bumbu kasus ini, sehingga tampak sebagai bukan proses hukum biasa. Sebut saja analogi “Cicak vs Buaya”, rekaman pembicaraan para mafia hukum, hingga adu sumpah oknum-oknum yang diduga terlibat. Kejadian ini lalu disulap sedemikian rupa oleh televisi sehingga menjadi bumbu-bumbu pemberitaan yang enak ditonton.
Dalam kasus Bank Century pun demikian. Waktu tiga bulan yang dimiliki Pansus telah menjadi panggung unjuk diri di depan puluhan kamera televisi. Televisi sangat paham bagaimana cara mengobok-obok keingintahuan masyarakat. Suasana pada saat Sidang Paripurna DPR pada 2 hingga 3 Maret silam yang akan mengesahkan hasil temuan Pansus Hak Angket Bank Century betul-betul menjadi panggung drama yang menarik.
Dari tingkah polah anggota DPR, hingga tingkah pongah Ketua DPR menjadi tontonan yang menghibur, mempertontonkan sesuatu yang baru bagi masyarakat namun miskin edukasi. Tindakan wakil rakyat yang bernyanyi, sok interupsi, sampai Ketua DPR yang penuh arogansi memang mengundang respons beragam dari masyarakat. Dari yang memaki-maki, mengurut dada atau malah tertawa.
Budaya Pop
Melihat fenomena di atas, ketika perubahan topik pemberitaan televisi yang begitu cepat semakin mensahihkan televisi sebagai produk budaya pop. Termasuk tayangan beritanya. Karakteristik budaya pop yang bersifat instan, pasif dan dangkal telah dianut televisi. Tayangan berita yang masih menjadi referensi terpercaya bagi sebagian penduduk Indonesia menjadi semakin tercemar. Ambil contoh misalnya ketika pemberitaan teroris ini terus diulang-ulang, bersifat temporer (sementara) dan tanpa proses pendalaman, masyarakat akan dibuat percaya bahwa negeri ini adalah negeri teroris. Namun berbeda jika televisi menghadirkan pemberitaan yang mendalam, tajam dan berkesinambungan (kontinyu) maka pemirsa akan menjadi cerdas dengan informasi bermutu dari televisi.
Demikian juga ketika tayangan kasus Bank Century menjadi menu wajib dalam tiap siaran berita, maka akan menjadi referensi masyarakat dalam menilai DPR. Lembaga perwakilan rakyat ini akan tumbuh menjadi lembaga yang tidak dipercaya oleh konstituennya sendiri. Atau dalam kasus cicak vs buaya, jika terus disorot maka akan tumbuh pesimisme dalam masyarakat pada proses penegakan hukum di negeri ini. Niat untuk memberi kritik konstruktif malah blunder menghasilkan kritik destruktif. Sikap yang tidak percaya pada proses politik dan proses hukum di republik ini.
Hal ini tentu berbahaya dalam proses berbangsa dan bernegara ke depan. Masyarakat seharusnya kritis dan bahkan skeptis terhadap siaran televisi. Karena kemampuan televisi dalam mempengaruhi pola pikir penonton teramat besar, mengingat televisi memiliki kemampuan audio dan visual sekaligus. Siaran televisi tentu tidak akan pernah lepas dari sisi industrial untuk menyokong eksistensi televisi tersebut. Sisi industrial inilah yang terkadang mengorbankan sisi edukasi yang harusnya ditampilkan televisi.
Semua pihak baiknya menyadari hal ini. Mungkin kita terbuai oleh slogan semu bahwa televisi misalnya membantu menyiarkan secara luas tentang aksi para teroris, kegiatan para wakil rakyat atau bagaimana kepolisian menegakkan hukum. Hal ini tentu amat baik. Media massa dalam hal ini televisi memang telah benar-benar menjalani tugasnya sebagai kontrol sosial dalam masyarakat. Namun bagaimana jika hal itu dilakukan secara berlebihan demi motif bisnis semata? Tentu akan banyak hal yang dikorbankan. Semisal kasus Bank Century atau berita penyergapan teroris ini tak lagi dianggap menjual, televisi akan mencari jualan baru yang diminati masyarakat. Televisi akan menghasilkan kebudayaan baru. Dan meminjam istilah Raymond Williams (1974), televisi telah menjadi kebudayaan itu sendiri.
Begitulah seterusnya yang akan terjadi. Televisi melihat hal apa yang diminati masyarakat, dan itu yang akan dijual. Tidak peduli jualan itu tidak mengandung nilai edukasi atau cenderung memprovokasi, yang penting jualan itu laku. Jika benar demikian, benarlah tesis Baudrillard di atas: kita telah menjadi layar, dan televisi benar-benar telah menonton kita sekarang.
Oleh: Eko Setiawan, Peminat studi komunikasi dan media, pegiat Pusara Institute Solo
Sumber: Harian Joglosemar Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar