Selasa, 26 April 2011

Fenomena Ujian Nasional: Ini Benar-benar Terjadi

Suasana sepi mencekam, dengan penuh keseriusan anak-anak mengerjakan soal-soal Ujian Nasional. Dua pengawas duduk di kursinya. Dua puluh menit kemudian mulai terdengar gemerisik kertas di ruang itu. Anak-anak mulai mencari-cari kesempatan buat mencontek karena dilihatnya sang pengawas asyik mengobrol. Ketika gemerisik kertas menjadi semakin ribut, sang pengawas hanya berkata “Boleh tanya tetapi jangan berisik.” Jadilah mereka bertukar-tukar jawaban.

Ujian Nasional akan dimulai tepat pukul delapan. Namun para siswa telah diminta hadir di sekolah pukul enam. Pukul enam sang guru mata pelajaran yang diujikan datang memberikan rambu-rambu yang disertai jawaban-jawaban soal. Anak-anak merasa senang ketika apa yang diberikan gurunya pagi tadi benar-benar keluar dalam ujian.

Pengawas Ujian Nasional harus bukan guru mata pelajaran yang diujikan. Entah untuk mengejar uang transport yang akan diberikan kepada pengawas atau ada maksud lain, tiba-tiba saja guru matematika menjadi guru PLKJ, guru IPA menjadi guru Tata Boga dan seterusnya agar mereka bisa mengawas penuh selama empat hari.

Tahun lalu soal Ujian Nasional terdiri dari soal A dan B, lalu tahun ini dibuat menjadi A,B,C,D, dan E dengan maksud menghapus peluang bagi anak-anak untuk mencontek. Karena yang membuat kebijakan tidak mendiskusikan terlebih dulu dengan ahli matematika tentang teori peluang, maka dengan lima jenis soal ini ternyata siswa yang tidak bisa mencontek hanya dua orang di tiap ruangnya. Siswa selebihnya bisa mencontek secara diagonal.

Ketika tahun ini kriteria kelulusan melibatkan nilai raport dan nilai ujian sekolah, maka karena untuk mendongkrak nilai raport tidak memungkinkan, lantas guru berbondong-bondong memberikan nilai konversi untuk hasil ujian sekolah dengan harapan para siswa dapat lulus meski nilai Ujian Nasionalnya rendah.

Believe it or not, mau dibawa kemana anak-anak kita. Memang masih ada sekolah-sekolah yang idealis, namun itu dapat dihitung dengan jari kita. Selebihnya, Jangan harap pendidikan di negara kita bisa maju meski gaji gurunya membumbung tinggi di angkasa tetap saja jika mental kepribadian dan kinerja tidak diperbaiki. Pendidikan kita hanya akan sebatas tulisan di atas kertas yang suatu saat akan menjadi pembungkus gorengan.


Sumber: Kompasiana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar