Senin, 10 November 2008

Otoritas dan Kompetensi Mendidik : Ujian Nasional dan "Kekalahan" Sekolah


Ujian nasional SMA atau sederajat baru saja digelar, 17-19 April 2007, dan
pekan ini giliran siswa SMP menjalani ritual tahunan yang menentukan nasib
ratusan ribu siswa kelas tiga SMP maupun SMA di republik ini. Bukan hanya
para siswa peserta UN yang dag-dig-dug takut tidak lulus. Para orangtua
siswa pun cemas, guru dan sekolah ikut khawatir terhadap anak-siswa
mereka. Bahkan, Depdiknas tampaknya juga risau terhadap ketidaklulusan
peserta UN.

Buktinya, untuk tahun ajaran 2006/2007 ini Depdiknas lewat Badan Nasional
Standar Pendidikan (BNSP) menetapkan dua standar nilai kelulusan. Siswa
dinyatakan lulus jika rata-rata nilainya 5,00 dengan nilai minimal
rata-rata 4,25 atau boleh salah satunya nilai 4 dengan catatan nilai
lainnya harus mencapai 6,00. Mengapa demikian? Sederhana saja, biar bisa
menjaring lebih banyak siswa yang lulus.

Hal yang menarik berkaitan dengan UN tahun ini adalah hadirnya lembaga
bimbingan tes di sekolah untuk mempersiapkan siswa menghadapi UN.
Kalau siswa mengikuti bimbingan tes di luar sekolah, sudah merupakan hal
yang lumrah terjadi setiap tahunnya menjelang UN. Tapi sekolah "menyewa"
lembaga bimbingan tes atau bimbingan belajar atau apa pun namanya, untuk
mempersiapkan siswa menghadapi UN, itu baru sesuatu yang menarik dan boleh dibilang agak aneh.

Seperti diberitakan Kompas 4-5 Maret 2007, peminat bimbingan tes semakin
tinggi seiring kebijakan pemerintah menyangkut UN berikut kenaikan standar
nilai kelulusannya.

Di perkotaan, keberadaan jasa ini bahkan cenderung sudah menjadi tumpuan
utama. Bahkan, saat ini tidak sedikit sekolah yang menjalin kerja sama
dengan lembaga bimbingan tes untuk mempersiapkan siswa mereka menghadapi UN.
Ada apakah dengan sekolah- sekolah kita? Fenomena hadirnya lembaga
bimbingan tes di tengah-tengah sekolah bisa dipandang dari dua sisi. Satu
sisi, kehadiran lembaga bimbingan tes di sekolah dapat membantu sekolah
dalam mengondisikan dan mempersiapkan siswa kelas tiga menghadapi UN.
Tentu banyak sekolah yang tidak mau mengulangi pengalaman buruk
tahun-tahun sebelumnya, di mana ada banyak siswa yang tidak lulus UN.
Adanya pendampingan dari lembaga bimbingan tes ini akan dapat memberikan
kepercayaan diri yang lebih besar bagi para siswa. Dan akhirnya, lewat
bimbingan tes ini diharapkan semua siswa lulus dan tidak ada lagi siswa
yang tercecer atau gagal dalam UN.

Bagaimanapun hasil UN, diakui atau tidak, tetap menjadi parameter atau
ukuran keberhasilan sekolah, bahkan dianggap mencerminkan mutu sekolah.
Dan seringkali itu juga akan berarti menjamin keberlangsungan hidup
sekolah itu selanjutnya, khususnya untuk sekolah-sekolah swasta. Jika ada
banyak murid yang tidak lulus, bisa-bisa sekolah itu akan dicap sebagai
sekolah yang tidak bermutu. Konsekuensinya, bisa jadi pada tahun ajaran
baru sekolah itu tidak mendapatkan murid.

Dalam sudut pandang ini, banyaknya sekolah yang menggandeng lembaga
bimbingan tes untuk menyiapkan siswa menghadapi UN bisa dipandang sebagai
satu bentuk mekanisme sekolah untuk ’mempertahankan hidupnya’. Keduanya,
sekolah dan lembaga bimbingan tes, sama-sama diuntungkan. Ke depannya
sekolah bisa terus bertahan, dan lembaga bimbingan tes juga bisa
berkembang terus.

Di sisi lain, hadirnya bimbingan tes di sekolah dapat dipandang sebagai
wujud ketidakberdayaan dan kurangnya kepercayaan diri sekolah akan
kemampuan sekolah sendiri dalam mendampingi dan mempersiapkan siswanya
menghadapi UN. Hadirnya lembaga bimbingan tes di sekolah semakin
menegaskan pada kita akan "kekalahan" sekolah. Dan semakin menunjukkan
bagaimana pengaruh kebijakan UN yang sungguh kontraproduktif terhadap
proses pembelajaran di sekolah.

Menurut Benjamin Bloom, tingkah laku belajar peserta didik dipengaruhi
oleh perkiraan peserta didik tentang apa yang akan dinilai atau diujikan.
Karena itu, UN yang umumnya menanyakan dimensi kognitif dari mata
pelajaran akan menjadikan peserta didik selama belajar tidak merasa perlu
melakukan eksperimen di laboratorium, tidak perlu membaca novel, tidak
perlu latihan mengarang, tidak perlu melakukan kegiatan belajar
terus-menerus secara berdisiplin, dan tidak perlu berbagai kegiatan
belajar yang diarahkan untuk menanamkan nilai dan mengembangkan sikap.
Sebab, kesemuanya itu tidak akan diujikan atau dinilai.

Dan kenyataannya memang persiapan sekolah menjelang UN telah mengubah
model dan konsep pembelajaran. Drilling soal-soal ujian tahun-tahun
sebelumnya menghiasi hampir setiap kali proses pembelajaran di kelas.
Sekolah pun merasa perlu membuat jadwal khusus menggantikan jadwal reguler yang sudah ada.

Bahkan ada sekolah yang menempuh cara dengan menjejalkan seluruh materi
pelajaran kelas tiga di semester pertama agar di semester dua bisa
digunakan untuk mempersiapkan menghadapi UN.

Dampak lebih lanjut adalah munculnya lembaga bimbingan tes yang
mengakibatkan sekolah tidak lagi sebagai pusat belajar dan pembudayaan.
Proses pembelajaran di sekolah pun tidak lebih sekadar teaching for the
test.

Repotnya, sekarang sekolah malah mulai menghadirkan bimbingan tes di
ruang-ruang kelasnya. Praktik pendidikan semacam itu sangat bertentangan
dengan tujuan diselenggarakannya pendidikan formal di negara mana pun
karena akan menyebabkan terjadinya curriculum contraction. UN tanpa
disadari telah mengondisikan sekolah untuk berorientasi pada hasil, dan
cenderung mengabaikan proses. Bahkan boleh dikatakan UN telah merampas
proses pendidikan, sehingga proses pendidikan menjadi tidak lagi bermakna.
Kalau begitu, untuk apa masih ada sekolah jika proses pendidikan sudah
tidak lagi bermakna? Sekolah-sekolah kita selama ini cenderung
mengedepankan aspek kognitif dan kurang menggarap atau cenderung abai
terhadap dimensi-dimensi nonkognitif, misalnya dimensi afektif—yang
berhubungan dengan olah rasa-hati—maupun dimensi spiritualitas.

Nah, kalau sekarang yang berkait dengan dimensi kognitif juga "dilepas"
oleh sekolah dan "dipasrahkan" pada lembaga bimbingan tes untuk mengantar
peserta didiknya lulus UN. Lalu apa lagi peran yang bisa diemban sekolah?
Saya curiga, semua ini terjadi karena sekolah-sekolah kita lelah
disalahkan terus-menerus oleh banyak pihak, seperti masyarakat yang telah
menyerahkan sebagian besar anggotanya untuk dididik tapi ternyata gagal,
Depdiknas yang seringkali cuci tangan dan menimpakan kesalahan di pundak
sekolah.

Mungkinkah sekolah akan mengalihkan beban dan tanggung jawabnya pada
lembaga bimbingan tes? Mungkin saja, jadi lembaga bimbingan tes bersiaplah
untuk menjadi kambing hitam, seandainya nanti banyak siswa yang tidak
lulus! Tapi seandainya berhasil, dalam arti banyak siswa yang lulus
apalagi lulus semua, bersiap-siaplah mengambil alih peran sekolah! Dan
masyarakat, siapkanlah duitmu!

Akhirnya, sebagai penutup, ujian atau tes sebenarnya hanyalah sarana atau
alat yang digunakan untuk memperoleh informasi pencapaian terhadap proses
pendidikan yang sudah dilakukan dan/atau yang akan diselenggarakan. Sekali
lagi perlu ditekankan bahwa ujian atau tes hanyalah sarana bukan tujuan
dari proses pendidikan.

Tampaknya kita semua mesti berpikir ulang apakah UN sebagai salah satu
sarana pencapaian tujuan pendidikan sudah berfungsi dengan baik ataukah
malah semakin menjauhkan dan menghalangi bagi pencapaian tujuan
pendidikan.


(Sumber: KOMPAS, Senin 23 April 2007; oleh: HJ Sriyanto Guru di SMA Kolese De Britto, Yogyakarta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar