Rabu, 22 April 2009

UN yang Jujur


Meski terus menerus diprotes sebagian guru, praktisi pendidikan dan masyarakat peduli pendidikan, namun Ujian Nasional atau UN 2009 tetap akan digelar. Untuk tingkat SMA/MA, UN utama dilaksanakan pada tanggal 20 sampai 24 April 2009, dan UN susulan mulai tanggal 27 April sampai 1 Mei 2009. Pada tingkat SMP/MTs/SMPLB, UN utama akan berlangsung mulai tanggal 27 sampai 30 April 2009, sedangkan UN susulan, mulai tanggal 4 hingga 7 Mei 2009.

UN 2009 ditetapkan standar untuk siswa yang berhal lulus; pertama, memiliki nilai rata-rata minimal 5,50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan nilai minimal 4,00 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya. Kedua, khusus untuk SMK nilai uji kompetensi keahlian minimum 7,00 dengan nilai teori kejuruan minimum 4,00 nilai uji kompetensi keahlian digunakan untuk menghitung nilai rata-rata UN (Puspendik, 2009).

Diakui memang, orang tua mulai stres memikirkan bagaimana anaknya yang kini duduk di bangku kelas III SMP dan SMA sederajat bisa lulus ujian nasional (UN). Pihak sekolah (umumnya di kota) sejak bulan Januari sudah melakukan berbagai kegiatan ekstra untuk menyiapkan siswanya menghadapi UN. Ada remidial teaching, ada les, yang dimatangkan dengan menggelar try out, yaitu simulasi ujian dengan soal-soal ujian yang disesuaikan dengan standar UN. Hingga, waktu untuk bersantai siswa sudah terampas oleh kegiatan yang diadakan oleh sekolah.

Kelulusan siswa dari UN kini menjadi “pekerjaan akhir” yang berat bagi guru dan siswa kelas III SMP dan SMA atau sederajat di seluruh Indonesia, termasuk Aceh. Masalah presentase kelulusan bukan lagi sekadar mempertaruhkan nama baik sekolah, tetapi juga nama baik daerah, yaitu kota atau kabupaten dimana kelulusan siswa berada.

Banyak berita miring seputar pelaksanaan UN yang menyisakan balada keterpurukan bagi dunia pendidikan. Berikut adalah contoh kecil kecurangan yang terjadi pada pelaksanaan UN tahun-tahun yang lalu. Di Tangerang, panitia sekolah minta izin kepada pengawas untuk masuk kelas dan tanpa malu-malu memberikan jawaban ujian kepada siswa. Pasca UN-SMA, ada pejabat yang kebakaran jenggot karena melihat potensi UN yang merugikan reputasi daerahnya lalu segera mengadakan rapat kilat mengundang para kepala sekolah dan mencoba “ main mata” dengan Tim Pengawas Independen (TPI) agar hasil UN di daerahnya diatur baik. Dengan uang amplop yang diterima, para pendidik seperti dilecehkan nuraninya. Namun, jika tidak ikut setuju, resiko jabatan menghadang di depan mata (Kompas, 26/04/2007).

Berita lain menyebutkan: Kepolisian Resort Deli Serdang menetapkan 16 guru dan Kepala Sekolah Menengah Atas Negeri Lubuk Pakam 2 sebagai tersangka pelaku kecurangan ujian nasional. Para guru dan kepala sekolah ini didapati membetulkan jawaban soal ujian siswa di sekolahnya (Kompas, 25/05/2008). Di Padang, Sumatera Barat Ketua Tim Pemantau Independen menemukan kecurangan antara lain kemudahan siswa membawa telepon seluler ke dalam kelas dan siswa leluasa ke kamar kecil (Kompas, 25/05/2008). Ujian Nasional telah mendorong guru untuk juga terlibat dalam kecurangan agar siswanya lulus. Ujian Nasional telah memerkosa integritas dan kejujuran guru. Lalu apa yang mesti dibuat?

Saya, dan semua kita yang peduli masa depan anak bangsa, berharap pada UN 2009, tidak ada pihak yang ikut “main mata” dalam pelaksanaannya. Kepala dinas pendidikan kabupaten/kota tidak menempatkan guru-guru dalam posisi “tidak berdaya” dan “terpaksa membela” anak didiknya dengan cara sungsang yang tidak sepatutnya dilakukan. Bupati/walikota di NAD layak mencontoh Dr Bukhari Daud, Bupati Kabupaten Aceh Besar yang berani meminta aparatnya untuk tidak “ikut campur” dalam UN tahun lalu. Appresiasi patut diberikan kepada sang bupati, meski himbauannya sebatas lisan, bukan tertulis resmi.

Sudah bukan rahasia lagi bila masing-masing pemerintah kabupaten kota tidak iingin disebut gagal dalam pendidikan. Konsekwensinya, setiap rayon berupaya agar nilai siswa menjadi tinggi sehingga angka ketidaklulusan bisa ditekan. Kalau ini terjadi, berarti semua kalangan terjebak dalam raihan mutu pendidikan yang semu.

Kultur pendidikan yang jauh dari norma moral secara perlahan akan membawa aneuk nanggroe ini memasuki jurang keruntuhan. Pendidikan kita sedang menyimpan bom waktu yang akan menghancurkan sendi-sendi tatanan sosial kapan saja, begitu tulis Doni Koesoema (Kompas, 26/04/2007). Ketika anak tidak belajar arti kerja keras dan nilai kejujuran, kita sebenarnya sedang mempersiapkan lahirnya generasi yang gemar jalan pintas, membentuknya menjadi kerumunan pembunuh nurani.

Jika dalam UN berperilaku tidak terpuji, seperti sengaja memberi jawaban kepada siswa, anak-anak tidak akan belajar apa arti nilai kerja keras. Siswa pun akan “menangkap” nilai kerja keras dan kejujuran itu tidak perlu. Lama-lama anak-anak tidak dapat lagi melihat kenyataan secara berimbang dan menilainya secara jujur sesuai dengan kenyataan yang ada. Pentingjuga diperhatikan ialah ada ketenangan dalam ruang ujian. Terdapat dua situasi di sana, yaitu ketegangan da kegentaran siswa menghadapi soal-soal UN. Karenanya, saat UN berlangsung, tidak boleh ada orang luar, siapapun dia yang masuk ke ruang ujian, kecuali pengawas yang telah ditetapkan. Tamu pejabat yang datang, semisal kepala dinas pendidikan, bupati/walikota, atau pejabat dari kantor gubernur, apalagi pihak keamanan yang membawa senjata cukup hanya memantau dari luar ruang ujian. Masuknya orang luar ke ruang UN, sangat mengganggu konsentrasi peserta ujian.

Para birokrat harus tahu bahwa proses belajar berpikir dan penciptaan pengalaman jauh lebih penting daripada hanya melihat hasil akhir. Karena di situlah akan terbangun motivasi untuk mengembangkan diri, kemandirian untuk bertindak dan berkompetensi. Ingat bahwa tujuan pendidikan adalah memberdayakan manusia dalam membangun kekuatan yang kreatif, dan mampu berpikir, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memecahkan masalah dan membangun berbagai ketrampilan. Itu semua hanya dapat dilakukan dengan ketulusan, kejujuran, serta tanggungjawab para pendidik, tanpa harus direkayasa. Dengan diterbitkannya berbagai ketentuan dalam Prosedur Operasi Standar (POS) bagi pelaksanaan UN, pemerintah tentunya bertujuan meningkatkan mutu pendidikan nasional. Ketentuan tersebut seharusnya ditaati secara konsisten dan konsekwen oleh seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) pendidikan. Ini berarti bahwa semua orang yang terlibat dalam pelaksanaan UN, khususnya UN tahun 2009 harus berlaku jujur.

Semua kita berharap, para pendidik menciptakan iklim kejujuran melalui sikap tegas terhadap peserta yang melanggar tata tertib UN. Sistem kongkalingkong antar sekolah dan pengawas UN 2009 harus dijauhkan. Integritas moral pendidik akan runtuh jika pendidik itu sendiri tidak mampu menghargai keutuhan martabat profesinya di hadapan siswa. UN 2009 menjadi ujian kejujuran bagi guru, kepala sekolah, kepala dinas pendidikan, hingga kepala pemerintahan. (http://www.serambinews.com/news)

Oleh:
Dr.Yusrizal
(Penulis adalah Doktor Bidang Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, Dosen FKIP dan Program Pascasarjana Unsyiah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar