Kamis, 18 Maret 2010

Dinas Pendidikan Berjualan HP

Sudah lama masyarakat mengkhawatirkan gejala makin tumbuh suburnya komersialisasi di bidang pendidikan. Gejala ini bisa dilihat dari makin banyaknya pihak yang menggunakan lembaga pendidikan sebagai alat untuk mengeruk keuntungan finansial. Di mana-mana, dapat ditemukan fenomena yang nyaris serupa, dengan maksud untuk memperbesar margin keuntungan ekonomi bagi lembaga penyelenggara pendidikan maupun para pembuat kebijakan.

Seperti diketahui, Dinas Pendidikan Kabupaten Sragen mengeluarkan Surat Edaran (SE) yang berisi penawaran handphone (HP) mirip Blackberry ke sekolah-sekolah, di mana para guru dan siswa diimbau membeli HP produk tertentu yang bisa dipesan melalui dinas pendidikan setempat (Joglosemar, 6/3). Bahkan, telah dilakukan kerja sama memorandum of understanding (MoU) dengan salah satu operator telekomunikasi untuk pengadaan kebijakan program early learning, dengan menggunakan HP sebagai medianya.

Kebijakan sistem pembelajaran lewat HP itu dipandang akan memudahkan siswa, sehingga tidak perlu membeli buku dan bisa mengakses semua jaringan pendidikan. Pada dasarnya, kebijakan ini bukan paksaan, namun bersifat sukarela. Namun dengan membeli HP yang dimaksud, justru dikhawatirkan membebani orangtua siswa, mengingat selama ini sudah terbebani dengan mahalnya biaya pendidikan. Terlebih dalam tata tertib sekolah, sebenarnya siswa memang dilarang membawa HP ke sekolah.

Ponsel sepertinya sudah menjadi kebutuhan primer kita semua dan tidak terkecuali para pelajar. Jadi, tidak mengherankan kalau semua siswa dan siswi dalam satu sekolah telah menggunakan Ponsel. Tetapi teknologi Ponsel kerap membuat siswa kurang memperhatikan pelajaran di sekolah, sehingga banyak sekolah membuat larangan menggunakan HP saat proses belajar mengajar dan memiliki agenda rutin melakukan razia HP.

Sebagai perbandingan, beberapa sekolah di Amerika Serikat telah memberlakukan peraturan larangan menggunakan HP di sekolah. Di antaranya sebuah sekolah ternama di Amerika Serikat, Amerillo Independen School District (AISD) yang menerapkan peraturan ketat bagi siswa yang tertangkap basah menggunakan HP. Selain menyita, untuk mendapatkan kembali Ponsel miliknya siswa harus membayar 15 dolar AS atau sekitar Rp 150.000. Kebijakan yang sama juga telah diterapkan di Malaysia. Untuk di Indonesia, kebijakan boleh tidaknya membawa HP hanya diserahkan kepada pihak sekolah masing-masing.

Aspek Komersial

Dukungan sejumlah Kepala Sekolah di Kabupaten Sragen yang mengaku tidak keberatan jika pihak sekolah menjadi penjembatan dalam pembelian HP untuk para siswanya patut disesalkan. Pasalnya, dukungan ini semakin menunjukkan arah komersialisasi di dunia pendidikan. Harus disadari, komersialisasi pendidikan ini akan menyebabkan penyelenggara lembaga pendidikan menempatkan profit sebagai sasaran utama. Sementara kegiatan belajar mengajar yang seharusnya menjadi ruh dari aktivitas lembaga pendidikan, justru hanya dijadikan sasaran antara. Perubahan skala prioritas ini, jelas akan sangat mempengaruhi aktivitas lembaga pendidikan, terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan masalah likuiditas.

Subordinasi aktivitas pendidikan di bawah aspek komersial pada akhirnya melahirkan sistem pendidikan yang sangat dipengaruhi hukum pasar, di mana posisi tawar di dunia pendidikan sangat ditentukan oleh daya beli seseorang. Imbas lain dari komersialisasi pendidikan adalah semakin menurunnya mutu pendidikan. Hal ini bisa terjadi, karena dalam praktik pendidikan yang komersialistis, penyelenggara lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas. Jadi, progresivitas masyarakat benar-benar diperlukan untuk menekan komersialisasi pendidikan yang makin merajalela.

Terlepas dari sikap pro dan kontra menanggapi Surat Edaran (SE) Dinas Pendidikan Kabupaten Sragen dalam penawaran HP di sekolah yang terus mencuat, agaknya stigma bahwa dunia pendidikan kita selama ini sudah berbau fasis dan komersial semakin menyengat tajam. Paling tidak, fenomena semacam itu bisa dilihat dari dua perspektif. Pertama, merebaknya budaya instan di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang makin abai terhadap nilai-nilai kesalehan hidup. Sikap apresiatif terhadap nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan keuletan dinilai mulai mengalami proses pembusukan. Ironisnya, masyarakat sudah menganggap fenomena semacam itu sebagai sebuah kejadian yang wajar, sehingga tak terlalu penting untuk dipersoalkan.

Kedua, kekeliruan dalam menafsirkan makna otonomi yang sejak beberapa tahun terakhir menggejala dalam dunia pendidikan. Dengan dalih untuk menjalin kemitraan dalam menggali dana, sebuah institusi pendidikan seolah-olah dianggap sah apabila melakukan berbagai cara untuk mengembangkan institusi, termasuk dengan melakukan komersialisasi pendidikan. Padahal sejatinya, otonomi pendidikan semestinya dimaknai sebagai upaya untuk memberdayakan sekolah dalam mengembangkan budaya mutu di sekolah yang bersangkutan, baik dari sisi akademik maupun nonakademiknya.

Namun diakui atau tidak, kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Bukannya budaya mutu yang dikembangkan di sekolah, melainkan budaya “petak umpet” untuk mendapatkan berbagai macam keuntungan berkedok otonomi pendidikan.

Dampak paling berbahaya yang ditimbulkan oleh praktik komersialisasi pendidikan adalah tumbuh suburnya budaya korupsi, kolusi, dan manipulasi. Ibarat dalam dunia bisnis, setiap rupiah yang dikeluarkan harus menghasilkan keuntungan. Sudah saatnya, masyarakat turun tangan untuk memberikan terapi kejut dengan menindak tegas terhadap institusi pendidikan yang dengan sengaja, maupun tidak menjadikan institusi pendidikan sebagai “mesin pengeruk” keuntungan dengan dalih otonomi pendidikan, sebagaimana penawaran HP kepada siswa yang terjadi di Kabupaten Sragen. Jangan sampai terjadi, otonomi pendidikan dijadikan sebagai tameng yang dengan sengaja digunakan untuk mencari keuntungan pihak-pihak tertentu.

Di tengah upaya pemerintah mengupayakan pendidikan yang berkualitas merata dan terjangkau, komersialisasi pendidikan merupakan masalah besar yang harus segera dicarikan jalan keluar pemecahannya. Jika fenomena komersialisasi pendidikan semacam itu tidak segera ditangani, bukan tidak mungkin akan memicu munculnya berbagai dampak negatif yang bisa menghambat kualitas dunia pendidikan.


Oleh: Justicia Tiara Maharani, Ketua Bidang Pengkajian Kebijakan Forum Studi Hukum Progresif, Mahasiswa Fakultas Hukum, UNS, Solo
Sumber: Harian Joglosemar Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar