Rabu, 05 November 2008

Guru Les bukan Wonder Woman


Dalam buku Mencetak Anak Cerdas dan Kreatif, yang merupakan kumpulan artikel psikologi anak yang pernah dimuat di harian Kompas, ada bab berjudul Les dan Bimbingan Belajar Merusak Kreativitas Anak.
Dalam bab tersebut disebutkan definisi mendidik, yaitu membantu memberikan semangat, mendorong, menciptakan suasana belajar di rumah. Selanjutnya disebutkan pula bahwa banyak orangtua merasa wajib untuk menyelesaikan PR dari sekolah. Bagi orangtua yang mampu cenderung mempercayakan anaknya kepada guru privat. Kemungkinan besar guru privat hanya mengerjakan PR muridnya (wah, ada yang tersindir nih hihih).
Jadi pengen cerita sebab musabab saya jadi guru privat. Dulu, karena merasa memiliki banyak waktu setelah mengajar di SMA pada pagi hari, akhirnya saya juga mengajar di sebuah bimbingan belajar di Bogor. Lama kelamaan karena merasa berat mengajar di bimbel, maka saya mengajar privat tanpa lewat lembaga apa pun dengan murid awal adalah keponakannya teman. Akhirnya semua kakaknya dan seorang kakak sepupu temanku itu memintaku mengajar anak-anaknya.
Awal jadi tajir ngajar privat setelah saya “berhasil” membantu Nabila yang saat itu kelas 6 SD. Nabila merupakan saudara temanku juga yang sudah 2 bulan tidak sekolah karena sakit parah. Alhamdulillah muridku ini dengan kondisi fisik yang lemah karena sakit bisa menjadi peraih NEM tertinggi di sekolahnya. Hal ini sangat mencengangkan banyak guru dan orangtua murid lainnya di sekolahnya. Lalu ada orangtua temannnya Nabila yang meneleponku untuk mengajar anaknya. Nah, ini juga, sang anak akhirya bisa dapat NEM besar. Mulailah banyak permintaan mengajar setelah itu. Akhirnya waktu itu saya sudah tidak memiliki waktu lain selain mengajar dan mengajar.
Sebenarnya saya sendiri tidak setuju bila keberhasilan para murid itu adalah karena saya. Seperti Nabila, gadis shalihah ini, memang memiliki kecerdasan dan semangat yang luar biasa. Jadi ketika frekuensi belajarnya bertambah, tidak heran bila almarhumah bisa mengejar cita-citanya untuk bisa masuk SMP 1 (tak lama setelah masuk SMP 1 Nabila meninggal dunia...... T_T).
Balik lagi ke masalah guru les hanya mengerjakan PR muridnya. Yah, saya akui, kadang saya berbuat seperti itu. Karena frekuensi belajar dengan saya yang kurang, hanya seminggu 2 kali 2 jam, dan dengan beban harus mengajar semua pelajaran (termasuk PR), maka guru les kekurangan waktu. Untuk pelajaran berhitung atau menghafal biasanya saya meminta murid saya dulu yang mengerjakan soal, lalu saya memeriksa pekerjaan mereka. Tapi untuk bahasa Sunda (wuih hampir semua anak-anak di Bogor pada ga bsia sunda, termasuk gurunya! hahah) dengan tingkat kesulitan kosa kata dan jenis tugas yang sulit, maka susah sekali saya bisa idealis untuk tidak mengerjakan PR murid. Bayangkan saja, anak kelas 4 SD sudah diminta membuat tulisan tentang bayam dalam bahasa Sunda. Kosa kata sunda saja mereka masih terbatas, lah ini diminta nulis tentang bayam....
Muridku yang kelas 2 SMP yang kritis pernah bilang kalau dia sekolah hanya mencari ijasah saja, karena selama ini dia belajar di rumah dengan ditemani guru les. Kalau tidak dimarahi orangtuanya pasti dia lebih memilih main pingpong suru di rumahnya ketimbang ke sekolah.
Setelah kira-kira 2 minggu setelah liburan tahun ajaran baru, saya sering melihat buku-buku murid masih bersih tidak ada tanda-tanda pernah dibaca atau dipelajari. Sayang sekali textbook yang mahal itu hanya dibawa ke sekolah selanjutnya disimpan di lemari saja. Alangkah indahnya bila para murid mau membaca sendiri buku-buku itu.
Bila dibandingkan dengan para pelajar masa kebangkitan nasional, tentu saja generasi saat ini jauh tertinggal. Jaman dulu para murid malah langsung membaca buku referensi yang tebal-tebal. Hari ini sudah ada textbook yang merupakan rangkuman dari buku-buku referensi, tapi tetap saja membaca buku setebal itu saja pelajar kita keberatan. Tentu saja untuk bisa mengajarkan mereka untuk belajar mandiri diperlukan kerjasama antara guru dan orang tua murid, agar anak tidak melulu disuapi dalam belajar. Nah, termasuk guru les juga kali ya? Tapi please deh jangan bebankan ini semua kepada kami, karena kami bukan wonder women sih…
(http://onetea.multiply.com/journal/item/191/Guru_Les_bukan_Wonder_Woman)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar